(Ahli Hukum Pidana UII Yogyakarta, Dr. Muzakir, SH, MH)
[PORTAL-ISLAM.ID] Musisi yang kini jadi politisi Partai Gerindra, Ahmad Dhani, ditetapkan jadi tersangka kasus ujaran "IDIOT". Bahkan pentolan band Dewa 19 ini dicekal ke Luar Negeri.
Kasus bermula dari vlog yang dibuat Ahmad Dhani di Hotel Majapahit Surabaya. Saat itu, Dhani seharusnya menghadiri deklarasi #2019GantiPresiden di Tugu Pahlawan Surabaya, namun ada massa yang mengepung hotel sehingga Dhani tidak bisa keluar hotel. Dhani yang masih dalam kondisi tertahan di lobi hotel membuat vlog, dan menyinggung massa yang menahannya sebagai 'idiot'. Akhirnya tidak bisa menghadiri acara deklarasi #2019GantiPresiden.
Ujaran 'idiot' itulah yang membuat Dhani ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur atas kasus ujaran kebencian. Dia juga dicegah ke luar negeri selama enam bulan, sebagai upaya antisipatif dari polisi dan keperluan proses penyidikan.
Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Prof. Dr. Mudzakir, SH, MH., tak sepakat bila ucapan Ahmad Dhani dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian. Menurutnya, massa yang menahan Dhani hanya menunjukkan sikap ketidaksetujuan, sementara ucapan Dhani tidak menyentuh golongan tertentu sesuai dalam pasal 156 KUHP.
"Kalau penilaian saya dari ucapan yang dibuat itu tidak ditujukan kepada kelompok atau golongan masyarakat tertentu. Kalau dia misalnya karena agama, suku ya bolehlah (dipidanakan). Tapi kalau karena orang-orang yang punya sikap seperti itu, enggak ditujukan kepada golongan seperti yang dimaksud dalam pasal KUHP," kata Mudzakir kepada kumparan, Senin (22/10/2018), seperti dilansir kumparan.
Pasal 165 KUHP: Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Mudzakir menuturkan polisi perlu mengkaji dulu terkait ujaran kebencian sesuai KUHP, termasuk layak atau tidak Dhani dicegah pergi ke luar negeri atas ucapannya.
"Dari awal, sebaiknya polisi mengkaji lebih dulu ujaran seperti itu kepada kelompok orang yang tidak dalam posisi, yang ada unsur-unsur pasal 156. Bisa enggak dilakukan itu (pencegahan ke luar negeri)? Ujaran ngomongnya apa? Itu kan berbeda dengan omongan yang lain yang lebih keras," tutur dia.
Pencegahan terhadap Dhani dinilai Mudzakir bisa membuat situasi hukum menjadi kurang bagus. Ia meminta pihak kepolisian untuk adil dalam memproses seluruh kasus hukum, semua dipandang sama di mata hukum.
"Secara umum dalam proses penegakkan sebaiknya diproses dengan adil. Instrumennya adalah hukum dan hukum itu objektif, tidak berpihak kepada siapa pun," kata Mudzakir.
"Selama ini kalau kita lihat, kalau caci maki justru yang utama (yang diproses hukum adalah) menghalangi orang menyampaikan pendapat. Kenapa ini yang justru dipersoalkan? Ini yang jadi masalah hukum. Polda Jatim evaluasilah lebih dahulu," lanjutnya.
Maka dari itulah Mudzakir meminta polisi menyadari tidak semua kasus dapat langsung dipidanakan. Ia beralasan, pidana hukum yang berlebihan justru membuat orang semakin antipati.
Khususnya untuk kasus Ahmad Dhani, Mudzakir menjelaskan, polisi dapat memberikan peringatan secara tertulis dulu agar dia mau kooperatif selama proses pemeriksaan.
"Sebaiknya polisi, Polda Jatim buatlah dia sebagai penegak hukum yang bijaksana, minimal dipanggil, ditegur. Pak Ahmad Dhani pakai secara tertulis dulu supaya mereka bisa ingat supaya enggak berlebihan. Mumpung belum masuk dalam ranah hukum, cukup selesai diberi peringatan," pungkasnya. (Kumparan)