[PORTAL-ISLAM.ID] Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Azhar Simanjuntak mengaku melihat ada upaya menggeser pola pikir, di mana seorang pemimpin tak perlu harus cerdas, tapi hanya perlu populer dan memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi melalui perang stasus “alay” di media sosial.
Kecenderungan itu, menurut Dahnil, nampak jelas dari slogan “kerja, kerja, kerja”. Slogan tersebut, kata dia, hanya upaya untuk menutupi kekurangan dari seorang pemimpin, dalam hal ini Presiden RI Joko Widodo yang harusnya lebih banyak mengeluarkan buah pikirannya untuk didiskusikan ke ruang publik.
“Menurut saya ini tradisi buruk, kata-kata kerja, kerja, kerja itu cuma ungkapan untuk menganulir pikir, pikir, pikir. Karena nggak bisa mikir, maka pilihan katanya adalah kerja, kerja, kerja. Karena nggak bisa pidato, maka pilihan katanya adalah kerja, kerja, kerja untuk menutupi ketidakmampuan yang sesungguhnya,” tegasnya dalam diskusi yang diselenggarakan oleh InDEMO bertajuk “Pemilu dan Pilpres di Tengah Badai Krisis” di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Rabu (12/9).
“Maka intelektualitas nggak dapat tempat sekarang. Yang muncul adalah gincu, bedak, dan ideologi itu berubah jadi propaganda, komoditi. Pancasila berubah menjadi propaganda, Pancasila berubah jadi komoditi, bukan berarti gagasan, ide sesuai dengan ideologi,” lanjutnya.
Hal itu, kata Dahnil, menjadikan seseorang yang memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi tak mendapatkan tempat sebagai pemimpin. Orang-orang cerdas di negeri ini malah hanya pasrah dikendalikan oleh penguasa.
“Mohon maaf bagi saya hari ini banyak orang cerdas, banyak profesor bisa dikendalikan oleh kebodohan yang berkuasa. Memang kalau kebodohan itu berkuasa mengerikan menurut saya. Karena orang pintar dan orang cerdas itu menjadi lebih bodoh ketimbang orang yang berkuasa,” ketusnya.
Padahal, tambah Dahnil, seorang pemimpin seharusnya memiliki ide otentik yang bisa dieksplorasi ke ruang publik untuk diperdebatkan sebagaimana yang dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini, salah satunya Bung Hatta.
“Nah, politik sekarang karena pemimpinnya tidak melahirkan ide otentik, gagasan utama dia, dia nggak mampu mengeksplorasi, malah pakai teks. Akhirnya tradisi dialektika di ruang publik ini nggak muncul. Akhirnya apa apa, otaknya sekitar 220 karakter. Mirip Twitter. Akhirnya tradisi baca itu jadi nggak penting, tradisi ilmu pengetahuan itu jadi nggak penting. Bung Hatta bilang bahwa yang mempersatukan negeri ini bukan karena warna duit, bukan bahasa kita sama, bukan karena nasib kita sama, yang bikin kita bisa bersama, bersatu itu namanya nalar ilmiah,” urainya.
Jika keadaan semacam itu terus berlanjut, ujar Dahnil, Indonesia bisa saja masuk dalam jurang krisis politik. Adapun satu-satunya cara untuk keluar dari ancaman krisis politik itu adalah melalui ajang Pilpres tahun 2019.
“Ini situasi politik yang menurut saya berbahaya dan ini bisa krisis,” pungkasnya.
Sumber: Swamedium