(KH. Ahmad Qomaruzzaman)
[PORTAL-ISLAM.ID] Hubungan Umat Islam dengan Keraton dan Kasultanan Nusantara seringkali dinilai berjarak, bahkan ada upaya-upaya untuk memisahkan keduanya, akan tetapi fakta sejarah berbicara lain. Ulama dan Cendekiawan Keraton Kasunanan Surakarta, KH. Ahmad Qomaruzzaman mengatakan bahwa tidak benar ada jarak antara keraton dengan umat Islam.
Pria yang akrab disapa sebagai “Gus Kom” itu menuturkan bahwa sesungguhnya 80 persen dari keraton, kerajaan, dan kesultanan di Nusantara ini berasaskan Islam.
“Masuknya Islam dari setelah Majapahit, ada Keraton-Keraton Islam, justru malah di Sulawesi dan di Sumatera. Perkembangan dari beberapa keraton ini, memang sesungguhnya dari 772 keraton nusantara itu 80 persen itu berasaskan beragama Islam,” ujarnya saat ditemui panjimas.com di Gedung Purwohamidjayan, Kompleks Keraton Kasunanan, Jumat (22/6/2018) malam.
Bahkan Ia mengungkapkan bahwa pengajaran agama Islam juga atas kontribusi keraton-keraton nusantara, dan hingga kini ada lembaga yang menaunginya.
“Termasuk pengajaran agama Islam melalui keraton-keraton nusantara itu, yang sekarang justru masih eksis melalui BARA NUSA, Barisan Raja dan Sultan Nusantara,” paparnya.
“BARA NUSA (Barisan Raja dan Sultan Nusantara) ini dibawah YARASUTRA, Yayasan Raja dan Sultan Nusantara,” jelas KH. Ahmad Qomaruzzaman.
Ia menuturkan bahwa tidak benar ada jarak antara umat Islam dengan keraton. “Sebenarnya itu tidak betul, tidak bener, kenapa para suku dan masyarakat masih percaya dengan adanya keraton nusantara ini,” imbuhnya.
Raja dan Sultan Nusantara masih dipakai sebagai Pawugeran di wilayahnya masing-masing. “Dari Aceh sampai Papua sana, para raja dan sultan masih eksis, masih dipakai sebagai Pawugeran diantara lingkungannya masing-masing.”
“Ada Raja Gowa, Raja Kalimantan, Raja di Serawak sana, ada di Maluku, ada yang di Bali, Jawa, termasuk dari Sunda maupun Banten, Palembang, Padang, dari Jambi,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa peran keraton-keraton nusantara sangat vital dalam konteks internalisasi kebudayaan, peradaban, dan pemberdayaan masyarakat.
“Ini sesungguhnya masih eksis dan masih diakui, sebagai bagian dari pemberdayaan bahwa sesungguhnya negara ini tidak asal jadi, dulunya ada kerajaan, dan ada budaya,” tandasnya.
Sumber: Panjimas