[PORTAL-ISLAM.ID] Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membongkar kisah di balik kegagalannya berkoalisi mendukung Jokowi. Ketua Umum PDIP Megawati lah yang ditudingnya menjadi faktor penghalangnya. SBY mengaku sudah mencoba berbagai cara agar bisa kembali berkomunikasi dengan Mega, termasuk melalui almarhum Taufik Kiemas suami Mega. Namun semuanya mentok.
“Saya berikhtiar untuk bisa berkomunikasi, saya lakukan selama 10 tahun. Mendiang Pak Taufik Kiemas (suami Megawati) sahabat saya juga berusaha memulihkan silaturahim kami berdua. Jadi bukan tidak ada kehendak dari banyak pihak, tapi Allah belum berkehendak,” tutur SBY.
SBY merasa perlu menjelaskan hal ini sewaktu bertemu dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, dan menyepakati untuk melakukan koalisi. Penjelasan yang sama juga diulang SBY setelah bertemu dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan rombongan.
Kepada rombongan PAN, SBY bahkan bercerita lebih detil. Ketika akhirnya bisa bertemu, Mega, kata SBY, hanya menempelkan ujung jarinya saat bersalaman. Tak ada senyuman, dan tatap muka.
Ya ….SBY akhirnya bisa bertemu Mega setelah 12 tahun berlalu. Itupun boleh dibilang karena kebetulan. Presiden Jokowi mengundang para mantan presiden ke Istana pada peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-72 tahun lalu. Para mantan presiden mengenakan pakaian adat.
SBY dan istrinya berdiri di sebelah kanan Jokowi. Sementara Mega berdiri di sebelah kiri. Jarak mereka dipisahkan oleh BJ Habibie, dan Jokowi. Mega tampak senyum dikulum, SBY wajahnya kelihatan tegang.
Hubungan SBY dan Mega merenggang menjelang Pilpres 2004. Saat itu Mega menjadi presiden, dan SBY menjadi Menko Polkam. Menurut Mega saat itu SBY pernah berjanji akan mengawal Mega sampai 2009, atau periode kedua sebagai presiden.
Menjelang Pilpres 2004 Mega sempat menawari SBY menjadi cawapresnya. Namun SBY menolak dengan alasan ingin berkonsentrasi sebagai menteri pembantu Mega. Saat itu sesungguhnya Mega sudah mendapat laporan intelijen, SBY sedang menyiapkan partai dan berencana maju menantangnya sebagai capres.
Ternyata informasi itu akurat. Pada Pilpres 2004 SBY maju sebagai capres menantang Mega. SBY didampingi Jusuf Kalla dan Mega akhirnya menggandeng mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi. SBY-JK menang telak mengalahkan Mega-Hasyim 60.62%-39.38%.
Sejak itu hubungan keduanya putus. Selama 10 tahun SBY berkuasa Mega menolak untuk hadir dalam peringatan HUT kemerdekaan RI di Istana. Mega merasa dibohongi SBY. Ketika Jokowi menjadi presiden, Mega baru bersedia hadir kembali di istana. Sebaliknya selama dua tahun SBY tidak hadir.
Kehadiran SBY di Istana dan bertemu Mega nampaknya berkaitan dengan upayanya bergabung dalam koalisi Jokowi. Seperti diakuinya, dalam setahun terakhir SBY mencoba mencari jalan untuk merapat ke kubu Jokowi. Namun upayanya selalu mentok. Megawati lah yang disebut sebagai faktor penghambat.
Menurut SBY, Jokowi sudah berkali-kali menawari Demokrat untuk bergabung, termasuk ketika dia membentuk kabinet. Namun kala itu SBY menolak. Barulah pada Pilpres 2019 SBY berencana bergabung, tapi akhirnya terpaksa diurungkan.
Pernyataan SBY ini dibantah PDIP. Mereka malah menilai SBY baperdan belum bisa move on. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto meminta SBY introspeksi dan jangan selalu menyalahkan Mega. “Gagal tidaknya koalisi Pak SBY dan Partai Demokrat lebih karena kalkulasi yang rumit yang dilakukan Pak SBY, yang hanya fokus dengan masa depan Mas AHY,” kata Hasto.
“Seluruh pergerakan politik Pak SBY adalah untuk anaknya, sementara Ibu Megawati jauh lebih luas dari itu. Ibu Mega selalu bicara untuk PDI Perjuangan, untuk Pak Jokowi, untuk rakyat, bangsa dan negara,” kata Hasto.
Hasto tidak terlalu salah. Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Max Sopacua mengakui bahwa obsesi partainya bagaimana menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) putra mahkota SBY sebagai cawapres. Kalau tidak pada Pilpres 2019, maka pada Pilpres 2024. “Itu obsesi Demokrat,” tegasnya.
Peluang menjadi cawapres itu bila bergabung dengan kubu Jokowi pasti akan sulit terwujud. Partai-partai koalisi, dan tentu saja PDIP akan menolaknya. Seperti dikatakan Staf Deputi V KSP Ali Muchtar Ngabalin Demokrat ditawari posisi menteri di kabinet.
