[PORTAL-ISLAM.ID] Sri Mulyani bisa dianggap ikut andil merugikan keuangan negara. Tindakan Sri Mulyani menjual aset Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebesar Rp 220 miliar merugikan negara lebih dari Rp 4 triliun.
"Saya ingin menambahkan sedikit, memang ada kerugian negara tapi pada saat BPPN menyerahkan (aset BDNI) kepada Menteri Keuangan akhir tahun 2005, nilai aset BPPN itu 4,5 triliun. Aneh bin ajaib pada tahun 2007 dijual hanya 200 miliar oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada saat itu," ujar Rizal Ramli di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jalan Bungur Besar, Jakarta Selatan, Kamis (5/7/2018)
Rizal Ramli dihadirkan KPK dalam persidangan dalam kapasitasnya sebagai Menko Ekuin sekaligus Ketua KKSK periode 2000-2001. Ia menjadi saksi dalam sidang dugaan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim terkait pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Jadi ini jumlah kerugian yang jauh lebih besar. Saya nggak tahu apakah salah atau nggak salah, tetapi di dalam desection making di BPPN, hal-hal strategis yang penting diputuskan oleh ketua KKSK yaitu Menko Ekonomi," tukasnya.
Kuasa hukum tersangka kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI Syafruddin Arsyad Tumenggung,Yusril Ihza Mahendra juga pernah menyebut seharusnya Menteri Keuangan tahun 2007 dan Perusahaan Pengelolaan Aset) yang bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Yusril beralasan, kliennya sudah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai kepala Badan Perbankan Penyehatan Nasional (BPPN).
Ia juga menyebut kliennya itu menjalankan segala tanggung jawabnya sesuai dengan keputusan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada waktu itu.
Syafruddin didakwa merugikan negara Rp 4,5 triliun dalam penerbitan SKL BLBI. Juga memperkaya pemilik saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, melalui penerbitan SKL.
SKL itu dikeluarkan Syafruddin berdasarkan Inpres 8/2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Syafrudin disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sumber: RMOL