[PORTAL-ISLAM.ID] Biasanya tak secepat ini Asia Sentinel mengangkat bendera putih. Rabu (19/9) atau sembilan hari setelah mengunggah berita berjudul “Indonesia’s SBY Government: Vast Criminal Conspiracy”, blog berita yang berbasis di Hongkong itu meminta maaf kepada Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat (PD), dan pihak-pihak yang merasa dilecehkan dalam artikel tersebut, khususnya rakyat Indonesia.
Pengelola blog itu menyatakan, artikel yang ditulis John Berthelsen bukan saja tidak memberikan ruang dari pihak-pihak yang dipojokkan dengan sadisnya, tapi juga mengakui bahwa kualitas tulisan itu secara jurnalistik amat menyedihkan.
Sentinel bahkan tak pernah mengecek apakah dokumen ‘investigasi’ yang disebut-sebut itu benar-benar valid. Ini mengingatkan penulis pada kehebohan yang kerap terjadi di Indonesia beberapa tahun lalu, saat Pansus Century bekerja di DPR.
Tiba-tiba saja ada anggota Pansus atau aktivis oposisi kala itu yang mengaku dapat dokumen dengan isi ‘mengerikan’. Entah diperoleh dari jalanan atau dikirimkan oleh pengirim gelap. Tak pernah divalidasi kesahihan dokumen apalagi diverifikasi isi-isinya.
Dalam proses yang penuh drama ala kethoprak seperti itulah, proses politik dalam Pansus Century ‘menyerang’ Pemerintahan SBY. Kemudian Sri Mulyani menjadi trigger dan terlempar dari posisi Menteri Keuangan. Pindah kerja ke World Bank.
Dalam dua minggu terakhir, pemberitaan Sentinel dan segala politisasinya memenuhi hiruk pikuk media sosial kita. Menjadi amunisi baru dalam perang politik lama.
Bisa diduga, sebagian kalangan termasuk golongan cerdik pandai, khususnya yang sejak awal mengambil sikap kontra terhadap kubu SBY. Meletakkan iman politiknya kepada kubu yang saat ini berkuasa. Mereka langsung ‘merelay’ berita Sentinel tanpa ampun. Sebagian lainnya, ‘mengunyah’ tulisan John. Tanpa sempat mempertanyakan benar atau tidaknya klaim-klaim sumir yang dibuat Sentinel.
Ada pula yang memilih memarkir sebentar daya kritis; hal yang sesungguhnya bertentangan dengan pelajaran dasar jurnalistik. Mungkin, yang demikian ini memakai adagium ‘tabrak dulu urusan belakangan’. Media yang memilih untuk mengamplifikasi tulisan itu melebihi batas yang bahkan tak pernah dipikirkan oleh John sendiri.
Kemanunggalan
Pada kasus Sentinel ini, Metro TV memandang tulisan John bak karya ‘investigasi’ kelas dunia. Profil media dan penulisnya ditampilkan seolah kredibel. Untuk melegitimasi pemutaran berita mengenai artikel Sentinel itu dalam repetisi yang sangat tinggi. Metro TV seolah ‘eman-eman’ menggunakan sumber daya manusia dan teknologi yang dimilikinya untuk melakukan verifikasi informasi atas isi ‘dokumen’ yang disebut John.
Faktor teknis dan sumberdaya manusia mungkin tak relevan di sini. Publik tentu sudah mafhum dengan posisi ‘politik’ Metro TV. Bagaimana ia memerankannya selama ini. Stasiun televisi itu, berada di tapal batas antara identitas media komersial yang menggunakan frekuensi publik dan corong blok politik tertentu.
Kenyataan bahwa frekuensi publik digunakan untuk kepentingan politik kelompok, pada kekinian seakan diterima sebagai hal yang biasa. Sesungguhnya tidak lumrah. Instrumen hukum dan institusi regulator-cum-pemantau media penyiaran seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga terlihat tak berkuku tajam. Kurang nyali untuk menghadapi media-media yang memiliki keterkaitan dengan kelompok politik tertentu.
Tapi, SBY dan PD sudah menjadi sasaran tembak untuk dilemahkan lawan politiknya. Sejak kasus Century mengemuka, hampir satu dekade lalu, isu-isu ‘miring’ tentang PD biasa nongol. Menariknya, isu-isu faktual tanpa ‘gorengan’ namun berpotensi menghantam kelompok politik yang dekat Metro TV, seperti kasus kader utama Nasdem yang ditasbihkan menjadi bandar narkoba internasional. Menimbun ratusan ton sabu-sabu serta puluhan ribu pil ekstasi, sirna dari bahasan di layar kaca.
