Oleh: Yusuf Maulana*
(Penulis, Jogja)
Seorang kenalan lawas, mantan al-akh di batalion dakwah, yang kini jadi "Zhao Jilong" propaganda rezim membuat cuit ihwal kejadian teror pada dua penggerak pengkritik kekuasaan. Baginya, mustahil sangat apabila perbuatan itu dilakukan pihak penguasa ataupun pendukungnya. Sebab, amatlah bodoh tindakan yang bakal segera dikaitkan dengan lawan di korban. Dan ini hanya merugikan citra kekuasaan yang sebetulnya sudah amat bagus menurutnya.
Asumsinya itu tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, menegasikan tekanan mental oleh kalangan penyokong kekuasaan dengan asumsi semacam itu masih perlu dipersoalkan. Kekuasaan meneror sering kali ada pada pihak yang kuat dan kendalikan semua jejaring keamanan. Dari telik sandi sampai kepolisian.
Bagaimana dengan drama menyakiti diri (playing victim) oleh korban atau rekayasa kawan korban? Mungkin juga ada. Hanya saja, alih-alih menciptakan stigma, bukankah mendorong aparat bekerja dengan adil dan tegas lebih baik?
Pendukung penguasa itu faktanya memang beragam. Ada yang waras dan cerdas, macam eks al-akh itu, yang kini seleb-rujukan televisi pada bab terorisme di tanah air. Akan tetapi bukankah banyak juga dari sisanya justru masuk barisan fanatikus, pandir, atau idap kegilaan hingga mudah simpan kesumat? Dan mereka bisa saja bekerja otonom atau memakai perintah personal tanpa ada koordinasi dengan tim citra penguasa. Dengan demikian, tidaklah tepat mengasumsikan aktor pro-penguasa steril dan mustahil dari tindakan biadab peneroran dengan alibi kuliah politik dan penjagaan citra.
Tak semua penyokong penguasa memahami teori opini dan operasi intelijen bahwa lampiaskan emosi hanya bakal rugikan citra idolanya. Bagi mereka, yang penting kesumat benci harus disalurkan. Inilah yang mesti diredam kawan intelektual yang paham kontra-intelijen di pihak penguasa. Atasi kawan juang di faksi lain kubunya. Lalu dorong penegakan hukum oleh aparat dengan seadil-adilnya. Bukan malah membuat asumsi bahwa ini permainan kotor yang tak mungkin diperbuat kubunya hanya karena asumsi kekokohan citra sudah dipegangnya.
Dengan begitu, mendorong aparat agar adil dan jujur jauh lebih bermartabat tinimbang membuat operasi opini untuk menciptakan kebingungan dan keraguan di publik. Kecuali ini memang kerja standar sebagai telik sandi rezim tunajujur. Dalam gelembung informasi yang demikian banyak, kebingungan memang niscaya buat dihadirkan agar perang dan teror mental pada lawan berhasil dijalankan. Semua cara dimainkan. Ini bisa diperbuat kekuasaan, tak mustahil juga oleh barisan pembenci kekuasaan.
Tinggal bagaimana asumsi diselidiki dengan kerja tekun menyingkap semua bukti yang ada. Dianalisis dengan benar, dan bukan simpulan gegabah semisal dudukan aki yang jatuh pada mobil diam sebabkan kebakaran. Opini demi opini ala reproduksi aparat semacam ini hanya jadi keprihatinan publik. Seakan nalar publik tidak jeli soal musykil demikian.
Padahal, kitab strategi klasik China sebutkan: hun shui mo yu, menangkap ikan di air keruh. Dalam keadaan kacau atau semrawut, orang-orang akan kehilangan orientasi dan pelik bedakan kejadian palsu atau asli. Taktik ini sesiapa saja mampu melakukannya.
Ahad, 22 Juli 2018
__
*Sumber: fb penulis
Komentar lain terkait Teror...
Kebencian pada PKS dan anasir 212 itu dibakar di TL dan sosmed. Banyak barbuknya. Apa yg susah untuk dipercaya kalau ada orang" sarap yg meneruskan kebencian itu melalui aksi" yg menimpa Mardani dan Neno?— Pelan-pelan, Ardi! (@awemany) 21 Juli 2018