Islam Nusantara dan Konspirasi Kaum Liberal didalamnya
Oleh: KH. Muhammad Najih Maimoen*
(Pengasuh Ponpes Al-Anwar, putra kedua Syaikhina KH Maimun Zubair)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ الله ِ وَعَلى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاه، أَمَّا بَعْدُ:
Islam Nusantara hadir disaat kaum liberal dan para pembajak akidah beranggapan bahwa Islam yang sekarang dianggap gersang, terkekang, ke-Arab-araban, anti seni, anti budaya, anti kemajuan sekaligus anti emansipasi wanita. Gejala puritanisme menjadi alasan lahirnya wacana Islam Nusantara. Menurut mereka, toleransi antar umat beragama semakin memudar dan jauh dari matriks-matriks pertemuan peradaban dengan agama lainnya. Bagi mereka, Islam, Hindu, Budha, Kristen, Protestan, dan Konghucu sama-sama agama samawi yang mengajarkan kebaikan yang bisa menghantarkan pemeluknya masuk surga. Dengan Islam Nusantara, mereka menginginkan Islam yang fleksibel, toleran, dan sinkretis.
Islam Nusantara hadir untuk mensinkronkan Islam dengan budaya dan kultur Indonesia. Ada doktrin sesat dibalik lahirnya wacana Islam Nusantara. Dengan Islam Nusantara mereka mengajak umat untuk mengakui dan menerima berbagai budaya sekalipun budaya tersebut kufur, seperti doa bersama antar agama, pernikahan beda agama, menjaga Gereja, merayakan Imlek, Natalan dst. Mereka juga ingin menghidupkan kembali budaya-budaya kaum abangan seperti nyekar, ruwatan, sesajen, blangkonan, sedekah laut dan sedekah bumi (yang dahulu bernama nyadran). Dalam anggapan mereka, Islam di Indonesia adalah agama pendatang yang harus patuh dan tunduk terhadap budaya-budaya Nusantara. Tujuannya agar umat Islam di Indonesia terkesan ramah, tidak lagi fanatik dengan ke-Islamannya, luntur ghiroh islamiyahnya. Ada misi “Pluralisme Agama” dibalik istilah Islam Nusantara, disamping juga ada tujuan politik (baca; partai) tertentu, yang jelas munculnya ide tersebut telah menimbulkan konflik, pendangkalan akidah serta menambah perpecahan di tengah-tengah umat.
Ada ungkapan Jawa “Othak-athik Mathuk/ Gathuk” (diotak-atik agar sesuai). Inilah gambaran Islam Nusantara, dimana ajaran Islam akan diotak-atik oleh otak (baca: hawa nafsu) agar sesuai dengan akal dan kearifan lokal (baca: keinginan hawa nafsu). Salah satu pengamalan dan syi’ar Islam Nusantara yang paling fenomenal adalah pembacaan al-Qur’an dengan langgam jawa pada acara peringatan Isra’ Mi’raj di Istana negara, tanggal 15 Mei 2015 dan dilanjutkan “Ngaji al-Qur’an Langgam Jawa dan Pribumisasi Islam” yang digelar oleh Majlis Sholawat Gusdurian di Pendopo Hijau Yayasan LkiS di Sorowajan, Bantul, Yogjakarta Rabo 27 Mei 2015. Bahkan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, tidak tanggung-tanggung dalam mengampanyekan ide Islam Nusantara dengan menggelar diskusi mingguan dengan nama “Majlis Kemisan” di rumah dinasnya, Kompleks Perumahan Widia Chandra III No, Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Menteri agama juga berjanji akan menggelontorkan dana untuk proyek tersebut.