Setidaknya itu menunjukkan keuntungan kelompok politik yang memiliki afiliasi media. Bisa menghantam sesuatu yang dirasa perlu dan menutup sesuatu yang dirasa perlu ditutup. Meskipun tak pernah ada garis resmi secara organisasional antara media dan parpol tertentu, publik sudah TST (tahu sama tahu) tentang kemanunggalan keduanya. Kemanunggalan antara parpol tertentu dan televisinya.
Media yang masih satu grup dengan Metro TV, koran Media Indonesia (MI), juga punya riwayat “perseteruan” dengan PD. MI pernah digugat PD di Dewan Pers atas pemberitaannya mengenai partai tersebut. Kemudian dinyatakan bersalah. Februari lalu, koran itu dinilai oleh Dewan Pers melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik. Menyajikan berita secara tidak berimbang, tidak uji informasi, dan mengandung opini yang menghakimi.
Tentu ada media lain yang memberitakan Sentinel dengan gegap gempita. Tanpa perlu melakukan verifikasi informasi-informasi terlebih dahulu. Ada alasan kendala teknis untuk mencari informasi pengimbang. Tulisan itu disiapkan saat orang-orang kemungkinan masih terlelap.
Ada pula situs yang mencoba membandingkan artikel John di Sentinel dengan hasil investigasi Majalah Time saat menurunkan laporan tentang harta Soeharto. Kedua media sama-sama digugat oleh yang merasa dirugikan. Hanya saja produk jurnalistik keduanya jelas sangat berbeda. Perbandingan yang tidak apple to apple. Bisa dimaklumi, mengingat situs ini tidak memiliki tradisi jurnalisme investigasi. Kurang memahami perbedaan kedua produk itu dengan baik.
Misterius
Tulisan John tidak pas dikatakan sebagai investigasi. Taruhlah dokumen ‘investigasi’ yang disebut John itu mengandung kerahasiaan tinggi. Perlu effort luar biasa untuk mendapatkannya (misalnya ini dokumen spesial berbeda dengan dokumen gugatan hukum yang umumnya mudah diakses). Namun dokumen John dianggap melakukan paper trail. Dokumen itu bukanlah dokumen yang sudah tercocokkan faktanya atau terverifikasi isinya.
Dokumen yang jadi rujukan satu-satunya itu tetap wajib ditelusuri asal muasalnya. Diverifikasi fakta-fakta yang dituduhkan, ditelaah dengan logika akal sehat. Juga dikonfirmasi dengan sumber-sumber lain sebagai pembanding.
Disiplin verifikasi tidak ditemukan dalam tulisan John. Ia bahkan tidak menjelaskan darimana dan bagaimana dokumen itu diperoleh. Pembaca tak mendapatkan jaminan atas kebenaran, keberadaan serta keaslian dokumen itu.
Karena hal yang mendasar saja tidak diterangkan transparan, terebih-lebih hal yang lain. John jelas tak menguji tuduhan-tuduhan di dalamnya dengan sumber-sumber lain. Sangat sulit untuk dapat meyakini klaim-klaimnya begitu saja.
Padahal, banyak pihak yang disebut berada di belakang dokumen itu: pengacara dari sekian banyak negara dan Weston International Capital Ltd. Tak satu pun dikonfirmasi, terlebih lagi pihak tergugat, yakni J Trust.
Klaim bahwa gugatan yang dilayangkan Weston adalah gugatan baru yang dilayangkan ke Pengadilan Mauritius, juga mengundang keraguan. Jika dicek dari website Pengadilan Mauritius, website Weston, dan website J Trust, klaim John sulit dibuktikan.
Bila mau repot sedikit melakukan riset media, kita akan tahu bahwa kasus gugat menggugat antara dua entitas bisnis itu sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2015 dan berkali-kali terjadi pembaruan maupun gugatan balik. Tidak hanya di Mauritius tapi juga di Jepang dan Amerika Serikat.
Keanehan dokumen ‘investigasi’ yang disebut John, salah satunya terletak pada bagaimana ia meletakkan Pemerintahan SBY dan PD sebagai ‘tertuduh konspirasi’ pada posisi yang tak jelas dalam kasus gugatan hukum antara Weston dan J Trust.
