[PORTAL-ISLAM.ID] Minggu ini, hampir semua media merilis hasil survei LSI Denny JA terkait pilpres. Dari sekian banyak tokoh yang branding Capres, tersisa hanya tiga yang dianggap kuat: Jokowi, Prabowo dan Anies. Kendati ketiganya belum aman tiketnya, tapi ketiga nama itu berada di top skor survei.
Saat ini, Jokowi masih yang terkuat diantara dua bakal calon lainnya. Pertama, Jokowi berkuasa. Faktor kekuasaan pegang kendali, logistik dan akses. Kedua, sejumlah partai telah menyatakan dukungan dan bahkan mendeklarasikannya. Kendati tidak ada yang mutlak dalam politik. Terutama mengingat elektabilitas Jokowi tidak terlalu kuat, alias belum aman. Masih di bawah 50%. Maka, faktor cawapres menjadi penting.
Sejumlah ketua partai dan tokoh berebut dipinang Jokowi. Masing-masing bersaing untuk dapat tiket cawapres. Ini sekaligus jadi persoalan tersendiri di kubu istana. Jika salah pilih, tak menutup kemungkinan ada partai yang hengkang, karena merasa tak diakomodir. PDIP dan Golkar yang paling kuat tarik menariknya, mengingat kedua partai ini terbesar jumlah kursinya. Sekaligus jadi penentu nasib Jokowi. Ditinggalkan Golkar-PDIP, Jokowi bisa merana.
Prabowo? Jika dipasangkan dengan Gatot Nurmantyo, elektabilitasnya lumayan, 35,6%. Tapi, masih ada persoalan. Pertama, Gerindra tak cukup kursi untuk usung capres-cawapres sendiri. Kedua, Gatot punya masalah keumatan yang belum tuntas. Bisa diselesaikan? Bisa. Di dalam politik, segala kemungkinan terbuka.
Berkoalisi dengan PKS? PKS ngotot mengusung Ahmad Heryawan (Aher) sebagai cawapres. Atau satu diantara sembilan kadernya. PAN juga punya sikap yang sama. Prabowo tak minat ambil kader dari kedua partai itu. Kenapa? Prabowo-Aher cuma 10,2%. Sesuai prediksi Gerindra. Gak ngangkat.
Kebuntuan koalisi tak dapat dihindari. Gerindra lalu bermanuver ke Demokrat. Jajagi koalisi. Usung Prabowo-AHY. Deal? Belum. Sebab, elektabilitas Prabowo-AHY cukup kecil, 13,3%. Rawan kalah. Tak jauh beda dengan Prabowo-Aher.
Berbasis survei Denny JA, Anies-AHY adalah pasangan terkuat untuk bisa mengalahkan Jokowi. Elektabilitasnya tembus 33,4%. Dengan catatan belum deklarasi. Anies dan AHY sama sekali belum buat pernyataan maju. 33,4% adalah modal yang tidak hanya cukup, tapi sangat signifikan untuk maju.
Jika Anies-AHY deklarasi, potensi elektabilitas naik sangat besar. Pertama, Anies-AHY punya modal sosiologis, psikologis dan rasional. Anies kuat di preferensi rasional. Kelompok berpendidikan. Kalangan menengah ke atas yang memilih menggunakan akal sehatnya. Anies punya kekuatan mendesign program dan memiliki narasi yang mampu memukau logika publik. AHY kuat di preferensi sosiologis dan psikologis. AHY Jawa, dengan karakter Jawa yang cukup kuat. Pendiam, tenang dan sabar. Juga muda dan ganteng, yang secara psikologis mampu menyentuh hati pemilih melinial dan kaum Hawa.
Kedua, keduanya punya modal branding. Muda, fresh, humble dan bersih dari korupsi. Terutama Anies, memiliki track record sebagai akademisi (salah satu ilmuan dunia dan rektor), Mendikbud dan gubernur. Semua posisi itu telah melejitkan nama Anies ke publik sebagai anak muda yang dianggap berprestasi. Cara bicara yang santun, tertata, sistematis, dengan pilihan bahasa yang terukur dan punya bobot isi akan jadi antitesa sangat berarti buat Jokowi.
Ketiga, faktor debat di pilpres. Sangat berpengaruh pada pemilih. Anies memiliki jam terbang internasional. Seorang mantan menteri era SBY bilang: lidah Anies itu delapan meter. Sang matan menteri itu ingin menggambarkan betapa lidah Anies itu tajam dan akurat. Anies memiliki narasi yang kuat dan sulit dicari tandingannya. Kekuatan argumentasi, ketelitian memilih kata dan data, serta kemasan logika berpikirnya akan merepotkan siapa saja dalam debat, terutama Jokowi. Debat Anies vs Jokowi, publik akan langsung dapat gambarannya.
Di sisi lain, Anies-AHY, komposisi Sipil-Militer. Nasionalis Religius-Nasionalis Sekuler. Perpaduan nyaris sempurna yang dianggap menjadi sumber kekuatan yang besar untuk melawan Jokowi.
Kabarnya, SBY lebih setuju pasangan Anies-AHY dibanding Prabowo-AHY. Lebih ngejual. Tapi, Demokrat tak bisa mengusung sendiri. Hanya punya jumlah kursi 61. Mesti menggandeng Gerindra. Atau gabungan PKS dan PAN. Inilah persoalan seriusnya.
Pasangan Anies-AHY dibayang-bayangi sejumlah persolan teknis. Pertama, apakah Prabowo legowo tidak nyapres? Lalu memberikan mandat kepada Anies. Kedua, PKS dan PAN setuju Anies capres. Tapi, apakah PKS-PAN setuju jika Anies dipasangkan dengan AHY?
Kunci utamanya ada di Prabowo dan SBY. Jika Prabowo legowo, persoalan selesai. Atau SBY tolak Prabowo sebagai capres, maka nyaris Gerindra tak bisa usung Prabowo sebagai capres. Strategi bijaknya, alihkan tiket Gerindra-Demokrat ke Anies-AHY. PKS dan PAN ada kemungkinan bisa berdialog untuk negosiasi.
Mengusung Anies-AHY semestinya bisa pertama, jadi solusi kebuntuan koalisi Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Kedua, memunculkan harapan kemenangan. Sebab, pasangan Anies-AHY berdasarkan survei LSI Denny JA, paling kuat, dan potensial menang lawan Jokowi. Pertanyaannya: mau menang atau mau kalah? Mau jadi penguasa atau melanjutkan takdir sebagai oposisi? Jawabnya, bergantung partai-partai koalisi ini mampu meredam ego kepartaiannya.
Jakarta, 12 Juli 2018
Penulis: Tony Rosyid