Tak ketinggalan, Presiden Jokowi turut memberi dukungan dan apresiasi terhadap ide Islam Nusantara, dukungan tersebut ia sampaikan pada saat sambutan di acara Munas NU dan Istighosah Menyambut bulan Ramadhan 1436 H dengan tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” Selasa 14 Juni 2015 bertempat di masjid Istiqlal, yang akhirnya menjadi tema Muktamar NU di Jombang. (www.fimadani.com)
Ucapan selamat berupa karangan bunga dari Pondok Pesantren Al-Qodir Tanjung Wukirsari Cangkringan Sleman atas peresmian gereja Katholik Santo Fransiskus Xaverius Cangkringan dan keikutsertaan santri pondok tersebut bermain hadroh di gereja tersebut pada acara yang sama pada tanggal 10 Juli 2015, semakin menambah bukti corak Islam Nusantara yang mereka kehendaki.
Mereka mencoba menginterpretasi ulang agama Islam sesuai kemauan hawa nafsu dan syahwat duniawi mereka untuk diselaraskan dengan dunia modern, agar umat Islam bisa menjaga dan berpidato di gereja, dan sebaliknya para pendeta, pastor dan biksu bisa berpidato dan berkhutbah di masjid. Sebagai contoh seorang kiai NU, Gus Nuril Arifin, pengasuh Pondok Pesantren Multi Agama bernama “Soko Tunggal”di Semarang dan “Soko Tunggal Abdurrahman Wahid” di Rawamangun Jakarta timur, memberikan ceramah agama di Gereja Bethany Tayu Pati dan beberapa gereja lainnya. Dia juga mengatakan bahwa “Keturunan Rasulullah SAW sudah tidak ada, semua sudah mati dibunuh. Arab-arab di Indonesia adalah Arab Badui semua, bukan keturunan Sayyidina Ali dan Nabi Muhammad SAW” “Islam di Indonesia didatangkan oleh Sultan Ahmad Tsani dari berbagai madzhab, meliputi Sunni, Syi’i, dan lainnya. Juga dari berbagai kultur dari seluruh dunia, seperti Cina, Pakistan, India, dan lainnya, bukan dari Arab saja”.
Ada cerita dari KH. Sholahuddin Munshif Jember ketika beliau menghadiri undangan haul di daerah Kapuas, Kalimantan Tengah, hadir disitu bupati Kapuas yang beragama Kristen lengkap dengan atribut seorang muslim. Bahkan beliau mendapatkan cerita dari orang yang hadir disitu, istrinya yang beragama kristen menjadi ketua muslimat NU di daerah setempat. Demikian ini, tentunya bisa juga terjadi di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya kafir-kristen, seperti Palangkaraya, Tapanuli Selatan, Papua, serta daerah-daerah lainnya.
Fenomena haji yang menggunakan blangkon (tidak berkopyah) sebagai atribut KBIH Arafah, Bangsri, Jepara, di bawah pimpinan KH. Nuruddin Amin juga terinspirasi dari ide Islam Nusantara. Pimpinan KBIH tersebut mengatakan: “Makanya kami sengaja mempraktikkan pengamalan Islam Nusantara dengan wujud memakai blangkon”.
Sejak beberapa hari terakhir, media banyak memberitakan warga pulau dewata dihebohkan dengan beredarnya foto pernikahan sejenis di medsos dengan latar belakang perbukitan di bali. Dalam akun media social facebook yang bernama Joe Tully itu, terlihat jelas foto pernikahan sejenis tersebut berlangsung. Bahkan si pemilik akun menuliskan peristiwa penting dalam hidupnya.selain itu juga ada adegan salah satu pengantinnya sungkem kepada ibunya, pernikahan sejenis itu diduga berlangsung di daerah Ubud, Bali. (sindonews.com)
Menurut KH. Idrus Ramli, saat jumpa pers di media center muktamar NU ke-33 di Jombang menyatakan: “Ada tiga kelompok yang menyusup masuk dalam struktur PBNU. Ada kelompok pengurus yang berlatar belakang membela Syi’ah, ada yang berkepentingan untuk wahhabiyah dan ada yang mempunyai misi menyebarkan ideologi liberal” (www.jatimtimes.com).
