@AnthonyBudiawan:
Polemik utang pemerintah, faktanya:
1) utang pemerintah timbul karena APBN mengalami defisit
2) sebaliknya utang hanya bisa dibayar kalau APBN mengalami surplus
3) APBN Indonesia hampir selalu defisit
4) artinya, utang pemerintah tidak pernah dibayar dari APBN, tetapi dari utang lagi.
Menyikapi Polemik Utang Pemerintah: Apakah Masih Aman?
Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Polemik utang pemerintah masih berlanjut terus. Dua kubu, pro dan kontra, masing-masing memberi argumen pembenaran. Pihak kontra mempertanyakan jumlah utang yang sangat besar yang dibuat oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2015.
Mereka mempertanyakan jumlah utang yang besar ini karena pemerintahan Jokowi ketika kampanye berjanji akan membuat keuangan negara menjadi mandiri alias tidak menambah utang, khususnya utang luar negeri.
Bagi pihak yang mengerti ekonomi, tentu saja janji kampanye ini sangat menggelikan karena mustahil terjadi. Apalagi ekonomi Indonesia ketika itu sedang melambat akibat harga-harga komoditas andalan ekspor Indonesia anjlok sejak 2012. Karena itu diperlukan insentif fiskal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang berdampak pada defisit APBN yang bertambah, yang berarti juga utang pemerintah bertambah.
Sayangnya, kebanyakan rakyat kurang mengerti ekonomi. Janji kampanye ini dianggap heroik, hebat, dan super. Tahun pertama, pemerintahan Jokowi langsung menggebrak, harga BBM dinaikkan meskipun harga minyak dunia ketika itu sedang turun drastis. Hal ini untuk memenuhi hasrat mengurangi subsidi BBM sehingga anggaran subsidi tersebut dapat dialihkan menjadi belanja modal atau infrastruktur.
Padahal tanpa menaikkan harga BBM pun belanja subsidi BBM akan hilang sendiri karena harga minyak mentah turun drastis. Tetapi apa daya, penerimaan negara dari pajak tidak seperti yang diharapkan.
Pada awalnya, penerimaan pajak diperkirakan bisa naik drastis, sekitar 40 persen lebih. Faktanya hanya naik sedikit. Alhasil, realisasi APBN 2015 mengalami defisit yang malah lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 226,7 triliun pada 2014 naik menjadi Rp 298,5 triliun. Pada 2016 dan 2017 defisit juga bertambah besar masing-masing menjadi Rp 308,3 triliun dan Rp 341 triliun.
Dengan latar belakang masyarakat yang kurang paham ekonomi maka mereka merasa dibohongi dengan janji kampanye. Mereka serta merta menanyakan kenapa janji kampanye tidak mau utang, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, utang besar sekali.
Secara kebijakan ekonomi pemerintah ketika itu sudah benar, harus mengambil kebijakan fiskal ekspansif yang membuat defisit APBN melebar. Namun lantaran janji kampanye yang sembarangan, rakyat menagih sekarang.
Jawaban pemerintah dan pihak pro bukan mengayomi, malah membuat gaduh. Mereka mencari pembenaran dengan berargumen bahwa utang/defisit digunakan untuk kegiatan produktif dan menyalahkan pemerintahan sebelumnya yang menggunakan pinjaman untuk tujuan konsumtif khususnya subsidi BBM.
Serta merta pendukung pemerintahan sebelumnya tidak terima dan terjadilah polemik berkepanjangan. Padahal, argumen defisit untuk sektor produktif tidak relevan, tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan merupakan pembodohan publik.
Seharusnya pemerintah mencoba menjelaskan dalam konteks ekonomi tanpa menyinggung pemerintahan sebelumnya, karena memang tidak relevan. Pemerintahan sekarang dipilih oleh rakyat untuk memperbaiki semua bidang, dan menjelaskan secara gamblang kenapa defisit dan utang diperlukan.
Defisit dan utang adalah bagian dari kebijakan fiskal. Ketika aktivitas ekonomi melambat, pemerintah memberi stimulus fiskal untuk menopang pertumbuhan ekonomi, dan defisit pun melebar. Untuk 2015-2017 (3 tahun), pemerintahan sekarang sudah membukukan defisit Rp 947,8 triliun. Cukup besar. Apakah jumlah utang ini masih dalam batas aman? Pemerintah berpendapat total utang saat ini masih di bawah 30 persen dari PDB, jadi masih dalam batas aman. Karena, menurut UU batas utang pemerintah adalah 60 persen dari PDB.
Kalau semua utang pemerintah terdiri dari utang dalam negeri dalam rupiah, jumlah utang menjadi tidak masalah karena tidak ada risiko gagal bayar, karena pemerintah pada prinsipnya bisa mencetak uang.
Faktanya, sekitar 61 persen dari total utang pemerintah dipegang asing, yakni 40,4 persen dalam mata uang asing dan 20,6 persen dalam rupiah. Jumlah ini naik signifikan dibandingkan tahun 2013 yang masih sekitar 37 persen.
Porsi yang dipegang asing ini sudah termasuk lampu kuning dan berpotensi memicu krisis keuangan. Artinya, kalau Indonesia kehilangan kepercayaan dari pihak asing dan mereka tidak memperpanjang surat utangnya, maka terjadi gagal bayar, kurs rupiah akan terpuruk.***
Sumber: https://www.watyutink.com/opini/Menyikapi-Polemik-Utang-Pemerintah-Apakah-Masih-Aman
Polemik utang pemerintah, faktanya 1) utang pemerintah timbul krn APBN mengalami defisit 2) sebaliknya utang hanya bisa dibayar kalau APBN mengalami surplus 3) APBN Indonesia hampir selalu defisit 4) artinya, utang pemerintah tidak pernah dibayar dari APBN, tetapi dr utang lagi. pic.twitter.com/rli252CGwY— Anthony Budiawan (@AnthonyBudiawan) 21 Agustus 2018
Sekalian titip ini masbrow buat bu sri, biar pada pinter baca data 😂😂😂 pic.twitter.com/PQKeWYQNVd
— Su-30KI (@VostokMerah) 22 Agustus 2018