ULAMA DARI SILAU LAUT
Oleh: Solihin Dian Andryanto
Sejauh mata memandang, kumpulan manusia saja yang tampak. Terik menyengat tanah lapang. Berkerumun orang segitu banyaknya. Nyaris tak ada celah di antara satu dan lainnya. Rapat. Sebuah tali dibentangkan, memisahkan pria dan wanita. Mereka menunggu dengan sabar. Menunggu seseorang yang membuat alasan mereka datang, jauh sekalipun jaraknya.
Lelaki kurus berpeci, berpakaian koko putih, celana panjang hitam, naik panggung sederhana itu. Ia tersenyum, menatap hingga sejauh pandang ia bisa. "Assalammualikum warrahmatulahi wabarrakatuh," sapanya. Orangnya kecil, suaranya keras. Gelegar jawaban bergemuruh itu hari, meruar ke angkasa.
[Kilas Balik]
Air Molek, Indragiri Hulu, Riau, 1994.
Mad. Begitu lelaki muda itu dipanggil teman-temannya di Madrasah Aliyah Nurul Falah, Air Molek.
Kota kecamatan ini tak terlalu menonjol, tadinya hanya pohon karet dan rawa saja di mana-mana, menjadi daerah penyambung Rengat dan Taluk Kuantan. Hanya beberapa kilometer dari Air Molek, ada daerah namanya Lirik dulu perusahaan minyak Amerika, Stanvac beroperasi di sini sebelum ada Pertamina dan Medco. Belakangan bermunculan perkebunanan kelapa sawit di sekitarnya. Dulu jembatan masih kayu, jalan disiram sisa minyak hitam, belum beraspal pula.
Mengapa saya tahu? Saya pernah tinggal dan sekolah di SMA Negeri Air Molek, setahun, pada 1987.
Mad. Anak muda itu bukan asli daerah itu. Ia berasal dari Asahan, Sumatera Utara, sebelum pindah ke Pelalawan, Riau. Kehidupan Pesantren dan ilmu agama Islam sudah ditanamkan kepadanya sejak ia kecil. Sekolah dengan basis tahfiz (penghafal) Alquran. Tamat dari SD Al-Washliyah Medan tahun 1990, ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah Mu’allimin Al-Washliyah Medan. Ia pernah pula menjadi santri di Pesantren Darul Arafah Deliserdang Sumatera Utara. Sebelum bersekolah di Madrasah Aliyah Air Molek, ini.
Mad. Sangat tekun belajar, ia lahap seluruh kitab-kitab. Ia dalami ilmu agama, seperti kehausan akan ilmu. Setiap saat ia hanya dedikasikan waktunya memperdalam ilmu hadist, fiqih, sejarah Islam.
Mad, anak ini tahu benar. Susah payah orangtua menyekolahkannya, tak dia sia-siakan waktunya.
[Kelahiran]
Silau Lama, Asahan, Sumatera Utara
Rabu, 18 Mei 1977
Bayi lelaki itu lahir petang itu. Dinamai Abdul Somad. Ayahnya seorang petani, ibunya ibu rumah tangga biasa dan guru mengaji anak-anak kampung.
Bayi lelaki itu belum menyadari dalam tubuhnya mengalir darah ulama besar di masanya, Syekh Abdurrahman atau dikenal dengan sebutan Tuan Syekh Silau Laut. Mantan hulubalang Kerajaan Kedah, tokoh yang namanya dikenang di Pattani, Thailand Selatan tempat ia belajar dan menyebarkan agama. Pendekar silat termashyur dan kepercayaan Kerajaan Asahan Melayu.
Tuan Syekh Silau Laut itu kakek dari Hajah Rohana, ibu Abdul Somad. Doa dan harapan orangtuanya, agar bayi lelaki itu kelak bisa melanjutkan nama besar kakek buyutnya. Menjadi ulama, pemersatu umat.
Impian yang didoakan terus menerus dengan hati yang tulus, akan sampai pada pemilik segala hak, dan mewujud kemudian. Ia dikenal sebagai Ustadz Abdul Somad.
Somad muda tamat MA Nurul Falah, Air Molek. Melanjutkan kuliah ke UIN Syarif Kasim, Pekanbaru. Setahun saja. Ia tak ingin memberatkan beban orangtua. Pengajuan beasiswanya ke Al Azhar Kairo, Mesir berhasil. Tahun 1998, ia ke Kairo, satu dari 100 orang yang lolos beasiswa tahun itu, dari ribuan pendaftar. Tiga tahun 10 bulan ia lulus, Lc (licence) ia raih dengan baik. Ia lanjutkan di Universitas Kebangsaan Malaysia, dua semester saja ia di sana.
Somad berburu beasiswa lagi. Ia mendaftar ke Institut Darul-Hadits Al-Hassaniyah Rabat, Maroko. Yang setiap tahunnya hanya memberikan 20 beasiswa, 15 dari Maroko, dan 5 dari negara lain. Somad salah satunya. Pada 2004, ia berangkat ke negeri jauh itu. "Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, baru Maroko, menyeberang ke Barcelona, Real Madrid" Ia menjelaskan keberadaan Maroko, disambut gelak tawa.
