[PORTAL-ISLAM.ID] Zaman Orde Lama, lawan politik diasosiasikan dengan kompeni atau DI/TII. Bergantung identatasnya. Sekuler, cocok dilabeli kompeni. Berbau Islam, tuduhan sebagai DI/TII lebih pas.
Masa Orde Baru, lawan politik itu PKI. Pokoknya, siapapun yang nentang penguasa akan dituduh PKI. Kalau berbau Islam, dilabeli Islam radikal. Kalau salah tangkap, kasih identitas teroris.
Sekarang, lawan politik punya label baru, namanya HTI. Organisasi yang belum lama dibubarkan pemerintah ini khas dengan perjuangan khilafahnya. Khilafah itu dianggap akan merubah sistem negara. Intinya HTI itu dianggap anti Pancasila dan anti NKRI. Harus dimusuhi. Digebuk, kata salah seorang ketua ormas.
HTI kemudian jadi icon common enemy. Tak ubahnya kompeni, PKI dan DI/TII. Siapapun yang beda dengan kepentingan penguasa itu HTI. Setidaknya temennya HTI.
Hati-hati anda kalau mau berfoto dengan tokoh atau membawa atribut HTI. Anda akan diidentifikasi sebagai HTI, atau temen HTI. Teman dari ormas terlarang di Indonesia.
Pernah ada salah seorang mantan menteri pegang bendera HTI, langsung heboh. Sang mantan menteri itu dituduh HTI. Anti Pancasila. Ancam NKRI. Mosok mantan ketua KNPI anti NKRI? Ngawur aja.
Begitu juga nasib seorang anggota DPR RI yang divideokan lagi bersama jubir HTI. Langsung dianggap ditunggangi HTI. Lalu halal hukumnya dipersekusi. Picik sekali cara berpikir seperti ini. Cara berpikir seperti inilah yang sebenarnya berpotensi jadi sumber kegaduhan.
Soal gebuk HTI, Ustaz Abdussomad (UAS) kena dampaknya. Jadual pengajiannya sering dibatalkan paksa. Terakhir di Pesantren Al-Husna Mayong Jepara. Pesantren milik Kiyai Mudhofar, santrinya K.H. Maemoen Zubair. Alasannya? Karena ada panitia yang membawa peci dan baju yang ada tulisannya Laa ilaaha illallah. Itu simbol HTI katanya. Bahaya, karena berpotensi mengancam NKRI. Kalimah Laa ilaaha illallah jadi ancaman NKRI? Tidakkah itu kalimah thayibah yang diyakini umat Islam sebagai pondasi aqidah?.
Akibatnya, UAS membatalkan semua jadual ceramahnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. UAS mengungkapkan di medsos bahwa pembatalan itu karena adanya ancaman dan intimidasi. Ngeri kali! Ceramah diintimidasi segala. Siapa yang mengintimidasi? Gelap! Kenapa tak lapor ke polisi? Ini pertanyaan seriusnya. Begitu sudah tidak amankah negeri ini?
Sebenarnya, UAS itu mengancam NKRI, atau mengancam elektabilitas capres? Di tahun politik, pertanyaan ini pantas muncul. Kalau dugaan itu benar bahwa UAS adalah ancaman bagi capres tertentu, lalu dipersekusi, ini sudah over dosis. Ini jadi noda hitam untuk proses demokrasi kita.
Tidak hanya demokrasi yang ternoda, tapi juga hukum. Persekusi itu jelas pelanggaran hukum dan harus ditindak, kata ahli hukum pidana Mahfud MD. Siapa yang mau nindak Pak Mahfud?
Adanya pembiaran sejumlah pelanggaran akan mendorong praktek persekusi semakin bergairah, leluasa dan liar. Dan itu telah terjadi. Jika terus dibiarkan, hanya akan melahirkan negara model hutan rimba. Siapa yang kuat dan banyak pasukan akan jadi hantu menakutkan terhadap yang lemah dan minoritas.
Tidak hanya UAS, tapi hal sama juga dialami Neno Warisman, Rocky Gerung dan Ratna Sarumpaet. Pelaku persekusinya dari pihak yang punya kemiripan identitas.
Narasi yang selalu digunakan sebagai dasar persekusi adalah demi menjaga NKRI. Apakah UAS, Neno Warisman, Rocky Gerung dan Ratna Sarumpaet mengancam NKRI? Ah, Aya Aya Wae. Di sisi mana Anti NKRI-nya ya? Sekjen MUI Anwar Abbas dan mantan ketua Ansor periode 2000-2010 Syaefullah Yusuf membantah adanya ceramah UAS yang terindikasi anti NKRI. Jangan sampai teriak demi NKRI, tapi prakteknya justru merusak dan mengancam keutuhan NKRI. Inilah yang dikhawatirkan rakyat.
Pola identifikasi orang atau kelompok sebagai bagian dari gerakan ormas terlarang memang sangat efektif untuk pertama, membunuh karakter orang atau kelompok itu. Kedua, mencari dan menkonsolidasikan dukungan baru. Tuduhan anti NKRI membuat rakyat terkonsolidasi untuk marah kepada mereka yang dituduh.
Tak ubahnya ketika anda teriak maling. Dan telunjuk anda mengarah kepada seseorang. Sontak orang di sekeliling anda langsung ngejar dan gebukin orang yang anda teriakin maling itu. Tak mungkin ada klarifikasi dulu. Kejar, tangkap, dan gebukin. Begitu juga ketika anda teriak HTI. Atau teriak khilafah. Tak perlu klarifikasi. Kejar, tangkap, dan gebukin. Pakai apa? Tanya Ahmad Dhani kepada salah seorang ketua ormas. Ironis bukan?
Teringat teorinya Jonathan Turner, The Function of Conflict. Salah satu fungsi konflik adalah menciptakan dan menguatkan konsolidasi. Caranya? Hadirkan musuh bersama. Diksi Ganyang Malaysia era Soekarno dapat menyatukan rakyat Indonesia untuk membenci dan melawan Malaysia. Ganyang HTI, lagi laku saat ini. Lalu, pihak-pihak yang dianggap mengancam secara politis diidentifikasi sebagai bagian, atau dianggap berkolaborasi dengan HTI. Ganyang! Inilah dasar persekusi. Dan faktanya, HTI sukses dijadikan simbol persekusi.
Penulis: Tony Rosyid