Dari penjelasan Hasto dan Max Sopacua setidaknya cukup jelas mengapa Demokrat akhirnya memutuskan mencoba bergabung dengan Poros Prabowo.
Pertama, peluang AHY sebagai cawapres lebih terbuka bila bergabung dengan Poros Prabowo.Demokrat memiliki jumlah kursi lebih banyak dibanding PAN dan PKS. Demokrat juga setidaknya bisa menyediakan logistik yang sangat dibutuhkan Prabowo. Itu bisa menjadi alat tawar politik yang kuat.
Kedua, Demokrat tidak bisa bersikap netral seperti yang sebelumnya biasa mereka lakukan, karena terbentur UU Pemilu. Dalam Pasal 235 ayat 5 UU No 7 Tahun 2017 parpol yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon, namun tidak mengajukan pasangan calon, terkena sanski tidak boleh mengikuti pemilu berikutnya.
Dengan berkoalisi dengan Prabowo, SBY seperti bunyi pepatah “sekali tepuk, dua lalat mati.” Peluang mewujudkan AHY sebagai cawapres terbuka, sekaligus terhindar dari sanksi mematikan berupa larangan ikut pemilu 2024.
Keputusan Prabowo menerima Demokrat dan kemungkinan menerima AHY sebagai cawapresnya menimbulkan berbagai persoalan baru.
Pertama, bila benar Prabowo akan berpasangan dengan AHY, bagaimana posisi PAN dan PKS? Apakah mereka bersedia menerimanya. PAN sudah jelas menolak.
Setelah bertemu SBY, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyatakan tidak ada deal apapun dengan SBY. Mereka hanya bicara masalah kenegaraan dan sepakat terus menjalin komunikasi sampai tanggal 4 Agustus saat masa pendaftaran capres-cawapres dibuka. Bahasa itu jelas merupakan penolakan, hanya saja disampaikan secara santun seperti gaya Zulhasan seperti biasanya.
Bagaimana dengan PKS? Hampir dapat dipastikan PKS juga akan menolak gagasan tersebut. Sebelum Demokrat bergabung saja mereka sudah terlibat tarik ulur dengan PAN dan Gerindra soal posisi cawapres. Bagi PKS posisi cawapres adalah harga mati.
Kedua, bagaimana peluang pasangan Prabowo-AHY memenangkan pilpres? Koalisi Gerindra-PAN, dan PKS sejak awal digadang-gadang akan menjadi koalisi keumatan. Demokrat tidak masuk di dalamnya. Imam besar FPI Habib Rizieq Shihab ketika bertemu Prabowo dan Amien Rais di Mekah mendesak agar Gerindra, PAN, PKS, dan PBB segera berkoalisi.
Dimana simbol keumatannya bila Prabowo tidak menyertakan wakil PKS, PAN, atau setidaknya figur yang diusung dan disetujui oleh kedua partai tersebut. Demokrat, bukanlah representasi keumatan. Pada saat Pilkada DKI 2017 ketika kalangan keumatan berjuang menumbangkan Ahok-Djarot, Demokrat memilih untuk bersikap netral.
Ketiga, berkaitan dengan mesin politik PKS yang selama ini sangat diandalkan oleh Prabowo. Pada Pilpres 2014 Prabowo sangat mempercayai dan mengandalkan mesin politik PKS. Dia menyerahkan sepenuhnya tenaga saksi di TPS dan pengamanan suara ke PKS.
Prabowo juga sudah berkali-kali membuktikan kerjasamanya dengan PKS sangat berhasil. PKS juga selalu loyal, sehingga dia tidak segan menyebut PKS sebagai sekutu.
Selain Pilkada DKI 2017, mesin politik PKS yang didukung keumatan juga kembali terbukti di Jabar. Kebetulan pada pilkada Jabar 2018 masalahnya bersentuhan dengan Demokrat.
Deddy Mizwar yang semula diusung PKS dan Gerindra suaranya menjadi jeblok setelah diusung Demokrat dan Golkar. Dia kalah suara dibanding Sudrajat-Syaikhu, dua figur tak dikenal yang diusung PKS-Gerindra.
Keempat, Demokrat setidaknya sudah dua kali memilih netral dibanding harus mendukung Prabowo atau kandidat yang didukungnya. Pada Pilpres 2014 SBY dan Demokrat memilih netral, padahal Prabowo menggandeng Hatta Radjasa besan SBY. Prabowo juga sudah sowan ke SBY.
Faktor netralnya SBY ini sedikitnya banyak menyumbang kekalahan pasangan Prabowo-Hatta. Seperti telah disebut sebelumnya SBY dan Demokrat juga memilih netral pada Pilkada DKI 2017. Padahal saat itu dukungan SBY dan Demokrat sangat dibutuhkan oleh pasangan Anies-Sandi yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN.
Apakah Prabowo bersedia meninggalkan PAN, dan PKS hanya karena hadirnya kawan baru? Ini yang masih harus kita tunggu.
Sejarah mencatat, masalah-masalah sepele, remeh temeh, dan tidak penting, bisa mengubah konstelasi politik, bahkan sejarah dunia. Apakah kali ini sikap bapernya SBY dan Mega juga bisa mengubah peta persaingan Pilpres 2019?
Penulis: Hersubeno Arief