Jika gugat menggugat terjadi antara kedua belah pihak (Weston dan J Trust), Pemerintahan SBY serta PD bukanlah merupakan pihak-pihak yang menjadi tergugat. Mengapa perlu mengeskplorasi kisah-kisah sebagai ‘konspirasi kejahatan Pemerintahan SBY’?
Lalu, jika mereka menganggap ada kesalahan serius pada Pemerintahan SBY, mengapa mereka tidak memasukkannya sebagai kelompok atau individu yang digugat? Bukankah grup Saab yang berasal dari Lebanon juga dijadikan tergugat. Walau mereka tak terlibat langsung dalam perkara yang dituduhkan. Tergeret hanya karena dianggap menyediakan bank-banknya menjadi tempat penyimpanan duit. Hanya dituduh berasal dari Bank Century/ Bank Mutiara?
Dari sini saja, tulisan John sudah mengandung ke-liyeur-an. Belum lagi, ketika porsi dominan dari tulisan itu adalah kisah pembobolan Bank Century. John seperti menghindarkan diri dari kemungkinan menyinggung nama Sri Mulyani. Tidak ada satupun kata atau frasa ‘Sri Mulyani’ ditemukan di sana.
Sementara Wakil Presiden Boediono dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Kartika Wirjoatmodjo ditulis namanya secara lengkap dan diulas perannya secara spesifik, Menkeu Sri Mulyani seolah tersembunyi dari sorotan John. Padahal, Sri Muyanilah “korban” pertama yang rusak kredibilitasnya oleh Pansus Century DPR.
Jika kita buka rekaman sidang-sidang Pansus dan berbagai pemberitaan media, politisi-politisi yang mengafirmasi tulisan John Berthelsen itulah yang dulu paling keras ‘menyerang’ Sri Mulyani. Bahwa mereka sekarang satu kubu politik, itu lain soal. Tapi, kejujuran pada fakta harus dipertanyakan: Kenapa ‘kesalahan’ Sri Mulyani dalam kasus Century sebagaimana pernah digembar-gemborkan Misbakhun dkk itu harus ‘ditutupi’ oleh John?
Gugatan Berbeda Narasi
Inti masalah perseteruan Weston dan J Trust, seperti tertera di salah satu rilis J Trust pada 2 Februari 2018, adalah karena pihak Weston menuduh J Trust dan pihak-pihak terkait lainnya -dalam salah satu gugatannya termasuk LPS- melakukan kecurangan dalam proses pengambilalihan Bank Mutiara (nama baru Bank Century).
Weston yang dalam posisi sebagai kreditur prioritas merasa dihalang-halangi untuk mengakuisisi J Trust. Perusahaan investasi yang berpusat di Mauritius itu mengklaim menderita kerugian dan menuntut ganti dari para tergugat. Di antara tergugat juga terdapat bank dan lembaga keuangan milik keluarga Saab dari Lebanon (pemilik beberapa lembaga keuangan di antaranya di antaranya Saab Financial yang berbasis di Bermuda) yang dituduh menjadi tempat pencucian uang dari Bank Mutiara.
Weston International Capital rajin menayangkan rilis atas perkembangan perkara baru mereka di pengadilan Mauritius. Walau sesungguhnya tidak ada perkembangan baru dalam gugat menggugat, selama tiga bulan terakhir. Sama sekali tidak ada rilis mengenai gugatan baru yang menyeret-nyeret nama pemerintahan SBY seperti yang diramaikan belakangan.
Rilis terakhir Weston International Capital tertanggal 8 Mei 2018 malah menjelaskan soal civil damage atau gugatan ganti rugi immaterial kepada J trust. Gugatan ini melekatkan tuduhan pengingkaran keputusan pengadilan atas salah satu kasus mereka yang telah diputuskan oleh pengadilan Mauritius.
Dokumen ‘investigasi’ yang diklaim John Berthelsen juga mengandung kesembronoan alias tidak hati-hati. Tuduhan kolaborasi 30 orang pejabat yang secara bersama-sama selama 15 tahun berupaya mencuri, mencuci, dan menyembunyikan lebih dari 6 Miliar USD atas perintah Presiden Indonesia dan Wakil Presiden Boediono itu sulit dicerna akal sehat.
