[PORTAL-ISLAM.ID] Santer kabar, bahwa TGB dilirik Jokowi. Sebagian orang dukung, sebagian yang lain keberatan. TGB sendiri? Menegaskan belum dilamar Jokowi. Benarkah?
Sebagian pendukung TGB secara serius berikhtiar agar duet Jokowi-TGB terlaksana. Apa dasar duet ini? Kepentingan umat, atau kepentingan pragmatis? Gerbong umat, atau gerbong pendukung? Tak perlu buru-buru membuat tafsir negatif. Sejarah pasti kelak akan membuktikannya.
Apakah duet Jokowi-TGB laku? Punya potensi kemenangan? Sebelum bicara soal kemenangan, satu pertanyaan; apakah duet Jokowi-TGB mungkin terjadi?
Kehadiran TGB, dalam berbagai survei tak akan banyak mendukung perolehan suara buat Jokowi. Asumsinya, TGB adalah bagian dari komunitas yang didukung 212. Komunitas ABJ (Asal Bukan Jokowi)). Buktinya, TGB masuk daftar cawapres PA 212. Branding TGB adalah keumatan, bukan nasionalis sekuler.
Jika TGB nyeberang ke Jokowi, dukungan suara tertahan. Artinya, kehadiran TGB tak memberikan surplus signifikan buat suara Jokowi. Sulit membawa gerbong suara umat. Terbukti, ketika ada isu TGB dukung Jokowi, muncul kecaman masif. Beberapa hari ini medsos dipenuhi kecaman itu. Tidak hanya orang biasa, sejumlah tokoh pun tak sabar ikut mengecam.
Seandainya takdir politik Jokowi-TGB terjadi? Bagi TGB, duet ini jika menang, akan jadi blessing. Pertama, dapat kekuasaan. Bahasa moralnya, ada amanah yang lebih besar. Naik kelas, dari gubernur ke wakil presiden. Kedua, jika sesuatu hal terjadi dan Jokowi turun di tengah jalan, TGB jadi presiden. Lebih besar lagi amanahnya. Lagi-lagi itu bahasa moral. Bangsa ini mesti belajar terbiasa menggunakan bahasa yang punya konotasi moral. Ketiga, 2024, TGB bisa capres.
Tapi, jika kalah, akan sangat berisiko. Rakyat, terutama umat Islam, punya catatan sejarah terhadap TGB. Umat yang mana? Yang jelas jumlahnya signifikan. Dan ini akan jadi sebab pensiun dini buat TGB.
Tulisan di atas boleh jadi hanya sekedar ilustrasi. Berandai-andai. Meminjam istilah TGB, itu ilusi. Bahasa Inggrisnya “illusion”. “Mission impossible”. Karena, kecil kemungkinan terjadi. Sebab, diantara sejumlah nama yang diprioritaskan jadi cawapres Jokowi, tak ada nama TGB. Kecuali jika Demokrat merekomendasikan. Mau rekomendasi Demokrat? Tunggu “Lebaran Kuda”.
Diantara nama-nama yang kabarnya masuk dalam daftar bakal cawapres Jokowi adalah Din Syamsuddin, Sri Mulyani, Choirul Tanjung dan Mahfudz MD. Kabarnya, tokoh-tokoh di atas, (kecuali CT yang kabarnya lebih memilih fokus di dunia bisnisnya), sedang berlomba menunjukkan kelayakannya untuk dipinang Jokowi. Lagi-lagi, demi untuk mendapatkan amanah yang lebih besar. Mesti kita buat poinnya seperti itu. Agar tulisan ini tampak bermoral.
Tentu, nama-nama ini tidak harga mati. Politik punya fleksibilitasnya sendiri. Tidak hitam putih. Janji aja bisa dilupakan, apalagi cuma daftar nama.
Jika pada akhirnya TGB tak jadi dengan Jokowi, akankah tetap dukung Jokowi? Atau berpaling? Kalau berpaling, kemana TGB akan berlabuh?
Yang jelas, PA 212 mencoret nama TGB dari daftar rekomendasi cawapres. Emang PA 212 sekuat apa? Sehingga TGB pun mengabaikannya. Dukungan TGB kepada Jokowi, jika benar, bisa dimaknai bahwa PA 212 tak terlalu signifikan. Setidaknya di mata TGB. Layak diabaikan. Bahkan sebelumnya, TGB ditawarkan masuk daftar tujuh bakal capres dari Majlis Pelayan Indonesia (MPI). TGB juga tidak berkenan. Cawapres Jokowi? Silahkan anda ke istana, tanyakan langsung kepada Jokowi. Jangan-jangan itu hanya ilusi.
Peluang TGB sesungguhnya akan lebih terbuka jika ia berani memperjelas pilihannya sebagai lawan Jokowi. Sebab, kantong suara TGB ada di pihak oposisi. Di kelompok ini TGB punya bergaining yang patut diperhitungkan.
Ternyata? TGB pilih ke Jokowi. Jelas, tegas dan gamblang. Kata media! Sekali lagi, kata media. Belum tentu kata TGB. Lagi-lagi kata media juga, TGB dukung Jokowi dua periode. Tak cukup hanya lima tahun. Ini fakta atau Ilusi? Perlu klarifikasi. Bahasa ulamanya, perlu tabayun. Kemana? Ke istanalah. Masak ke medsos?
Kok bisa begitu? TGB, selain seorang agamawan, ia adalah politisi. Jabatan gubernur itu politik. Politik punya logikanya sendiri. Di dunia politik dituntut untuk fleksibel. Bahasa logisnya, politik perlu sikap realistis. Bagi politisi, kanan kiri bukan dikotomi moral dan ideologi. Apalagi agama. Mana yang kira-kira “signifikan”, ambil. Tidak “signifikan”, tinggalkan. “Signifikan” buat siapa? Itu soal tafsir. Begitulah umumnya para politisi. Meminjam istilah seorang politisi PBB, seorang politisi perlu kecerdasan melihat momentum. TGB, menurutnya, punya kecerdasan untuk itu.
Setidaknya ada tiga sisi dalam menentukan pilihan keberpihakan dan koalisi. Pertama, sisi idealitas. Biasanya ini untuk branding. Isi pidato, ceramah, dan press rilis. Isinya bagus-bagus semua. Visinya keren. Menunjukan sikap idealis, ideologis dan nasionalis. Dan memang harus begitu. Supaya iklan dan jualannya laku. Kedua, sisi realistis. Bergantung kekuatan, kecerdikan dan kelincahan bernegosiasi. Hukum probabilitas berlaku. Sisi ini hanya dibicarakan di kalangan elit dan terbatas. Sembunyi dari publik. Gak boleh ada yang tahu, kecuali yang berkepentingan. Ketiga pragmatis. Kalau gue gabung, gue dapet ape? Kompensasinya ape? Mahar dan biaye kampanye berape? Pragmatis!. Ini lebih rahasia lagi. Bila perlu, malaikat jangan sampai tahu. Impossible!
Dari tiga katagori itu, TGB lebih kuat di sisi mana? Terserah ente menilai. Itu hak ente. Semoga jawaban ente bukan ilusi.
Jakarta, 7 Juli 2018
Penulis: Tony Rosyid