(Emak-emak diseret ditarik saat menghadiri deklarasi #2019GantiPresiden. KLIK VIDEO)
[PORTAL-ISLAM.ID] JAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat Satuan Relawan Indonesia Raya (Satria) yang juga Ketua DPP Partai Gerindra M Nizar Zahro mengeluhkan tindakan persekusi terhadap aktivis #2019GantiPresiden. Bahkan, Nizar menduga aparat penegak hukum mulai tidak netral dan terseret dalam politik praktis.
"Miris, menyaksikan video yang beredar, di mana seorang emak-emak, Neno Warisman, dipersekusi di Bandara Pekanbaru, Riau," kata Nizar dalam keterangan tertulisnya, Ahad (26/8).
Menurut Nizar, dari kesaksian Neno Warisman, massa yang mengadang di gerbang keluar bandara hanya sekitar 40-orang. Tetapi, mereka bebas melakukan apa saja, mulai dari bakar ban, hingga melempar batu ke mobil yang dinaiki oleh Neno. Aparat yang jumlahnya lebih banyak tidak berkutik.
"Setelah tujuh jam tertahan di gerbang bandara, akhirnya oleh aparat Neno akan dikawal menuju hotel. Tetapi bukan hotel yang dituju melainkan kembali ke Bandara. Neno dipaksa kembali pulang ke Jakarta," tambahnya.
Dalam kesaksiannya, Neno beserta rombongan diperlakukan secara kasar. Neno secara khusus menyebut Kabinda Riau yg sudah bertindak secara kasar. Selang beberapa jam, situasi mencekam merembet ke Surabaya. Polisi secara paksa membubarkan massa yang ingin menghadiri acara deklarasi #2019GantiPresiden.
"Sehari sebelumnya beredar surat dari kepolisian tentang tidak dikeluarkannya STTP dengan alasan ada ormas yang tidak setuju dengan gelaran #2019GantiPresiden," tutur Nizar.
Nizar menilai, insiden yang terjadi di Pekanbaru dan Surabaya membuktikkan bahwa aparat tidak netral. Aparat sudah terseret dalam politik praktis.
Logikanya, aparat tidak akan mungkin tunduk pada kemauan ormas. Aparat sejati hanya akan tunduk kepada Undang-undang.
Menurut Nizar, acara deklarasi #2019GantiPresiden adalah acara yang sah secara konstitusional. Para aktivis dijamin oleh konsitusi dan UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
"Aparat mestinya sadar, sejarah sudah membuktikan tidak ada yang bisa melawan kehendak rakyat. Seberapa banyaknya kayu yang digebukkan, sebera pun kerasnya gebukan tersebut, tetap rakyatlah yang akan tampil sebagai pemenang," tutup Nizar.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Polisi Syahar Diantono menuturkan, polisi memiliki wewenang untuk membubarkan kegiatan yang dinilai berpotensi mengganggu ketertiban. Termasuk, deklarasi #2019GantiPresiden.
"Karena pertimbangan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat), bila ada potensi ancaman mengganggu keamanan ketertiban masyarakat," ujar Syahar saat dikonfirmasi, Ahad (26/8)
Atas alasan tersebut, menurut Syahar, Polri pun tidak menerbitkan surat tanda terima bentuk penyampaian pendapat. Bila memaksakan untuk melakukan deklarasi, maka Polri pun berwenang melakukan pembubaran.
"Polri tidak menerbitkan surat tanda terima pemberitahuan unjuk rasa, bila tetap dilaksanakan Polri berwenang untuk membubarkan," ujar dia.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto menyatakan, masyarakat menolak deklarasi #2019GantiPresiden di sejumlah tempat. Alasannya, saat ini belum memasuki masa kampanye.
"Sebagian besar masyarakat menolak karena belum masuk masa kampanye. Mereka juga keluarkan suara bahwa pilpres harus diisi dengan kampanye adu cerdas program Bukan membuat tagar yg bisa menyinggung yang lain dan potensi konflik," ujar Setyo melalui pesan tertulis, Ahad (26/8).
Tingginya gelombang penolakan itu, kata Setyo pun menjadi landasan kepolisian untuk lantas tidak melanjutkan memberi izin pada deklarasi tersebut. Pasalnya, dikhawatirkan, kericuhan dapat pecah.
"Banyak gelombang penolakan deklarasi tersebut yang dapat akibatkan konflik yang merupakan gangguan terhadap ketertiban umum," ujar Setyo. (Republika)