Kita tidak tahu, 15 tahun yang dituduhkan itu dalam rentang waktu tahun berapa hingga tahun berapa. SBY-Boediono berkuasa hanya 5 tahun saja, kemudian 5 tahun SBY bersama JK. Dan SBY memerintah hanya dalam kurun waktu 10 tahun.
Saya tidak yakin jika di masa Joko Widodo ini, SBY masih punya power yang kuat untuk mengendalikan pejabat-pejabat di lembaga-lembaga yang disebutkan di artikel Berthesen; Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Kementerian Keuangan, maupun juga Kementerian Hukum dan HAM. Jelas, mereka orang-orang baru yang dipilih pemerintahan Joko Widodo.
Klaim adanya uang Rp. 177 Triyun yang dicuci melalui Bank Century/ Bank Mutiara juga sulit untuk dipercaya. Suntikan dana LPS untuk menyelamatkan Bank Century hanya Rp. 6.7 T.
Aliran keluar masuk uang dari bank yang disebutkan juga terlalu bombastis. Sulit dimengerti jika ada aliran dana sebesar itu, meski sebagiannya saja, tak terlacak oleh audit forensik dan investigatif BPK atau penelurusan PPATK.
Sementara hasil laporan audit BPK sangat detail dan kaya informasi. Laporan audit BPK itu, bahkan berhasil membongkar adanya perusahaan milik anggota Pansus Century, Misbakhun, yang menerima fasilitas LC Bank Century.
Tentu publik masih ingat, laporan berbagai media, diantara tahun 2010-2011 tentang kasus Century, menampilkan permainan LC ‘bodong’ dan valas yang menjadi modus ‘pembobolan’ bank tersebut.
Ironi
Adalah sebuah ironi yang menyesakkan, manakala sebagian pekerja media yang belum yakin dengan wawasan hukum bisnis dan keuangan internasional, ‘memaksa’ untuk cepat-cepat mendapatkan kesimpulan soal benar atau salahnya klaim-klaim John.
Ada seorang pemimpin media mainstream sempat bertanya kepada kawannya, orang yang dianggap paham tentang patgulipat keuangan internasional, tentang kebenaran isi tulisan John. Sang kawan itu menjawab dengan balik bertanya: “Pertanyaan apa lagi yang belum terjawab dengan Century? Lalu, kenapa harus percaya dengan rumor di Mauritius? Jika gugatan itu memang ada, otoritas di negeri lain saja tidak ada yang menganggap serius klaim-klaim ‘bandit’ itu, kenapa musti percaya?
Seharusnya, daripada memaksa dapat jawaban instan soal benar salah tulisan John, akan lebih baik jika para pekerja media terlebih dulu membelejeti informasi yang ada dengan common sense maupun perangkat jurnalistik yang mereka miliki.
Jika para pekerja media mau menelusuri kasus gugat-menggugat kedua pihak itu dari sumber-sumber internet, mereka akan gampang tahu bahwa Weston setidaknya dua kali kalah dalam kasus gugatan melawan J Trust di Jepang dan Amerika Serikat.
Jika toh gugatan itu benar-benar ada, sesungguhnya dengan common sense saja, bisa menjawab apakah informasi yang ditiupkan John layak di‘heboh’kan atau malah lebih pas dijadikan hiburan senja. Sangat mudah untuk melihatnya: lebih berwibawa mana, antara Pengadilan Tokyo dan Amerika Serikat dengan Pengadilan Mauritius? Lebih serius mana dampaknya di antara keduanya?
Problem mendasar kenapa laporan Asia Sentinel itu bisa disirkulasikan dan ‘dimakan’ oleh banyak media dan cerdik cendekia di Indonesia, selain adanya inferiority complex (pandangan bahwa produk asing tentu hebat) juga tercemar motif politik. Disamping lemahnya wawasan hukum keuangan internasional dan kurangnya daya kritis sebagian pekerja media.
Peran Gelap
Apapun itu, Sentinel telah mengakui bahwa tulisan itu buruk secara jurnalistik. Tim PD yang serius melakukan investigasi ke Hongkong menemukan fakta bahwa Sentinel tidak dikenal oleh kalangan pers Hongkong. Person maupun organisasi media itu tidak terdaftar dalam Asosiasi Jurnalis dan Dewan Pers Hongkong.