Menurut Kiai Idrus, Istilah Nusantara merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat sebelum datangnya Islam di Indonesia. Dalam catatan sejarah, istilah Nusantara dideklarasikan oleh Patih Gajah Mada, setelah diangkat sebagai Amangkubumi di Kerajaan Majapahit. Dalam bahasa agama, istilah Nusantara adalah istilah Jahiliyyah, yaitu istilah yang digunakan masyarakat kita sebelum masuknya Islam ke Indonesia. Berkaitan dengan konteks ini, Islam mencela untuk mengajak atau menyerukan pada suatu istilah atau slogan yang digunakan oleh orang-orang jahiliyyah.
Mereka secara struktural dan terorganisir bergerak ingin mengacak-acak dan merubah tatanan ideologi NU, yaitu ideologi Sunni, Asya’irah dan Maturidiyah, berpegang pada al-Qur’an dan Hadits serta qaul-qaul ulama salafus sholih dalam bermadzhab empat, diganti menjadi ideologi liberal ala Islam Nusantara sebagai bentuk kelangsungan ide Gus Dur “Pribumisasi Islam”. Lewat Islam Nusantara mereka ingin menghidupkan kembali sistem Hindu-Budha ala Majapahit. Ada aroma komunis di balik wacana Islam Nusantara.
Pengertian Islam Nusantara versi Kaum Liberal
Dalam tajuk Wawancara di Majalah Aula seperti dikutip www.pesantrenpedia.com, Ahmad Baso, (aktifis NU yang menulis buku berjudul “Islam Nusantara”) mengatakan yang dimaksud Islam Nusantara adalah “Cara bermadzhab secara qauli dan manhaji dalam ber-istinbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan teritorial, kondisi alam, dan cara pengamalannya”. Menurutnya, Islam Nusantara itu sejajar dengan kajian Islam India, Islam Turki, Islam Yaman dan sebagainya. Islam Nusantara bukan hanya Islam sejarah, juga bukan Islam lokal. Lalu dia mencontohkan dengan zakat fitrah, “Ayat al-Qur’an, Hadits dan teks-teks dari Arab berbunyi gandum. Tapi oleh para ulama kita kemudian diterjemahkan menjadi beras karena iklim, situasi, dan kpondisinya memang berbeda. Begitu juga dengan zakat unta dan penentuan hewan kurban. Ini baru contoh dalam zakat, belum yang lainnya,” kata Ahmad Baso.
Intelektual NU lain sekaligus eks-rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra menyatakan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia karena mengedepankan jalan tengah. “Karena bersifat tawasuth (moderat), jalan tengah, tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran, dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik,“ ujar penulis buku Islam Nusantara (2002) ini seperti diwartakan www.bbc.com.
Menurutnya, Islam Nusantara itu berbeda dari Islam Arab. “Karena itu, dalam penampilan budayanya, Islam Indonesia jauh berbeda dengan Islam Arab… Telah terjadi proses akulturasi, proses adaptasi budaya-budaya lokal, sehingga kemudian terjadi Islam embedded (tertanam) di Indonesia,” jelas doktor lulusan universitas Columbia ini.
Salah satu tokoh Islam Nusantara, Said Aqil Siradj yang sukses menjadikan Islam Nusantara sebagai tema Muktamar NU ke 33 di Jombang -meski Muktamar tersebut sejatinya Muktamar PKB yang menjadi ajang bagi-bagi duit, jabatan dan kekuasaan- telah menambah bukti corak dari Islam Nusantara yang mereka usung, mulai dari adanya panggung-panggung hiburan nusantara sampai dengan hadirnya orang-orang kristen seperti Martin Van Bruinessen dari Belanda. Ada kepentingan politik yang tampak sejak awal pelaksanaan Muktamar. Mulai dari registrasi peserta hingga iming-iming uang dan pemaksaan sistem AHWA dalam pemilihan Rois Suriyah. (komentar Kiai Salahuddin Wahid tentang Mukatamar NU di Jombang, www.kompas.com/ lensaindonesia.com )
Ketua PBNU sekaligus pembela Islam Nusantara, Said Aqil Siradj juga menyatakan bahwa Islam Nusantara bukanlah suatu aliran baru. “Islam Nusantara bukan madzhab baru, firqah atau aliran baru. Islam Nusantara menjadi ciri khas Islamnya orang-orang Nusantara, yaitu melebur secara harmonis dengan budaya Nusantara, syara’, kearifan yang tak melanggar syara’, digunakan untuk dakwah Islam di Nusantara,” kata Said Aqil dalam sambutan pembuka Muktamar NU ke-33 awal Agustus kemarin.
