[PORTAL-ISLAM.ID] Pilih ulama yang dicalonkan presiden, atau pilih presiden yang dicalonkan ulama? Pertanyaan ini muncul pasca Ma’ruf Amin dipilih jadi cawapres Jokowi. Dilengkapi foto Ma’ruf Amin yang menundukkan badan saat bersalaman dengan Jokowi. Bersamaan dengan itu, viral pula foto Jokowi yang mencium tangan Megawati. Kontras, kata netizen.
Sindiran kepada Ma’ruf Amin makin gencar ketika kiyai sepuh ini tetap enggan mundur dari posisinya sebagai ketua MUI. Bagi banyak kalangan, sikap Ma’ruf Amin yang enggan mundur dari posisi ketua MUI dianggap kurang elegan dan tidak membri teladan. Ada kekhawatiran MUI akan diseret dan terlibat di politik praktis. Mundur kenape? Tiru Sandiaga tuh, mundur dari wagub. Kate orang Betawi.
Sebaliknya, saat para ulama menggelar Ijtima’ Ulama ke-2 dan memutuskan untuk mendukung Prabowo-Sandi, Ma’ruf Amin berkomentar soal kualitas ulama. Mana ulama yang benar-benar ulama. Publik memahaminya bahwa Ma’ruf Amin meragukan keulamaan peserta Ijtima’.
Di tempat lain, Ustaz Abdussomad (UAS) ditolak di berbagai tempat. Jadual ceramahnya terpaksa dibatalkan. UAS ditolak karena dianggap mendukung Prabowo-Sandi. Seandainya UAS mendukung Jokowi? Mungkin ceritanya akan lain.
Tidak hanya UAS, Felix Siew juga ditolak. Alasannya? Karena HTI. HTI itu ormas terlarang. Bagaimana jika Felix melakukan hijrah politik, jadi pendukung Jokowi? Kemungkinan akan ada narasi yang berubah. Felix punya hak politik, termasuk dukung Jokowi. Felix sudah taubat, tidak di HTI lagi. Atau narasi lainnya. Gampang!
Saat ini, cara efektif untuk membuat tuduhan anti NKRI sederhana: tempelkan kata HTI. Langsung dianggap ancaman buat NKRI. Gebuk! Kata-kata ini jadi populer sejak Maruar Sirait dan ketua Ansor kompak mengatakanya di Kompas TV. Yang jelas, kata “gebuk” bukan kata radikal. Mungkin beda kalau yang ngomong Felix Siew.
Di Jawa Timur, viral video sejumlah orang yang menggunakan kaos 2019GantiPresiden dirazia dan dipaksa untuk dicopot. Sejumlah aparat berseragam pun terlibat merazia kaos 2019GantiPresiden. Oknum maksudnya. Tidak hanya kaos, tapi juga spanduk
Apakah kaos 2019TetapJokowi dirazia? Spanduknya dicopot? Seandainya itu ada, kita tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Indonesia bisa rusuh. Sesama rakyat diadu di arena pilpres yang belum tentu hasilnya menguntungkan bagi rakyat. Tapi, rakyat hampir selalu jadi tumbalnya.
Tidak kalah hebohnya, Farhat Abbas berceloteh di Instagramnya: yang milih Jokowi masuk surga, yang tak milih Jokowi masuk neraka. Mendadak Farhat bekerja sebagai tim seleksi surga-neraka. Hebat!
Tidak terima dengan berbagai persekusi, giliran masyarakat Riau menolak kehadiran ketua Ansor di Riau. Masyarakat Riau marah. Mereka menyiapkan satu juta personil untuk menghadang ketua Ansor.
Tidak hanya di Riau, peristiwa yang sama terjadi di Langkat Sumatera Utara. Ketika GP Ansor mengadakan silaturahmi di rangkaian acara Kirab Satu Negeri, puluhan sepeda motor datang dan mengusir mereka. Acara pun bubar.
Selain di Riau dan Sumut, belasan orang Madura mengenakan kaos Sakerah lengkap dengan celurit mengancam carok siapa saja yang berani membatalkan pengajian ulama dan habaib di Madura. Publik tahu kemana arah ancaman itu.
Ngeri-ngeri sedap. Aksi saling balas dan serang makin intens seiring semakin dekatnya pilpres digelar. Suasana makin memanas. Kenapa semua ini terjadi? Pertama, karena elit punya kehendak. Minimal melakukan pembiaran. Terutama para pemimpin negeri ini tak terlihat tanda ada kesungguhan niat mengatasi kegaduhan.
Sebaliknya, yang muncul adalah narasi yang memiliki unsur provokasi. Kedua, aparat “dianggap” tak netral. Jauh dari sikap ada di tengah. Pendukung penguasa terkesan dilindungi. Pendukung oposisi dipersekusi. Ketiga, kekuatan massa dua kubu sama-sama militan. Cinta dan bencinya sudah pada level dewa. Ibarat jerami, hanya nunggu sedikit api. Ada trigger, besss… terbakar.
Orang bilang: pasca pilpres 2019, semua kegaduhan akan berhenti. Oh iya? Bergantung bagaimana sang pemenang yang nanti pegang kekuasaan punya kemampuan mengelola konflik.
Konflik dan kegaduhan terurai jika capres terpilih nanti pertama, punya kesadaran bahwa mereka adalah pemimpin seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya pemimpin bagi para pendukungnya. Sehingga, ia bekerja untuk -dan melindungi- semuanya. Kedua, kemampuan melakukan komunikasi politik. Merangkul semua pihak, bukan memukul pihak yang tak mendukungnya seperti yang terjadi selama ini. Ketiga, menjadikan aparat hukum sebagai penegak keadilan, bukan pengawal dan pembela kekuasaan. Keempat, kemampuan menyelesaikan problem bangsa dengan kesungguhan, bukan dengan pencitraan. Rakyat perlu diyakinkan bahwa pemimpin bekerja jujur, adil dan terukur. Ora ngapusi.
Anies Baswedan-Sandiaga Uno layak jadi contoh. Setelah dilantik, mereka merangkul semua pihak. Teman maupun lawan. Dalam konteks ini, Prabowo dan Jokowi mesti banyak belajar. Siapapun yang akan dilantik jadi presiden 2019-2024, mereka adalah pemimpin untuk semua. Mereka harus menjalankan roda kekuasaan dengan jujur, adil dan terukur.
Untuk mengasah kemampuan itu, saatnya capres-cawapres menunjukkan testimoninya di musim kampanye. Meredakan konflik para pendukungnya, bukan memprovokasinya.
Kedewasaan ini mesti dibuktikan saat ini ketika pendukung kedua belah pihak sedang memanas. Mampukah kedua Paslon itu meredakan situasi konflik?
Penulis: Tony Rosyid