[PORTAL-ISLAM.ID] Indonesia adalah yang berkelimpahan beras, karena negeri ini adalah termasuk lumbung padi, paling tidak untuk memenuhi kebutuhan warganya. Tapi apa yang terjadi, pemerintah getol mengimpor beras, bahkan hingga 2 juta tahun tahun ini.
Pepatah lama mengatakan ‘ayam mati di lumbung padi’ itu memang ada benarnya. Paling tidak pepatah itu dapat mewakili keresahan para petani beras, karena berasnya tak laku dan bahkan mengalami tekanan harga menyusul gencarnya impor beras yang dilakukan pemerintah.
Keresahan petani makin menjadi-jadi karena Kementerian Perdagangan telah menerbitkan izin impor beras kepada Perum Bulog sebesar 1 juta ton. Izin impor diterbitkan pada Juli 2018, berlaku hingga September 2018.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan mengutarakan izin impor yang diberikan merupakan hasil keputusan dari rapat koordinasi terbatas awal tahun ini. Pada saat itu, Bulog mendapatkan jatah impor beras sebesar 2 juta ton. Dari jumlah tersebut, Bulog sudah merealisasikan sebesar 1 juta ton masing-masing Februari 2018 sebesar 500 ribu ton dan Mei 2018 sebesar 500 ribu ton.
Oke beralasan impor beras diperlukan untuk mengisi stok beras sekaligus cadangan beras pemerintah di gudang Bulog. Adapun perhitungan sebesar 2 juta ton karena pada awal tahun 2018 lalu, stok cadangan beras yang dimiliki Bulog hanya 900 ribu ton.
Tentu saja alur berpikir Kementerian Perdagangan bisa diterima, namun kenyataannya sama sekali bertolak belakang dengan stok yang dimiliki Bulog. Dirut Perum Bulog Budi Waseso mengaku stok beras Bulog sangat melimpah, bahkan tembus angka 4 juta ton.
Bagaimana mungkin Kementerian Perdagangan bisa mengalaskan impor beras yang dilakukan Perum Bulog dengan alasan memperkuat buffer stock Bulog. Sementara Bulog merasa stok beras sudah lebih dari cukup, angka 4 ton sudah merupakan lonjakan lebih dari 300% dibandingkan stok beras tahun lalu yang hanya 900 ribu ton.
Gudang-gudang Bulog pada poisisi hari ini sudah penuh hingga tak mampu lagi menampung beras yang baru diserap dari petani. “Hari ini pun kita sudah tidak mampu lagi menampung beras-beras yang ada di gudang-gudang kita, sudah penuh. Gudang kita itu bisa menampung riil itu 3,2 juta ton, nah sekarang sudah penuh semua,” Buwas memaparkan.
Hingga September mendatang, pengadaan beras Bulog dari dalam negeri akan bertambah lagi hingga 1 juta ton. Yakni beras yang diserap dari para petani. Sehingga stok Bulog di gudang-gudang telah mencapai 4 juta ton.
Untuk menampung surplus beras, Buwas mengaku harus meminjam gudang-gudang milik swasta dan instansi lain.
Melihat pengadaan dari dalam negeri dan jumlah stok saat ini, Buwas menegaskan bahwa tidak perlu ada tambahan impor beras.
Anomali impor beras
Jika diperhatikan secara detil, sebenarnya ada keanehan dalam kebijakan impor beras. Terutama ketersediaan beras dari petani yang sebenarnya cukup melimpah sehingga tidak memerlukan impor lagi sebenarnya.
Tapi karena kesannya pemerintah memaksakan impor, sehingga terkesan ada motif perburuan rente dibalik kebijakan impor beras. Dalam hitungan kasar, jika izin impor beras diberikan sebanyak 2 juta ton, dengan asumsi harga Rp6.000 per kilogram. Dengan 2 juta ton, maka diperlukan anggaran hingga Rp12 triliun untuk mendatangkan beras impor.