Menariknya, dalam pembukaan Muktamar Jam’iyyah Ahlit Thariqah An-Nahdhiyah di Ponpes al-Munawwariyah Malang (Rabu, 10 Januari 2012) Said Aqil pernah mengatakan Islam Nusantara berakar dari ajaran “tauhid” Hindu-Budha. Menurutnya, dahulu orang Jawa sudah mengenal tauhid, hanya saja belum bernama Islam. Ajaran tauhid mereka saat itu bernama KAPITAYAN. Tuhan mereka yang satu ini dibantu oleh Sembilan penjaga penjuru, mirip dengan sembilan bintang yang ada di logo NU. Karena kemiripan inilah maka Mbah Hasyim Asy’ari menggunakan sembilan bintang dalam logo Nahdhatul Ulama. Ahlussunnah wa Jama’ah didefinisikan Said Aqil saat itu dengan “Pengikut Sunnah Nabi dan peduli Jama’ah (masyarakat seluruhnya).” (www.nugarislurus.com)
Pengertian kontradiktif
Dari berbagai pernyataan diatas tentang pengertian Islam Nusantara, terlihat perbedaan antara definisi dari Ahmad Baso dengan definisi dari Azyumardi Azra dan Said Aqil Siradj.
Pertama, jika yang dikehendaki Islam Nusantara adalah seleksi hukum yang sesuai dengan kondisi dan budaya seperti kata Ahmad Baso, maka sebenarnya hal itu merupakan substansi “ijtihad” yang menjadi tugas para ulama otoritatif dalam menerapkan hukum Islam, dan hal ini sudah lazim termaktub dalam kitab-kitab salaf. Dalam diskursus Qowa’id Fiqhiyyah, umat Islam sudah akrab dengan kaidah:
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Tradisi masyarakat muslim yang baik adalah salah satu dasar hokum dalam Islam (jika tidak bertentangan dengan syari’at Islam)”
Akan tetapi, mengapa Ahmad Baso harus menggunakan istilah Islam Nusantara untuk menggambarkan kaidah ijtihad hukum yang sudah lama ditekuni ulama-ulama diatas? Padahal, tidak ada ulama yang menerapkan dakwah sesuai kultur masyarakat menggunakan istilah khusus daerahnya. Apalagi ketika dia mencontohkan ijtihad Islam Nusantara dengan mengeluarkan zakat fitrah berupa jenis beras tidak gandum. Hal ini lebih menggelikan lagi, karena jauh-jauh hari para ulama fiqh Syafi’i sudah menetapkan jenis yang harus dikeluarkan dalam zakat fitrah yaitu gholib qutil balad atau makanan pokok standar yang disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat. Akan tetapi, tidak pernah ada ulama fiqh Syafi’i dalam kitab-kitabnya yang menyatakan dirinya sebagai penganut ide Islam Nusantara, seperti yang dikemukakan Ahmad Baso.
Islam memang universal dan tidak lokal seperti kata Ahmad Baso. Namun jika diistilahkan menjadi Islam Nusantara, maka hal ini justru akan melokalisasi dan mengkotak-kotakan Islam itu sendiri, akibatnya nanti ada Islam Nusantara, Islam Arab, Islam Tiongkok, Islam Amerika, dan seterusnya.
Kedua, jika pengertian Islam Nusantara adalah bersifat moderat, inklusif, toleran dengan agama lain, dan menerima demokrasi berbeda jauh dengan Islam Arab seperti kata Azyumardi Azra, maka terlihat sekali indikasi bahwa dia ingin mengkampanyekan paham Liberalisme dan Pluralisme ke tubuh umat Islam. Hal ini terlihat dari penggunaan istilah seperti moderat, inklusif, toleran, dan demokrasi yang berasal dan dimonopoli maknanya oleh Barat. Istilah-istilah seperti ini juga yang sering digunakan oleh kaum liberal untuk memasarkan pahamnya.
