[PORTAL-ISLAM.ID] Pasca quick count, Ridwan Kamil (RK) dan Khofifah dekalarasikan dukungannya kepada Jokowi di pilpres 2019. Banyak orang kaget. Bahkan sejumlah pendukung RK di Cirebon melakukan aksi protes. Kecewa. Merasa dimanfaatkan suaranya.
Ternyata, masih pada gak paham. Berulangkali saya tulis, RK dan Khofifah itu calonnya Jokowi. Kenapa bukan calon PDIP yang didukung Jokowi? PDIP calonkan TB. Hasanuddin di Jabar dan Gus Ipul di Jatim. Kenapa bukan mereka yang didukung Jokowi? Pertanyaan ini hanya berlaku bagi orang yang gak paham hubungan Jokowi dan PDIP. Tepatnya Jokowi-Mega.
Pernahkah Jokowi bilang kalau dia adalah petugas partai? Apakah Jokowi pernah merasa sebagai petugas partai? Katanya ada surat pernyataannya? Kata siapa?Anda pernah lihat? Kalau toh ada, apa bedannya dengan janji politik para politisi?
Sementara Mega, Ketua Umum PDIP sering bilang di media bahwa Jokowi adalah petugas partai. Pernyataan Mega ini mendorong MH. Ainun Najib, budayawan Jogja, berkomentar: kok negara dianggap bagian dari PDIP?
Jelas? Publik menyimpulkan ada cara pandang yang berbeda diantara keduanya. Jokowi dan Mega. Masih gak percaya?
Perbedaan cara pandang ini berakibat pada perbedaan kemauan. Pernah ada kabar, Mega maunya “si A” jadi Kapolri. Tapi Jokowi maunya “si B”. Ya, “si B” lah yang jadi. Karena Jokowi presidennya. Mega maunya “si anu” jadi Panglima TNI, tapi Jokowi maunya “si Ono”. Ya, “si Ono”lah yang jadi panglima. Rakyat tahulah. Bukan rahasia umum lagi. Jelas? Artinya, Jokowi gak mau jadi petugas partai. Gak mau didikte. Dan memang seharusnya tidak. Sebab, ketika Jokowi jadi presiden, ia adalah presiden seluruh rakyat Indonesia. Bukan presidennya PDIP. Ngerti? Lah kok jadi kayak guru. Hehe.
Bagaimana kalau Jokowi jadi ketua PDIP? Ini baru pertanyaan bagus. Sangat cerdas. Terlebih saat ini posisi PDIP banyak kalah di Pilkada. Mulai melemah. Butuh pemimpin alternatif seperti Jokowi? Perlu tanya sama Ibu Mega dulu. Berkenan tidak? Kok pakai nanya segala? Aturan partai, ketum PDIP punya hak prerogatif untuk hal-hal tertentu. Termasuk pilih pengganti ketua umum? Nah, kalau pertanyaan yang ini perlu tanya Mbak Puan Maharani.
Perbedaan, tepatnya perselisihan Jokowi-Mega tidak hanya soal siapa menjabat apa. Tapi, juga soal pilihan calon gubernur.
Saat calonkan Ahok gubernur di Pilgub DKI, kabarnya Mega awalnya keberatan. Nego alot. Mungkin Mega punya insting politik bahwa Ahok akan kalah. Dan benar, Ahok akhirnya kalah. Kabarnya, pihak istana mendesak. Tanpa PDIP, Ahok tak dapat tiket, kecuali independen. Berat sekali kalau independen. “Potong kuping saya kalau Ahok maju dari jalur independen”, kata Haji Lulung. Publik baru sadar, ternyata “ngumpulin foto copy KTP” itu tak serius. Haji Lulung benar.
Takdir akhirnya memutuskan, Ahok diusung PDIP. Dan, ketua BIN Sutiyoso, diganti Budi Gunawan. Apa hubungannya?
Di Pilgub DKI, Jokowi-Mega bersatu lagi. Satu irama politik. Hubungan keduanya mesra kembali. Namun, saat pilkada serentak 2018 akan digelar, mulai lagi ada pilihan yang berbeda diantara keduanya. Di Jatim Jokowi dukung Khofifah, Mega dan PDIP dukung Gus Ipul. Di Jabar, Jokowi dukung RK, Mega dukung TB. Hasanuddin.
Kalau anda tahu peta ini, maka anda gak perlu kaget mengapa RK dan Khofifah pasca quick count langsung deklarasi dukung Jokowi di pilpres 2019. Ya iyalah… Kata emak-emak zaman now.
Jateng? Ganjar adalah calon Jokowi dan Mega. Menang lagi. Tapi ada hal unik di Jateng. Pertama, suara Ganjar tak sampai angka yang ditargetkan: 60-80%. Ternyata hasilnya hanya dapat 58 persenan. Itupun harus diakui, ada faktor elektoral wakilnya, Taj Yasin punya basis santri Pantura Jawa Tengah yang sangat kuat. Kalau tak ada Taj Yasin, belum tentu Ganjar dapat suara sebesar itu. Belum tentu juga menang. Artinya, klaim Jateng sebagai “sarang banteng” untuk Pilgub saat ini mulai diragukan. Kedua, sehari usai pengumuman quick count, Ganjar dipanggil KPK. Meski hanya sebagai saksi. Ada kaitannya?
Hukum tak selalu steril dari kekuasaan. Siapapun penguasanya. Jika benar, itu warning buat PDIP. Sebab, Ganjar kader PDIP. Atau, karena banteng di Jateng sudah lemah, maka perlu transformasi ke santri dengan menampilkan Taj Yasin sebagai icon. Bisa jadi Ada Kiyai Kharismatik di belakang Taj Yasin yaitu K.H. Maemoen Zubair. Jika ini dijadikan icon Jokowi untuk pilpres 2019, bisa jadi alternatif pengganti tumbangnya banteng di berbagai tempat. Juga akan jadi pergeseran image, Jokowi yang selama ini dikesankan anti Umat Islam menjadi Jokowi Pro-Santri. Lebih nendang.
Apakah ini artinya Mega dan PDIP sudah tak terlalu berarti lagi bagi Jokowi di pilpres 2019? Indikatornya mulai nampak. Ini terutama, kabarnya, (perlu diklarifikasi), ketika Jokowi “tak gubris” tawaran PDIP agar Jokowi ambil Puan Maharani sebagai cawapresnya. “Alternatif dealnya” Jusuf Kalla (JK). Tapi JK sudah terlarang oleh keputusan MK.
Jika Golkar confirm dukung Jokowi dan tidak ada manuver para seniornya, maka Mega dan PDIP akan kehilangan wibawa dan kekuatan pressurenya di mata Jokowi. Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini menjadi “Untouchable designer” di belakang Jokowi akan leluasa memainkan peran Golkar.
Lalu, akankah hubungan Jokowi dengan PDIP akan berakhir? Bisa jadi. Jika tak ada deal di pilpres 2019, PDIP bisa cari alternatif calon. Bisa marajut ulang pilpres 2009: PDIP-Gerindra. Hanya calonnya dirubah. Bisa Prabowo-Puan Maharani. Atau Prabowo-Budi Gunawan. Bisa juga Budi Gunawan-Muhaimin. PDIP-PKB. Atau yang lebih seksi Airlangga Hartarto-Budi Gunawan. Golkar-PDIP. Tinggalkan Jokowi tanpa tiket pilpres. Semua bisa terjadi.
Penulis: Tony Rosyid