Di sela-sela kuliah, bila musim haji ia ke Madinah dan Mekah, bekerja membantu jamaah haji asal Indonesia untuk menambah bekalnya. "Suatu hari nampak orang kaya salah satu calon haji, manggil saya. 'Sini kamu, sudah berapa lama jadi TKI' dianggapnya awak ini TKI, "saya mahasiswa" , 'mahasiswa di mana' saya jawab Maroko. "Maroko mananya Merauke?" Ah, tak saya jawablah, tak tahu pula dia." Tawa berderai-derai.
Lulus dari Maroko, setahun 11 bulan. Gelar DESA (Diplôme d’Etudes Supérieurs Approfondies) berhasil ia raih. Pulang kampung lagi dia. Niatnya terus menimba ilmu, terkendala pesan ibunya untuk pulang. Panjang lagi perjalanan hidupnya, menjadi dosen Dosen Bahasa Arab di Pusat Bahasa UIN Sultan Syarif Kasim (Suska) Riau, Dosen Tafsir dan Hadis di Kelas Internasional Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau, Dosen Agama Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhar Yayasan Masmur Pekanbaru.
Kecendekiaan ilmunya membawanya menjadi anggota MUI Provinsi Riau, Komisi Pengkajian dan Keorganisasian Periode 2009–2014, Anggota Badan Amil Zakat Provinsi Riau, Komisi Pengembangan, Periode 2009–2014, bahkan pernah menjadi Sekretaris Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Provinsi Riau, Periode 2009–2014.
"Bapak merokok? tanya penguji kesehatan itu pada saya, saya jawab tidak. Orang itu tanya lagi kenapa bibir bapak hitam? saya jawab, karena kulit saya hitam, bibir hitam, kalau kulit saya hitam bibir saya putih, cem mana pula itu?" [UAS]
Ustadz Abdul Somad, khotbah di mana-mana, berceramah di langgar atau surau kecil hingga masjid-masjid raya. Di depan pejabat daerah hingga petinggi negeri. Ceramahnya menjadi viral, ditonton jutaan orang. Logat Melayu Riau nya kental.
Pengagumnya makin banyak. Kepiawaiannya membawakan ceramah dengan sederhana namun tak menghilangkan makna, disukai banyak orang. Berduyun-duyun orang datang menanti kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hadis dan Fikih dikupas olehnya, membumi. Tak pernah dalam ceramahnya ia mengajarkan permusuhan, ia tak pernah menyebut mazhab satu lebih baik dari lainnya, ia berkali-kali menyerukan persatuan umat.
Makin tinggi pohon, makin kencang angin menerpa. Disadari benar Abdul Somad. Berbagai halangan ia terima, penolakan kepadanya datang pula. "Apakah saya punya tampang teroris? Wajah saya semanis es krim," katanya.
Ditolak dan dihalang di satu tempat, di tempat lain ia ditinggikan. Ceramah di depan Wapres Jusuf Kalla, dihadapan jajaran Mahkamah Agung, Mabes TNI hingga MPR sudah ia lakukan. Apa yang diragukan lagi darinya? Apa yang ditakutkan dari lelaki ini? Apakah kemampuannya menjadi daya tarik berkumpulnya massa harus diwaspadai dan dicurigai? Dengarkan ceramahnya sampai tuntas agak tak berkesimpulan kusut masai.
[Menuju Dusun Air Bomban, Batang Gangsal, Indragiri Hulu, Riau. Abdul Somad berkendara mobil lima jam, kemudian naik perahu kecil berjam-jam pula, desa di pedalaman hutan . Suku Talang Mamak, berdiam. Ia mengajarkan mengaji, ia turut membantu pendirian sekolah dan masjid di sana.
Ia dan anak-anak suku terasing yang tak terjamah itu mengibarkan bendera merah putih. Menyanyikan lagu Indonesia Raya. Di tengah hutan, sepi. Jauh masa, sebelum mereka meragukan ke-Indonesiaannya.
Kegiatan yang sudah lama sekali ia lakukan. Tak hanya dalam khotbah ia menyerukan saling bantu, toleransi, bergotong royong dalam kenyataan ia wujudkan pula. Meski harus berlelah-lelah pula mencapainya. Tak banyak sorot kamera. Jauh dari pusat kota dan sunyi dari pemberitaan. Setahun dua kali ia sempatkan menembus belantara itu.]
Abdul Somad ingat benar yang disampaikan ulama idolanya KH Syukron Makmun. "Jangan harap pujian, jangan takut cacian".
"Aku tak pernah mencari engkau. Engkau tak pernah mencari aku. Allah yang mempertemukan kita," ia kerap mengatakan ini, bahwa pemilik segala ketentuan hanya Allah SWT semata.
Tuan Syekh Silau Laut akan bangga pada cucu buyutnya ini.***