Oleh: Fahri Hamzah
(1) Jika kita ingin membangun sebuah organisasi, sejak keluarga sampai negara maka pastikan lah bahwa dalam organisasi itu semua kita akan bahagia. #ArahBaru2019
(2) Ada banyak yang menyebabkan kita gembira tapi dalam hidup yang sejati, kebahagiaan hanya bisa kita dapatkan apabila kita bebas memilih. Itulah yang menjelaskan mengapa Tuhan memulai semuanya dengan “membaca” (iqro) dan mengeja kata-kata, karena pada awalnya adalah kata.
(3) Kata adalah tangga. Kata adalah pintu menuju ilmu. Rangkaian kata-kata yang kita baca adalah kasih sayang Tuhan kepada manusia agar ia mendapatkan pengetahuan tentang cara mengenalNya, juga mengenal diri dan alam ciptaaanNya. Inilah awal kebebasan memilih.
(4) Maka, apabila kata dan membaca adalah awal menuju ilmu, maka pengetahuan adalah sebab kebebasan memilih. Tuhan yang maha kuasa bahkan memberi manusia kebebasan untuk memilih menentangnya (kufur) atau mengikuti jalannya (iman). Tapi Tuhan memberi tau akibatnya.
(5) Kadang, kita takut memahami argumen bahwa Tuhan telah memberi manusia kebebasan termasuk untuk menentangnya. Seperti pilihan iblis sehingga menerima konsekwensinya. Tetapi, itulah faktanya. Tapi saya memilih iman yang membuat saya selalu bahagia. Alhamdulilah.
(6) Tapi, argumen ini saya ungkap untuk mengingatkan terus sebab-sebab kebahagiaan kita terutama setelah memilih menjadi bahagian dari keluarga, ormas, partai bahkan negara. Bahwa kebebasan memilih adalah karunia Allah SWT agar kita tetap bahagia.
(7) Kita baru membahas 1 saja sebab-sebab kebahagiaan itu. Tapi ini yang paling penting. Itu yang paling mudah hilang, berhadapan dengan salah satu penyakit manusia; Di satu sisi ada yang gemar mendominasi (merampas kebebasan) dan di sisi lain ada yang gemar didominasi.
(8) Itulah rahasia mengapa Tuhan memulai menyapa manusia dengan perangkat yang selanjutnya dapat menyebabkannya mengatasi segala kelemahan manusia; ilmu. Ilmu membuat kita memiliki kebebasan memilih yang membuat kita bahagia dengan apapun akibatnya.
(9) Kembali kepada soal kebahagiaan, bagaimana cara ia hilang dari organisasi kita, mulai dari Keluarga, ormas, parpol, bahkan negara. Apa yang hilang terlebih dahulu sebelum kebahagiaan hilang? Mari kita telisik.
(10) Di awal, kita telah temukan bahwa kebahagiaan itu adalah akibat dari kebebasan memilih dan itu dimungkinkan oleh adanya ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya Tuhan memberi kita perangkat berupa kata-kata dan membaca sebagai tugas pertama.
(11) Maka, jika kebahagiaan dalam organisasi itu mulai hilang pasti awalnya karena hilangnya kebebasan memilih. Dan kebebasan hilang disebabkan oleh hilangnya ilmu. Hilangnya ilmu karena kita tidak lagi membaca sebagai cara menuju ilmu. Coba perhatikan.
(12) Beberapa waktu yang lalu, presiden @jokowi mengatakan bahwa Indonesia negara paling bahagia, meski bukan yang “paling” tapi memang kita memang bahagia karena ada kebebasan. Termasuk kebebasan untuk tidak setuju dengan pemerintah kita. Itu bikin bahagia.
(13) Sekali lagi, kebahagiaan kita bersumber dari kebebasan kita dan kebebasan hanya mungkin lahir jika kita memiliki ilmu dari membaca dan belajar menguasai persoalan. Ini rumus dalam semua organisasi sejak keluarga sampai negara.
