[PORTAL-ISLAM.ID] Pagi-pagi membaca berita banyak caleg PKS yang mundur jadi sedih. Akan jadi apa partai ini di tangan pemimpin yang bermain-main mengelola partai. Saya khawatir tahun 2019 PKS tak ada lagi. Dibubarkan melalui pemilu. Sebagai pendiri dan deklarator tentu saya sedih. #SavePKS
Permainannya nampak semakin kasar. Mulai dari pembersihan orang-orang yang dianggap dekat dengan mantan Sekjen 5 Periode dan Presiden PKS masa krisis @anismatta, terakhir caleg disuruh menandatangani surat pengunduran diri dini (tanggal kosong). Tinggal tulis tanggal selesai.
Kebijakan pimpinan PKS terakhir ini konon dilatari oleh kasus saya. Karena saya dianggap tidak taat disuruh mundur nggak mau mundur. Sungguh naif dan dangkal sekaligus tidak paham aturan bernegara. Pejabat publik pilihan rakyat bukan harta benda partai.
Partai politik atas nama “Petugas Partai” tidak boleh membuat aturan internal yang bertabrakan dengan UU sebab lama-lama bertentangan dengan Konstitusi dan dengan alasan itu partai bisa dibubarkan. Masak beginian aja pimpinan PKS Gak paham?
Maka hilanglah minat orang jadi caleg di PKS. Bagaimana (sudah) berjuang habis-habisan dengan tenaga dan harta, dengan keringat dan air mata tapi dengan sepucuk surat yang sudah ditandatangani tiba-tiba diberhentikan? Apa manusia dianggap mesin yang tidak punya perasaan?
Demikianlah waktu saya disuruh mundur, dengan enaknya pimpinan PKS mengatakan, “cari-carilah alasan, antum pasti bisa menjelaskan”. Lalu kepada saya disodorkan sebuah surat pengunduran diri yang saya tidak tahu dibuat oleh siapa. Aneh tapi nyata! Yapi itulah kejadiannya.
Saya sudah menjelaskan beda Jabatan Publik dan Jabatan Partai. Jabatan Partai silahkan dirampas kapan saja. Meskipun harus tetap melihat aturan partai dan UU yang mengatur kepartaian. Tapi Jabatan Publik itu diatur UU bukan AD/ART partai. Ini yang mereka gak paham.
Sekarang, setelah saya lawan pakai pengadilan akibat tindakan melawan UU ini (saya memakai gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum, PMH) lalu mereka kalah, mereka mengembangkan teori konspirasi dan pembangkangan padahal mereka yang melanggar UU.
Memang ada sebagian Pimpinan PKS yang menganggap bahwa aturan berjamaah di PKS itu lebih tinggi daripada UU. Itulah awal dari pemahaman yang salah sehingga kader dianggap tidak perlu mengadu keputusan pimpinan (Jamaah) dengan UU (Negara) sebab ikatan partai dianggap lebih tinggi.
Ini sisa pikiran dan mentalitas “underground” yang masih bercokol. Sehingga mengelola partai mau disederhanakan dasarnya hanya dengan “titah pimpinan” dan tidak melihat aturan UU dan Konstitusi negara. Jadilah keputusan konyol bertubi-tubi sampai sekarang. Sedih saya.
Kenapa saya bilang “titah pimpinan” dianggap paling tinggi. Buktinya, sewaktu memecat saya, sadar ada kesalahan maka ada beberapa kali aturan internal partai diubah demi mencocokkan dengan kepentingan memecat saya. Di antaranya aturan tentang siapa yang melapor.
Waktu saya tanya, “siapa yang melaporkan saya, mana bukti permulaan atas tuduhan pelanggaran disiplin organisasi, siapa saksi-saksi yang sudah diperiksa, kapan kejadian dan di mana, dll” mereka gak jawab surat saya tapi aturan diubah “bahwa Pelapor tidak diperlukan”.
Aturan itu diubah dan tidak memberitahukan saya. Sehingga saya bersurat beberapa kali, sebab dalam AD/ART PKS ada aturan tentang “hak membela diri”. Lalu dengan apa saya membela diri kalau aturan yang berlaku tidak diberikan dan kemudian diubah diam-diam?
Inilah yang terjadi. Partai ini akhirnya menjadi milik segelintir orang, dan Kader hanya menjadi objek yang diminta ketaatannya saja dengan Doktrin yang setiap hari dibanjirkan. Bagaiman saya tidak bersedih? Kezaliman takkan membuat tenteram sampai kiamat.
Ini catatan kecil, kesedihan saya membaca orang-orang MundurCalegPKS yang marak.
Akhirnya partai yang saya ikut dirikan dan besarkan hanya begini jadinya. Berantakan oleh keputusan tidak karuan. Nanti Saya akan tulis 'permainan' dalam pencalonan #9CapresPKS.
Sekian.
#SavePKS
(FAHRI HAMZAH)
___
*Dari twit @Fahrihamzah, Senin (09/07/2018)