Di alamat kantor yang pernah disebutkan di blog, juga tidak ditemukan keberadaan mereka di sana. Hal itu menunjukkan bahwa Sentinel tidak kredibel sebagai sebuah organisasi media dan tidak layak dipercaya. Lebih jauh, rekam jejaknya selama ini juga patut menjadi dasar dugaan bahwa blog ini memainkan peran gelap. Terkait dengan operasi misinformasi dan disinformasi untuk merusak citra pihak-pihak tertentu di negeri-negeri Asia. Entah untuk kepentingan apa atau siapa.
Bukan kali ini saja. Berkali-kali Asia Sentinel menyebarkan rumor atau berita palsu. Tidak kapok juga. Kasus tulisan John Berthelsen tentang aksi pro-demokrasi di Hongkong tahun 2014 yang dinyatakannya didukung otoritas Amerika, hanya salah satu saja.
Tulisan itu sempat membuat ‘heboh’ media-media lokal di Hongkong dan RRC. Belakangan terbukti palsu karena hanya bersumber dari sebuah blog iseng. Kasus itu menjadikan Asia Sentinel contoh buruk jurnalisme digital. Namanya selalu muncul dalam kuliah Dr. Masato Kajimoto dari Pusat Kajian Jurnalisme dan Media Universitas Hongkong. Juga muncul dalam buku "Handbook of Research on Media Literacy in the Digital Age" yang dieditori Melda N. Yildiz.
Kasus lainnya, misalnya pemberitaan mengenai sebuah skandal bisnis di Malaysia, September 2015. Di tulisan itu, Sentinel membuat tuduhan sumir terkait kongkalikong dalam penunjukan Malaysian Resources Corporation Berhad (MRCB) dan kongsi joint-venturenya, George Kent Malaysia Berhad. Proyeknya adalah pembangunan LRT (Light Rail Transit Line 3).
Sebulan kemudian, Sentinel menyatakan bahwa tulisan tersebut berisi pernyataan dan tuduhan yang secara faktual tidak benar. Mereka pun menulis permintaan maaf kepada pihak-pihak yang disebutnya dalam tulisan itu. Khususnya, pada pihak-pihak yang dikutip dalam tulisan, tapi mereka tak pernah mengeluarkan pernyataan seperti yang ada dalam tulisan.
Sebelumnya, di tahun 2012, Sentinel juga membuah ‘heboh’ Malaysia. Sebuah artikel mengenai Ketua Komisi Sekuritas Malaysia, Zarinah Anwar, yang disebut akan mengundurkan diri. Penyebabnya, seperti ditulis Sentinel, lantaran konflik kepentingan terkait aktivitas perdagangan saham yang dilakukan suaminya.
Tulisan tersebut dua hari kemudian ‘direlay’ oleh situs lokal Malaysiakini.com tanpa adanya pengecekan terhadap fakta atau verifikasi atas informasi yang sesungguhnya dekat dari jangkauan media online tersebut.
Setelah mendapat protes dan gugatan dari Zarinah dan suaminya, Malaysiakini.com menyadari bahwa tuduhan dalam tulisan itu merusak reputasi pihak-pihak yang disudutkan dalam tulisan. Pihak-pihak tersebut tidak mendapatkan ruang untuk mengkonfirmasi atau membantah berbagai tuduhan yang dilancarkan.
Karena tuduhan itu tidak bisa dibuktikan, Malaysiakini.com melakukan koreksi. Dua bulan setelah penayangan tulisan dari sumber Sentinel itu, mereka mencabut berita dan meminta maaf. Awalnya Sentinel keukeuh bertahan menghadapi protes Zarinah, tapi delapan bulan setelah permintaan maaf Malaysiakini.com mereka juga meminta maaf.
Dari banyaknya kasus itu, saya menduga Sentinel adalah blog dari kelompok yang sering diistilahkan orang Lampung sebagai ‘Raja Olah’. Mereka mencari peluang tertentu dari kegiatan olah-mengolah informasi sumir. Hal ini menjadi peringatan bahwa tidak semua informasi dari ‘luar’ itu sahih dan bermutu.
Bagi media lokal dan publik, lebih baik semua informasi yang datang dari manapun disaring dulu; dinalar kritis, divalidasi sumbernya, diverifikasi isi informasinya, dicek & ricek, untuk kemudian baru ditimbang mau dipercaya atau tidak.
Sumber: RMOL