[PORTAL-ISLAM.ID] Kecewa terhadap sikap, kinerja dan kebijakan Jokowi, muncul hashtag #2019GantiPresiden. Belakangan, massa yang dikomandoi Neno Warisman ini melakukan deklarasi. Apa yang dideklarasikan? #2019GantiPresiden.
Deklarasi ini berhasil mempengaruhi opini rakyat. Sebagai bukti, elektabilitas Jokowi berangsur turun. Rakyat yang ingin ganti presiden lebih -dan makin- banyak jumlahnya. Deklarasi ini lalu dipersekusi. Dilarang karena dianggap makar. Mereka yang memakai kaos #2019GantiPresiden dicegat di jalan, dipaksa copot, dan sebagian kaosnya dirobek-robek. Meski semua pakar hukum, termasuk Prof.Dr. Mahfud MD menyatakan bahwa dekalarasi #2019GantiPresiden tidak melanggar hukum, dan tidak memiliki unsur makar. Faktanya, tetap dilarang. Deklarasi tidak lagi diijinkan.
Saat ILC ingin mengangkat tema ini, mendadak batal tayang. Berbagai pihak coba konfirmasi ke Karni Ilyas, produser merangkap host ILC ini menjawab: “Tidak semua yang kita rasakan bisa dikatakan. Tidak semua yang kita alami bisa diceritakan”. Membaca curhat Karni Ilyas ini, anda mestinya bisa merasakan yang Karni Ilyas rasakan.
Tidak hanya deklarasi #2019GantiPresiden dan ILC yang terpersekusi, tapi nasib sama menimpa Ustaz Abdussomad (UAS). UAS terpaksa membatalkan semua jadwal ceramahnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena ada intimidasi. Pihak mana yang intimidasi? Tanya pada UAS. Kenapa tak lapor ke polisi? UAS berdalih, proses pelaporan yang di Bali saja tidak selesai-selesai.
Selain UAS, Rocky Gerung dan Ratna Sarumpaet juga berada dalam pengawasan. Mereka berdua boleh bicara di seminar, tapi waktunya dibatasi. Seminarnya pun diawasi.
Beberapa hari lalu (Jumat, 14/9), mahasiswa turun. Mereka demonstrasi besar-besaran. Mahasiswa bergerak secara nasional dari Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Hanya menyisakan Papua. Tak tanggung-tanggung. Mereka minta Jokowi mundur. Ngeri kali, kata orang Medan.
Sudah terlalu lama rakyat merindukan suara nurani mahasiswa. Kerinduan itu sekarang terjawab. Mahasiswa serentak turun dan menuntut Jokowi mundur. Dahsyat!
Mahasiswa sudah bangun dan sadar, kata sejumlah orang di medsos. Bukan kata orang-orang di TV? TV masih tidur. Tak ada slot untuk bicarakan mahasiswa. Apalagi talk show membahas demonstrasi dengan tuntutannya. ILC pun tak berani angkat tema itu. Takut gagal tayang lagi.
Selama ini rakyat meragukan peran dan kiprah mahasiswa. Sepi, sunyi dan senyap. Lalu muncul dugaan. Apakah mahasiswa sekarang IP oriented? Segera lulus dengan nilai cumlaude, lalu dapat kerja. Atau mahasiswa sedang dalam tekanan rektor, karena rektor dalam pengawasan menteri. Begitulah kalau jabatan rektor dipilih dan ditunjuk menteri.
Atau mahasiswa sudah pintar cari duit? Plesiran pakai tiket pesawat gratis. Itu mahasiswa yang sudah masuk angin. Emang ada mahasiswa yang masuk angin? Kalau demo mahasiswa berhenti, ada dua kemungkinan. Pertama, tuntutannya dipenuhi. Ekonomi membaik. Nilai tukar rupiah menguat, dan dolar turun. Kedua, ekonomi tak berubah, tapi demo berhenti. Kalau begitu, patut diduga mahasiswa sudah masuk angin.
Kenapa Jokowi harus mundur? Mahasiswa menganggap Jokowi tidak kompeten mengurus negeri ini. Terutama soal ekonomi. Lebih baik mundur dari pada ekonomi negeri ini makin terpuruk.
Minta Jokowi mundur, apakah bukan tindakan makar? Jika deklarasi #2019GantiPresiden dipersekusi dan dilarang karena dianggap makar, bagaimana dengan mahasiswa yang minta Jokowi mundur? Hingga hari ini, belum ada pernyataan itu. Setidaknya dari juru bicara istana.
Setelah mahasiswa, kini giliran ulama yang berafiliasi dengan 212 mengadakan Ijtima’ Ulama ke-dua Ahad 16 September 2018. Hasilnya? Bertekad akan memenangkan Prabowo sekaligus melengserkan Jokowi di pilpres 2019. Mereka akan bergerak dan menjadikan seluruh rumahnya menjadi posko-posko untuk memenangkan Prabowo dan menumbangkan Jokowi di pilpres 2019.
Jokowi telah terkepung. Posisinya saat ini ditekan oleh massa deklarasi #2019GantiPresiden, jutaan jamaaah UAS, puluhan ribu mahasiswa di sejumlah wilayah di Indonesia, kelompok LSM dan akademisi yang sekata dengan Rocky Gerung dan Ratna Sarumpaet, serta massa yang bergabung dalam gerakan 212 GNPF ulama. Mereka semua adalah massa militan. Mereka satu tujuan: ingin ganti presiden. Kecuali mahasiswa yang ingin segera Jokowi mundur. 2019 terlalu lama.
Selain mereka, ada para ekonom seperti Kwik Kian Gie, Rizal Ramli dan Faisal Basri yang terus menggempur kinerja ekonomi Jokowi.
Suasana pilpres 2019 mirip Pilgub DKI. Dimana miripnya? Pertama, lahir gelombang besar massa yang hanya punya satu keinginan: tumbangkan Jokowi di pilpres 2019. Tak terlalu penting siapa yang akan gantikan Jokowi. Yang penting, Jokowi kalah. Mirip Pilgub DKI 2017 bukan? Karenanya, kelompok ini dikenal dengan kelompok ABJ (Asal Bukan Jokowi).
Kedua, Kelompok massa ini bertebaran dan bekerja secara militan, massif dan terpisah dari timses. Mereka bukan tim pemenangan, tapi tim yang hanya ingin mengalahkan Jokowi. Karena itu, logistik mereka berbasis pada saweran umat. Mirip saat Pilgub DKI.
Ketiga, mereka melawan incumbent dengan elektabilitas tertinggi. Didukung koalisi mayoritas dan logistik tanpa batas. Seperti saat Pilgub DKI 2017 dimana Ahok sebagai incumbent diduga diback up total oleh kekuasaan, partai mayoritas dan logistik tak terbatas. Kendati begitu, Ahok tetap kalah.
Apakah Jokowi akan bernasib seperti Ahok? Mudah cara mengukurnya. Jika pasca deklarasi, demonstrasi dan Ijtima’ Ulama itu elektabilitas Jokowi terus turun, ada tanda-tanda benteng istana mulai jebol. Kekuatan koalisi, logistik dan operasi tim senyap yang dimiliki Jokowi tak lagi ampuh untuk membendung gerakan massa itu. Apalagi jika reaksi tim Jokowi tak proporsional, maka akan memperbesar gelombang opini yang berpotensi semakin meruntuhkan elektabilitas Jokowi. Jika ini terjadi, Jokowi bisa bernasib seperti Ahok. Kalah!
Penulis: Tony Rosyid