(14) Sistematika ini harus dijaga, sebab bisa muncul tesis lain seolah kebahagiaan bisa didapatkan dalam belenggu atau yang beranggapan bahwa kebebasan itu adalah akibat dari tidak adanya aturan. Dalam transisi kita menemukan banyak salah kaprah yang fatal.
(15) Suami isteri atau keluarga yang tidak lagi berdiskusi, paling tidak romantismenya akan mulai hilang. Lama-lama mereka kaku, tidak saling mengerti lalu pecah. Meski tidak sesederhana itu tapi matinya dialog adalah salah satu gejala berakhirnya sebuah organisasi.
(16) Organisasi yang lebih besar juga demikian, partai misalnya. Pemimpin yang tidak punya ilmu akan berakibat langsung pada hilangnya kemampuan dialog. Lalu struktur menjadi kaku dan mengutamakan instruksi daripada komunikasi dua arah. Lalu bertindak sepihak.
(17) Negara juga demikian, dalam tradisi lama, segelintir elite manganggap negara hanya bisa dikelola oleh mereka. Bahkan Louis ke-14 di Perancis menyebut “negara adalah aku”. Struktur seolah menjelma dalam diri satu orang atau satu partai dalam tradisi hari ini.
(18) Dalam situasi itu, negara yang menjelma dalam diri satu orang atau satu struktur akan menganggap remeh manusia. Manusia tidak penting, yang penting negara kata mereka. Demikiankah, kebebasan pasti dirampas, tanpa pilihan, Manusia dianggap seperti robot bernyawa.
(19) Itulah sebanya kita membangun hukum dan struktur demokratis. Supaya kelemahan manusia yang senang mendominasi paling tidak kita batasi. Agar kelemahan lain manusia yang suka didominasi dapat dihindari. Inilah demokrasi, ikhtiar melawan kelemahan manusia.
(20) Sekarang, apakah struktur demokrasi menjamin? Pasti ada tidak menjamin semunya. Dalam struktur demokratis bisa lahir pemimpin yang tidak punya pengetahuan. Lalu ia di tengah jalan mencoba membangun struktur yang tidak toleran. Ini tantangan kita.
(21) Tapi, struktur demokrasi itu adalah jaminan bagi publik apabila ada pemimpin yang karena mental otoriter-nya atau karena kelemahannya sehingga dia menjadi alat ide-ide totaliter, maka struktur akan menjadi benteng pertahanan pertama.
(22) Namun, apabila strukturnya sudah otoriter maka pemimpin akan terdorong untuk membenarkan tindakan otoriternya dengan mengatakan, “itulah aturan yang berlaku di sini”. Bahkan bisa mengatakan, “kalau kalian tidak setuju, kalian keluar aja dari sini”.
(23) Kelahiran struktur otoriter biasanya adalah akumulasi dari kelelahan berpikir dalam suatu kelompok; besar atau kecil. Setelah berjalan waktu yang lama, ketika kebebasan tidak menghasilkan apa-apa karena kegagalan mengelola lalu muncul keinginan kembali didominasi.
(24) Untuk mengakhiri tema ini, saya bertanya, “apakah kita sedang bahagia?” “Apakah kita bebas merdeka?” “Apakah kita punya pengetahuan untuk memilih?” Apakah kita bebas memilih? Apakah kita menghadapi struktur yang kaku atau lentur? Semua itu menentukan masa depan.
(25) Jika kita tidak bahagia, lacaklah persoalannya mulai di mana. Dan bebaskan diri anda untuk menjadi manusia merdeka. Terbiasalah berani mengambil keputusan sebagai pertanda anda manusia merdeka. Jalanilah hidup yang anda pilihan sebab itulah yang benar.
(26) Jangan biarkan hidup anda di dominasi oleh keputusan orang lain, sebab tidak saja nanti di akhirat, di dunia saja orang itu tidak mau bertanggungjawab atas pilihan anda. Nanti mereka lepas tangan dan akibatnya tetap ditanggung sendiri.
(27) Mari songsong masa depan, semoga Allah mematangkan jiwa kita menuju merdeka. Amin. #ArahBaru2019
(Dari twitter @Fahrihamzah 26-27 Oktober 2018)