[PORTAL-ISLAM.ID] Di tengah berita memalukan bahwa ternyata divestasi 51% saham Freeport kepada pemerintah tidak pernah terjadi sebagai diklaim oleh pemerintah Jokowi, mari kita lihat tiga sisi lain kehadiran Freeport.
Freeport adalah perusahaan tambang yang telah berpuh-puluh tahun menguras bumi Papua. Sejak 1973. Perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini melakukan kegiatan usahanya laksana memiliki kedaulatan sendiri. Banyak yang berkesan bahwa komplek raksasa Freeport mirip seperti negara dalam negara.
Barangkali, sesuai dengan nama perusahaan ini yang berarti “Pelabuhan Bebas”. Mungkin mereka menganggap Papua sebagai tempat berlabuh yang penuh kebebasan. Boleh apa saja. Dianggap sebagai negara sendiri.
Inilah Freeport!
Kalau di AS, misalnya, perusahaan tambang dikekang oleh aturan ketat yang melindungi lingkungan hidup. Tidak bisa sesuka hati merusak hutan, struktur tanan, aliran sungai, dlsb. Di Papua, Freeport banyak meninggalkan bekas galian dan gundulan hutan. Banyak meninggalkan limbah tambang.
Ambil contoh tambang Grasberg dekat Puncak Jayawijaya. Menurut data Wikipedia, limbah yang dihasilkan tiap hari mencapai 700 ribu ton. Limbah ini masuk ke Sungai Aikwa. Akibatnya, dataran rendah seluas 230km persegi di sekitar sungai ini diselimuti gumpalan endapan beku. Ikan-ikan asli hampir punah. Sungai Aikwa tak cocok lagi untuk kehidupan makhluk air.
Limbah 700 kiloton per hari itu tetap berada di tanah tinggi dengan kedalaman danau 480 meter seluas 8km persegi. Air keruh berasam, cairan tembaga dan material halus masuk ke hulu Sungai Wanagon. Limbah ini mengalir sepanjang sungai sampai ke laut. Dikatakan, situasi ini akan berlangsung selamanya.
Menurut temuan Kementerian Lingkungan (2004), mereka mendapati endapan sebesar 37,000 miligram per liter ketika air sungai mengaliri dataran rendah. Kemudian endapan itu menjadi 7,500 miligram per liter sewaktu masuk ke Laut Arafura. Padahal, ketentuan maksimum UU Lingkungan adalah 400 miligram per liter. Atau 18 kali lipat di atas batas tertinggi.
Freeport mengatakan bahwa mereka melakukan operasi penambangan sesuai dengan standar industri. Cuma, pada 2005 ada laporan yang menyebutkan bahwa sejak 1997 Freeport melakukan pelanggaran UU Lingkungan Indonesia.
Dari sisi lain, Freeport cenderung mendapatkan Freedom. Full freedom. Kebebasan penuh. Untuk melakukan apa yang mereka inginkan di Papua. Kata banyak orang, Freeport memiliki Freedom di Indonesia karena mereka paham bagaimana cara mendapatkannya. Mereka tahu “tatakrama” menghadapi para pemangku kekuasaan di sini.
Itulah Freedom!
Sekarang, apa kelanjutannya bagi Indonesia?
Setelah Freeport mendapatkan Freedom berpuluh-puluh tahun, tinggallah Indonesia dengan warisan lingkungan tambang yang rusak parah. LSM Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) mengeluarkan pernyataan pers pertengahan Juli 2018. Walhi mengatakan Freeport melakukan kejahatan lingkungan dan hak asasi warga Papua.
“Freeport adalah gambaran luka bagi orang Papua,” kata Direktur Walhi Papua, Maurits Rumbekwan. Walhi menggunakan istilah “negara dalam negara” dalam melihat sepak-terjang Freeport. Rumbekwan memakai kata “penghancuran bentang alam dan hutan Papua”.
Jadi, kalau kita kristalkan kejengkelan Walhi terhadap Freeport, tidaklah berlebihan untuk menyebut bahwa orang Papua hari ini menghadapi situasi mendekati pra-kiamat lingkungan yang disebu Predoom. Gambaran betapa beratnya kerusakan alam akibat operasi Freeport.
Begitulah Predoom!
Lengkaplah kesakaian rakyat Papua bahwa Freeport adalah Freedom yang menyebabkan Predoom.
Penulis: Asyari Usman