Padahal itu angka yang sangat besar, terutama jika Pemerintah Jokowi benar-benar tulus mencintai para petani. Nyatanya banyak petani yang stres karena beras hasil panennya bingung mau dilepas kemana dengan harga berapa. Karena pemerintah sudah lebih dahulu mengimpor beras sebelum panen, akibatnya beras hasil panen jatuh harganya.
Faktanya impor beras terus meningkat dari 0,844 juta ton pada 2014 menjadi 0,862 juta ton pada 2015 dan 1,283 juta ton pada 2016. Pada 2017 hingga total impor beras mencapai 256,56 ribu ton, atau mengalami penurunan yang sangat signifikan hingga tinggal 19,73%-nya saja.
Sementara pada 2018 impor beras langsung melonjak hampir 8 kali lipat menjadi 2 juta ton. Itupun dilakukan pada saat gudang Bulog benar-benar penuh. Adakah perburuan rente di belakangnya?
Ketidakakuratan data produksi beras mengakibatkan kebijakan beras kurang tepat. Ada disparitas besar antara laporan yang dijadikan data nasional dan kenyataan di lapangan. Beras merupakan komoditas strategis karena menyangkut hajat hidup orang banyak. ini menentukan penyelenggaraan pangan nasional serta stabilitas sosial ekonomi. Maka, negara mesti hadir melalui penguatan kelembagaan pangan, bukan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme impor.
Pasokan beras yang tersendat dan harga kian meroket menunjukkan, pemerintah tidak siap dan tidak memiliki kebijakan yang baik dalam menjaga pasokan beras. Ini bagian terlemah dari kebijakan ekonomi. Kementerian yang membawahinya tidak memiliki platform yang jelas. Pemerintah sebenarnya tidak perlu terlalu rumit membuat kebijakan pangan, terutama beras karena sudah ada best practice.
Indonesia pernah swasembada beras melalui tahapan dan gabungan kebijakan yang sistematis. Sejak 1968 produksi padi terus digenjot dan mencapai puncaknya pada 1992 karena naik tiga kali lipat. Prestasi besar sudah tercatat pada 1984 ketika Indonesia menjadi negara yang mencapai swasembada beras dan tetap dipertahankannya hingga lima tahun terakhir Repelita V 1992.
Bagi para pengambil keputusan perlu dipahami, produksi beras tidak sama dengan industri modern otomotif, kimia, dan lainnya. Produksi beras dijalankan sistem pertanian rakyat tradisional, dikerjakan secara sederhana, dan di atas lahan sempit. Mendiang Presiden Soeharto sangat memahami kondisi tersebut. Maka, dia melancarkan strategi kebijakan swasembada beras dengan program fokus pada petani kecil dan sistem pertanian lahan sempit tersebut.
Kebijakan baik masa lalu semestinya bisa menjadi pondasi untuk mempertahankan produksi pangan. Untuk meningkatkan produksi beras, pemerintah harus membuat strategi besar sebagai pilar kebijakan pangan pada saat ini. Pemerintah perlu membuat terobosan strategi kebijakan persawahan sangat besar di luar Jawa yang dibangun dengan cara modern didukung badan usaha modern pula.
Kebijakan impor beras cenderung berpihak pada kapitalis yang hanya membuahkan banyak persoalan. Kongkalikong antara pemberi dan penerima kuota impor bisa terjadi. Bahkan menciptakan kartel dan mafia impor yang mengeruk keuntungan ekonomi semata. Aparat pemerintah perlu tegas memberantas mafia impor dengan memberi sanksi berat. Pengawasan di setiap pelabuhan perlu diperketat. Sebab sering kali aturan yang keras di atas kertas, tidak diikuti pengawasan ketat di lapangan.
Rakyat di tahun politik ini merindukan muncul pemimpin yang tegas dalam mengurusi pangan agar tidak selalu bergantung pada impor. Revolusi pangan mutlak dilakukan melalui kehadiran negara yang punya kekuatan untuk menyetop impor.
Penulis: Djony Edward