[PORTAL-ISLAM.ID] Ada yang mengkhawatirkan kalau Ustad Abdul Somad (UAS) diminta sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto (PS), bisa mengalami nasib yang sama seperti da’i termasyhur, Kiyai ZMZ. Maksudnya, penghormatan masyarakat menjadi berkurang. Banyak yang tidak suka. Karena masuk ke politik. Dan politik dianggap sangat kotor.
Politik itu kotor, saya setuju. Tetapi, menyamakan kemungkinan nasib UAS akan seperti ZMZ, sangat tidak relevan.
Kalau UAS bersedia diminta menjadi wapres, sesungguhnya suasana yang mengantarkan beliau ke dunia politik jauh berbeda dengan jalan ZMZ menerjuni politik. Tidak sama. Perbedaannya sangat kontras. Bahkan, saya berpendapat posisi wapres bukanlah posisi politik yang penuh dengan ranjau transaksional. Wapres tidak seperti pimpinan atau anggota DPR. Tidak pula seperti ketua umum parpol.
Mari kita tilik perbedaan jalan UAS dan jalan Kiyai ZMZ.
UAS tidak sedang membentuk partai politik yang mengharapkan dukungan jemaahnya. Sebaliknya, Kiyai ZMZ dulu terjun membetuk partai politik dengan tujuan yang mulia, sebetulnya. Almarhum membentuk Partai Bintang Reformasi (PBR) pada awal Januari 2002. Tetapi, gara-gara parpol ini, ZMZ dirasakan tidak lagi milik umat. Dia dianggap tidak bisa lagi menjadi tali penyambung umat.
Kiyai ZMZ pun dari hari ke hari tersita oleh parpolnya. Sejalan dengan itu, penghormatan umat menjadi pudar. Beliau redup dengan sendirinya.
Inilah jeleknya politik parlementer. Politik yang memerlukan dukungan massa, yang sangat mudah terperangkap ke dalam situasi yang tak baik. Inilah yang membuat Kiyai ZMZ kehilangan pamor keulamaannya.
In-sya Allah berbeda dengan UAS. Beliau bukan ketua umum parpol. Karena itu, dia tidak disibukkan oleh keharusan mencari dana parpol yang selama ini membuat banyak politisi menjadi korup.
UAS tak pernah berniat terjun ke politik, apalagi sampai membentuk parpol. Dan dia paham betul bahwa politik parlementer itu penuh dengan praktik comberan.
UAS, seandainya pun beliau mau diminta (ulang: diminta) menjadi cawapres untuk Pak PS, beliau tidak akan banyak atau boleh dikatakan tidak akan pernah, dan tak perlu, bersentuhan dengan politik parlementer yang jorok itu. Jadi, UAS bisa dijaga agar tidak ikut-ikutan menggoreng isu-isu politik atau masalah bujeter yang banyak ditemukan di parlemen.
Sekiranya UAS ditakdirkan menjadi wapres tahun depan, beliau adalah figur nasional yang duduk sebagai wakil kepala negara. Dia milik seluruh rakyat dari semua golongan. UAS bukan milik parpol.
UAS tidak ambisius. Ketika muncul keputusan ijtima’ ulama yang mengajukan namanya menjadi cawapres, UAS malah menolak. Serius menolak. Bukan basa-basi. Dia mengatakan, Ustad Salim Segaf yang lebih pantas. Bahkan, di depan satu tabligh akbar di Semarang, kemarin, UAS meminta jemaah mendoakan agar dia menjadi ustad sampai mati.
Sampai tulisan ini saya unggah, pihak Pak PS masih berusaha menghubungi UAS untuk bisa bertatap muka, berkenalan lebih jauh. Belum pasti juga apakah beliau mau dan ada waktu untuk bertemu Pak PS. Jadi, UAS adalah tokoh yang didatangi, bukan mendatangi. Belakangan ini, banyak tokoh yang mendatangi sumber kekuasaan.
Hari ini umat sepakat bahwa Ustad Abdul Somad sangat cocok sebagai wakil presiden mendampingi Presiden Prabowo Subianto. Dengan satu misi yang sangat penting. Bukan misi hura-hura. Beliau diharapkan memperkuat Pak PS dalam misi berat untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman masuk jurang kebangkrutan di segala bidang kehidupan.
Jadi, marilah kita berhenti maratapi kemungkinan UAS akan menjadi pudar keulamaannya gara-gara menjadi cawapres yang in-sya Allah menjadi wapres. Dengan izin Allah, dan dengan pengawalan ketat para ulama, UAS akan menjalankan “fungsi asli” seorang wapres, yaitu mencegah kemungkaran dalam bentuk transaksional.
UAS akan menjadi penyemangat Pak PS dalam misi beliau untuk membersihkan Indonesia dari bandit-bandit bisnis dan pemodal jahat. Untuk mengembalikan martabat serta harga diri bangsa dan negara yang sekarang sedang diinjak-injak. Untuk memulihkan kedaulatan rakyat.
Menjadi wapres atau tidak, in-sya Allah saya yakin Ustad Abdul Somad tidak akan terjebak ke dalam pengalaman Kiyai ZMZ.
Penulis: Asyari Usman