[PORTAL-ISLAM.ID] Sejak deklarasi Capres-Cawapres, ada banyak hantu mulai berkeliaran di media sosial. Jumlahnya puluhan ribu. Akun-akun bodong itu bagi-bagi tugas. Ada yang bertugas mencaci maki, ada yang ngibul dan sebar hoax. Ada yang spin issue. Ada yang spesialis melakukan pembunuhan karakter. Mereka adalah tentara cyber.
Mereka tidak memiliki identitas. Tidak ada yang tahu apakah mereka bagian dari kelompok komunis, liberalis, relijius fundamentalis, relijius terbelakang, atau partisan. Semua tercampur jadi satu. Mereka bisa menjadi bunglon dan nyaru sebagai akun muslimah berparas ayu, atau akun militan muslim cyber army.
Mereka bahkan tak segan melakukan operasi paling bodoh; membuat username mirip akun-akun influencer.
Mereka rajin nongkrong di tiap twit tokoh besar dan akun-akun influencer yang tiap hari menyalak kencang. Mereka sibuk merespon tiap cuitan dengan bully dan caci maki. Mulai dari tokoh masyarakat seperti Ratna Sarumpaet, Haji Lulung, Lieus Sungkharisma, Zeng Wei Jian, hingga tokoh politik seperti Fadli Zon, Anies Baswedan, Fahri Hamzah, Andi Arief, Habiburokhman, Amien Rais, Panca Laksana, Zara Zettira, dan yang kini jadi incaran empuk mereka, Ferdinand Hutahaean, seorang mantan relawan Jokowi yang kini duduk di jajaran elite Partai Demokrat jadi korban serangan mereka.
Para hantu cyber ini merupakan transformasi dari beberapa kelompok tentara cyber sisa pilgub 2012, Pilpres 2014 dan cyber army Ahok di Pilgub DKI 2017 lalu.
Keberadaan mereka, menurut Zeng Wei Jian, merusak freedom of speech. Menjungkir-balikan logika. Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Mereka menganulir fakta minimnya prestasi tokoh yang hendak diunggulkan dan menghabisi lawan-lawan politik dengan segala cara.
Belakangan, hantu-hantu cyber semakin kepanasan dengan bergabungnya Partai Demokrat ke dalam barisan oposisi. Mereka melancarkan serangan brutal ke tokoh-tokoh Partai Demokrat, padahal tak satu pun kader Partai Demokrat menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden yang menjadi lawan tarung pemakai jasa mereka.
Mereka bikin meme mengenai kegagalan kepemimpinan SBY. Aneh. Yang bertarung Prabowo-Sandi kok yang diserang SBY.
Sekilas mereka terlihat dungu.
Namun jika mau mengorek sedikit dan menyalakan nalar, serangan tentara cyber terhadap Partai Demokrat merupakan perang cyber yang sesungguhnya. Karena hanya dengan SBY lah pertarungan Pilpres mendatang bakal seimbang.
Mengapa? Di atas kertas, sebagai petahana Jokowi punya banyak prestasi di bidang infrastruktur, setidaknya begitulah klaim Jokowi. Hanya SBY lah yang bisa membungkam klaim tersebut dengan data yang terarah, terukur dan teruji kebenarannya. Maka, SBY dan kader Demokrat yang di media sosial rata-rata berani gagah tampil dengan wajah dan nama asli mereka, menjadi target serangan tentara cyber anonim. SBY dan kader Demokrat HARUS DIHABISI.
Mereka yang berada di balik tentara cyber sadar, pertarungan Pilpres antara Prabowo dan Jokowi tidak terlalu menggigit. Prabowo adalah tokoh yang turut mengusung Jokowi di Pilgub DKI, meski kemudian dikhianati. Prabowo juga lah yang dikalahkan Jokowi dalam Pilpres 2014. Secara psikologis, Jokowi berada di atas angin dalam melawan Prabowo.
Prabowo loh ya.. bukan Sandiaga.
Kehadiran Sandiaga adalah hantaman telak yang mampu mengubah total peta Pilpres 2019 sebagai pertarungan antara paket komplit (ganteng, gagah, tajir, alim, pelaku pasar) dengan tukang obat yang kerap mengklaim produknya paling manjur. Ini pertarungan tak imbang. Tentara cyber besutan petahana sadar, jika mereka ngotot serang Sandiaha, Jokowi bakal keok dilibas emak-emak.
Maka, pilpres 2019 akhirnya dikembalikan ke format asli sebagai perang lawas antara dua pemimpin partai besar: SBY dan Megawati. Inilah perang yang sesungguhnya.
Maka dibangunlah narasi untuk menghabisi SBY dan Partai Demokrat. Sayangnya, narasi tentara cyber ini lebih sering nampak dungu ketimbang cerdas. Hal ini membuat Wasekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik menjadi gemas dan meminta Jokowi menaikan kualifikasi para tentara cyber itu.
Desakan Rachland Nashidik ini ditanggapi oleh warganet.Pak Jokowi, tolonglah rekrutmen buzzer Anda disertai syarat: Lulusan S1 dengan IPK minimal 2.0.— Rachland Nashidik (@RachlanNashidik) August 24, 2018
Terimakasih.
Biar samaan ya bang 😬😬 pic.twitter.com/zojPRU0EEq— Nawir Tola (@NawirTola) August 24, 2018
Lah gimana IPK 2.0 wong ybs dibawah 2.0 😂, ga etis kalo melebihi 😂😂😂😂😂😂— abrzki (@abrorXXX) August 24, 2018
[*/PORTAL-ISLAM.ID]