[PORTAL-ISLAM.ID] Saat MUI Provinsi Sumatera Barat mengeluarkan keputusan resmi menolak "Islam Nusantara", banyak yang mendukung dan berharap ketegasan itu diikuti MUI Pusat.
(Baca: RESMI!!! MUI Sumatera Barat Tolak "Islam Nusantara")
Namun, keputusan MUI Sumbar malah mendapat 'peringatan' dari MUI Pusat.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin menegaskan pihaknya bakal meluruskan perbedaan pandangan terkait penolakan konsep "Islam Nusantara" di ranah Minang oleh MUI Sumatera Barat.
"Itu nanti kita luruskan nanti, MUI tak boleh mencela salah satu aliran. Itu bagian dari Indonesia," kata KH Maruf saat ditemui di kawasan Bambu Apus, Jakarta Timur, Kamis (26/7).
Seharusnya, kata KH Maruf, MUI Sumbar sebagai wadah musyawarah para ulama tak boleh mencela pandangan kelompok Islam tertentu yang telah menjadi bagian dari Indonesia.
"MUI itu harus merangkum semua, MUI semua aliran Islam Nusantara, Islam Berkemajuan itu kita tampung," ujarnya.
***
MUI Sumbar tak goyah dengan keputusan awalnya. Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar, kemudian menuangkan pemikirannya melalui akun media sosialnya. Artikel ini ia terbitkan pada Kamis (26/7/2108) dengan judul 'Amanah Kami Tunaikan'.
Melalui tulisan tersebut, Buya Gusrizal menilai bahwa sikap pembiaran terhadap umat yang kebingungan dengan pernyataan orang-orang yang mengusung konsep 'Islam Nusantara' justru mengabaikan tugas keulamaan dalam menjaga kesatuan umat. Apalagi, bersamaan dengan diusungnya konsep ini muncul kesan tudingan 'Islam Arab' sebagai Islam Radikal, Islam penjajah, dan lainnya.
"Ketika kaum sekuler, liberal dan pluralis menjadikan Islam Nusantara sebagai payung tumpangan mereka, itu bukan lagi perkara furu’ yang bisa didiamkan begitu saja," kata Buya Gusrizal.
Berikut tulisan lengkap Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar:
“Amanah Kami Tunaikan”
Membiarkan umat bingung dengan pernyataan orang-orang yang mengusung “Islam Nusantara” sesuai seleranya seperti menuding Islam Arab sebagai Islam Radikal, Islam penjajah dan lainnya, berarti mengabaikan tugas keulamaan dalam menjaga kesatuan umat.
Suatu istilah yang dilahirkan oleh sebagian umat kemudian disebarkan dengan kekuasaan dari meletakkan tugu sampai mengarahkan berbagai institusi, itu jauh sekali dari “taswiyyatul manhaj” bahkan mengabaikan bagian umat Islam lain yang belum tentu bisa menerima konsep yang diusung tsb.
Ketika kaum sekuler, liberal dan pluralis menjadikan Islam Nusantara sebagai payung tumpangan mereka, itu bukan lagi perkara furu’ yang bisa didiamkan begitu saja.
Ketika sikap diambil oleh ulama Sumbar, kami bukan hanya membaca dan mendengar paparan konsep sehingga dengan enteng dikatakan “salah persepsi”.
Kami melihat perkataan, perbuatan dan sikap yang dilakukan di bawah konsep itu jauh melenceng maka kami memadukan antara pemahaman konsep dengan aplikasi di lapangan, itu lah langkah berpendapat dalam kasus aktual. Kalau tidak demikian, berarti kita membohongi diri sendiri.
Sikap sudah kami lahirkan.
Kami mengajak semua kembali kepada nama agama yang diberikan oleh Zat Yang Maha Menurunkan Syari’at Agama ini yaitu “Islam” (QS. Ali ‘Imran 19, 85, al-Maidah 3 dan al-Shaff 7) tanpa ada embel-embel apapun.
Mudah-mudahan tidak dilupakan bahwa telah dua kali saya juga mengkritik istilah “Islam Wasathiy” di hadapan pengurus lembagai keulamaan ini yaitu di Lombok dan di Bogor”.
Satu mumayyizat (keistimewaan) tidak bisa dilabelkan kepada Islam karena akan memunculkan pemahaman yang rancu di tengah umat. Seluruh mumayyizaat harus difahami secara utuh dan tidak bisa berdiri sendiri.
Kalau hanya kekhususan budaya dan tradisi yang menjadi alasan menambah Islam dengan wilayah dan sifat lainnya, bagi kami itu bukanlah dalil karena semua tradisi dan budaya, tetap kita saring dengan konsep ‘uruf dalam dalil hukum.
Kami tegak menjaga Ranah Minang tempat kami menghirup udaranya, meneguk airnya sehingga kami merasakan detak nadi kehidupannya.
Karena kami yang hidup di tengah masyarakatnya maka kami bertanggungjawab mengatakan bahwa negeri kami tidak membutuhkan istilah “Islam Nusantara” itu dan juga tambahan apapun di belakang nama “Islam” karena kata itu sangat sempurna dalam pandangan kami.
Perlu diketahui bahwa dalam menjalankan dakwah dan mengamalkan tradisi kami,
kami sudah memiliki konsep yang menyatukan ormas Islam apapun di Ranah Minang selama ini, yaitu:
“Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato Adat Mamakai”
Kami tempatkan falsafah kehidupan itu dalam pengamalan agama kami yang semenjak ulama-ulama tua kami, namanya adalah “Islam” tanpa ada tambahan apapun karena kami tidak mampu menggandengkan apapun dengan nama yang sempurna itu.
“Sekali kata dikatakan, seribu fikiran menjadi timbangan, pantang bertarik surut ke belakang, kecuali Al-Qur’an dan Sunnah yang menentang”
Ingatlah:
أهل البلد أدرى بشعابها
“Penduduk suatu negeri lebih tahu dengan celah-celah kampungya”.
“Amanah Kami Tunaikan” Membiarkan umat bingung dengan pernyataan orang-orang yang mengusung “Islam Nusantara” sesuai...
Dikirim oleh Buya Gusrizal Gazahar pada Rabu, 25 Juli 2018