[PORTAL-ISLAM.ID] Tiga kata untuk penghentian evakuasi korban tewas musiban kapal KM Sinar Bangun di Danau Toba: arogansi, pelecehan, dan memalukan. Pada 3 Juli, pemerintah mengumumkan penghentian itu.
Pemerintah Indonesia yang memiliki sumber daya yang hebat itu, tidak melanjutkan pengangkatan jenazah para korban kapal yang tenggelam pada 18 Juni 2018 lalu. Pemerintah menunjukkan kepada khalayak tentang bagaimana cara bertindak angkuh, arogan. Penghentian itu memperlihatkan kesombongan penguasa.
Dari mana arogansi itu dinilai? Itu tampak dari hal yang paling disibukkan dan diutamakan oleh penguasa. Mereka lebih tertarik untuk membesar-besarkan santunan yang jumlahnya “tak seberapa” dibandingkan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sibuk menonjolkan santunan 50 juta per korban dan segera akan dibayarkan oleh Jasa Raharja.
Beginilah pemerintah mendidik para penyelenggara negara. Beginilah penguasa mendidik rakyat. Kalau ada korban musibah transportasi, cepat-cepat saja imingkan duit kepada keluarga korban. Diamkan mereka dengan ganti rugi. Kalau perlu, alihkan perhatian mereka dengan jumlah duit yang “wah”. Toh, kebanyakan mereka mungkin belum pernah pegang cash 50 juta.
Seharusnya, pemerintah yang bekerja dengan peradaban, tidak akan secepat ini menghentikan evakuasi dan langsung bicara soal santunan. Soal duit. Ini pendidikan yang sangat buruk.
Inilah arogansi. Siapa yang menggagas ini? Saya menduga, langkah mempercepat “diamkan mereka dengan duit” itu kemungkinan besar datang dari seorang menteri senior. Menteri senior yang terkenal arogan.
Arogansi penguasa yang mengandalkan “solusi duit” untuk korban Sinar Bangun, sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah tak segan-segan melecehkan rakyatnya sendiri. Seolah para penguasa sudah paham bahwa santunan 50 juta akan membuat keluarga korban “tersenyum kembali”.
Sangat memprihatinkan. Teringat praktik money politic (politik uang) di pilkada, pileg atau pilegda bahkan pilpres. Beli saja suara mereka 200 ribu seorang. Yang penting menang. Bisa duduk sebagai bupati, walikota, gubernur, atau anggota legislatif. Barangkali saja para pemegang kekuasaan yang menangani tragedi Sinar Bangun, terinspirasi dari “serangan fajar” pilkada. Diamkan keluarga korban dengan duit. Imingkan 50 juta atau 60 juta. Diamlah mereka.
Memang hampir pasti sebagian besar keluarga korban akan diam. Mungkin pula mereka akan berterima kasih. Sebab, kita di sini terbiasa dengan “sudahlah, mau apa lagi”.
Betul. Mau apa lagi. Tetapi, kebiasaan pasrah seperti ini tidak sepantasnya disalahgunakan untuk jalan pintas. Untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah. Untuk menutupi “kalkulasi” dana besar kalau evakuasi dilanjutkan.
Pemerintah yang mengedepankan peradaban akan sangat hati-hati membicarakan soal duit santunan untuk korban. Terutama korban kecelakaan yang terjadi secara sangat memilukan. Bila Anda lihat rekaman videonya, proses tenggelam Sinar Bangun sangat menyayat perasaan.
Hari ini, dan entah sampai kapan, sayatan perasaan itu masih sangat membekas. Pilu melihat proses tenggelam itu belum lagi sirna. Truama para korban selamat dan keluarga korban, belum lagi terangkat. Masih lekat bersama jenazah-jenazah yang kini kaku di dasar danau.
Betapa arogannya Anda, para penguasa. Betapa lecehnya rakyat di tangan Anda.
Selain itu, betapa memalukan tindakan Anda menghentikan evakuasi dengan alasan tingkat kesulitan, peralatan yang tak memadai, dan biaya yang besar.
Sangat memalukan. Bagaimana tidak. Anda membiarkan triliunan duit rakyat menguap, dicuri dengan rapi oleh para penyenggara pemerintahan. Anda meminjam ratusan bahkan ribuan triliun uang dari luar negeri untuk proyek-proyek yang tak bermanfaat langsung bagi rakyat kecil semisal pengguna kapal penyeberang Danau Toba.
Pemerintah bertugas untuk melindungi rakyatnya. Bagaimana mungkin rakyat bisa mengharapkan Anda melindungi mereka dari agresi militer asing, misalnya, kalau hanya evakuasi mayat di danau saja tak bisa Anda lakukan?
Penulis: Asyari Usman