Oleh: Teguh Arifiyadi*
(Ahli informasi dan transaksi elektronik (ITE) yang juga pernah menjabat kepala Subdit Penyidikan dan Penindakan Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika)
Apakah Ratna Sarumpaet dkk Bisa dikenakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)?
(Ulasan hukum yang disederhanakan, durasi baca 3 menit, abaikan jika tidak berminat)
Mumpung kasus Ibu RS sudah tidak trending lagi, saatnya saya menulis kasus ini dari sudut pandang subyektif saya dengan sumber data dari informasi pemberitaan.
Ceritanya, polisi merilis informasi bahwa Ibu RS akan dijerat dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE terkait provokasi kebencian berdasarkan SARA dan pasal 14 UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana khususnya pasal terkait berita bohong.
Beberapa kawan baik dan rekan penyidik bertanya kepada saya yang sehari-hari berkubang UU ITE, apa iya Ibu RS bisa dikenakan pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE?
Saya, dengan tegas tak ada keraguan menjawab “Ora Iso!" (Tidak Bisa). Pasal 28 ayat (2) UU ITE hanya dikenakan bagi setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi kebencian baik terhadap individu maupun kelompok berdasarkan SARA melalui sarana elektronik [sebagaimana ranah UU ITE]. Dalam kasus Ibu RS, tidak ada bukti Ibu RS yang menyebarkan sendiri informasi (yang ternyata tidak benar) tersebut melalui sarana elektronik. Penyebaran informasi yang viral tersebut justru dilakukan oleh orang-orang lain. Jadi jelas ya, kasus ini tidak bisa dikenakan UU ITE.
Bagaimana jika Ibu RS dikenakan pasal terkait berita bohong dalam UU Nomor 1/1946? Pendapat saya saja bisa dikenakan, asal penyidik bisa membuktikan bahwa perbuatan tersebut menimbulkan keonaran di masyarakat. Klir kan?
Kawan saya mengangguk seolah paham, kemudian lanjut bertanya “Bagaimana dengan Pak Amien Rais, pak Fadli Zon, dan tokoh oposisi lainnya yang justru menyebarkannya melalui media sosial? Apakah terhadap mereka dapat dikenakan pasal penyebaran informasi kebencian dalam UU ITE?
Saya jawab, salah satu unsur pokok pemidanaan dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah “Dengan Kesengajaan”. Menemukan unsur kesengajaan bisa menggali dari “niat jahat” (mensrea) atau kehendak yang disadari pelaku.
Dalam kasus ibu RS, saya pribadi menilai tidak ada kesengajaan untuk menyebarkan informasi palsu tersebut dari para tokoh-tokoh yang saya sebutkan diatas. Tidak fakta bahwa tokoh-tokoh tersebut menyadari informasi yang dibagikannya tidak benar. Jadi menerapkan pasal 28 ayat (2) UU ITE kepada para tokoh tersebut jelas tidak tepat, setidaknya dari sisi hukum, bukan dari sisi politis.
Lha kok bisa secepat itu polisi mengungkap cerita kebohongan Ibu RS?
Saya jawab, 3 hari itu TIDAK cepat untuk kasus sederhana seperti itu. Pengalaman saya sebagai penyidik PNS, jika dihadapkan pada kasus seperti itu, yang pertama saya lakukan cukup dengan membuka isi Call Data Record (CDR). CDR itu adalah rekaman data yang disimpan oleh operator terhadap nomor seluler penggunanya. Dalam CDR disitu terlihat catatan nomor tersebut menghubungi siapa dan dihubungi siapa dan kapan, termasuk menerima dan mengirim SMS ke siapa, durasi percakapan, dan yang paling penting adalah adanya jejak Location Area Code dan Cell ID (Lac Cid). Lac Cid berisi peta posisi (meski tidak presisi) dimana nomor seluler tersebut berada di waktu-waktu yang dicari. Tinggal cocokkan waktu kejadian, fakta kasus tersebut langsung terbuka!
CDR berdasarkan peraturan bisa diperoleh penyidik kurang dari 24 jam dari operator telekomunikasi dalam rangka mengungkap tindak pidana tertentu. Kalau penyidik Polri mempublikasikan hasil penyidikannya setelah 3 hari, saya menilai itu murni karena faktor kehati-hatian, sekalian melengkapi bukti pendukung, dan tentu saja pertimbangan non teknis. Saya yakin di hari pertama kasus tersebut viral, penyidik sudah mendapatkan gambaran apakah informasi tersebut benar atau palsu.
Terlepas dari kasus ibu RS, saya pribadi turut prihatin sekaligus empati. 'Seburuk' apapun kebohongannya, Ratna Sarumpaet adalah seorang Ibu, seorang nenek, seorang perempuan, dan seorang manusia yang tak luput dari salah. Sebagai manusia, memaafkan beliau jauh lebih baik.
Saya yakin kita semua pernah bohong, setidaknya ke anak kita, pasangan kita, orang tua kita, atau kawan kita. Kita juga punya aib yang mungkin tidak kalah banyak. Hanya saja, Tuhan masih melindungi kita dengan menutup aib dan kebohongan kita rapat-rapat. Beruntunglah kita! Bersyukurlah kita!
Itu saja.
__
*sumber: fb penulis