Contoh kecil, dalam bukunya berjudul Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (hal. 108-109), Alwi Shihab menulis: “Prinsip lain yang digariskan oleh al-Qur’an, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusifisme. Dalam pengertian lain, eksklusifisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Quran. Sebab, al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.”
Pernyataan-pernyataan seperti inilah yang ingin dihidupkan oleh Islam Nusantara itu. Oleh karena itu, wajar saja jika banyak pengusung Islam Nusantara yang berideologi dan aktif mengkampanyekan liberalisme dan perusakan Islam seperti Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Asy-syaukani, Ahmad Baso, Azyumardi Azra, Zuhairi Misrawi, dan tidak ketinggalan Said Aqil Siradj dan Sinta Nuriyah Wachid, mewarisi ide-ide “Bapak Pluralisme Agama” Abdurrahman Wahid.
Ketiga, jika Islam Nusantara bukan merupakan madzhab baru sebagai hasil peleburan ajaran Islam dengan budaya Nusantara yang tidak bertentangan dengan syara’ sesuai dakwah Walisongo seperti kata Said Aqil Siradj, maka perlu ditegaskan beberapa hal; Pertama, dalam hal akidah tidak ada namanya akidah Islam Nusantara, karena akidah merupakan hal asas yang tetap dan tidak berubah dimanapun dan kapanpun ia berada. Yang ada hanyalah akidah Islam. Kedua, fakta yang ada budaya yang berasal dari tradisi Nusantara pra-Islam telah di-Islamkan oleh para ulama Nusantara termasuk Walisongo, bukannya Islam yang diakulturalisasi dan di-nusantarakan oleh budaya Nusantara karena budaya tersebut sudah ada terlebih dahulu sebelum Islam datang. Ketiga, kegiatan keagamaan masyarakat Indonesia yang sepenuhnya berasal dari Islam seperti tahlilan, yasinan, maulidan, manaqiban, thariqahan, dsb. pada dasarnya di negara-negara Arab juga dilaksanakan seperti di Syiria, Yaman, dsb. Lalu mengapa para pendukung Islam Nusantara menolak Islam Arab, padahal amaliyah mereka sama? Terjadi lagi ketidakjelasan dan inkonsistensi pemikiran dalam istilah Islam Nusantara tersebut.
Ide-ide Liberalisme di balik Islam Nusantara
Melihat fakta, realita, statemen, sikap dan perilaku para tokoh nasional yang representatif mewakili Islam Nusantara, dapat diambil kesimpulan akurat tentang apa dan bagaimana wajah Islam Nusantara yang mereka usung.
Salah satu tokoh yang menjadi garda depan dalam mensosialisasikan Islam Nusantara adalah Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradjyang telah sukses menjadikan Islam Nusantara sebagai tema Muktamar NU ke-33 pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur. Ia bahkan dimintai kata pengantar buku “Ijtihad Politik Islam Nusantara; Membumikan Fiqih Siyasah Melalui Pendekatan Maqashid asy-Syari’ah” garapan Tim FORZA PESANTREN, purna Siswa III Aliyah MHM PP. Lirboyo 2015. Selain Said Aqil Siradj, tokoh-tokoh nyleneh seperti Husein Muhammad, Ahmad Baso, Yahya Cholil Staquf dan Hasyim Muzadi juga menjadi dewan konsultan buku tersebut. Jadi jangan heran, jika isibuku mempromosikan ide-ide Liberalisme, seperti “Non-muslim sah menjadi pemimpin negara” (hal: 28), “Nikah beda agama dilegalkan” (hal: 202), dan masih banyak lagi pemikiran-pemikiran menyimpang kaum modern yang dinukil dalam buku tersebut.
Dalam buku itu juga dikutip pendapat Hussein Muhammad, “Larangan pernikahan Muslimah dengan laki-laki Kitabi merupakan setting budaya patriarki (sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial, kbbi) yang menempatkan perempuan sebagai subordinat (bawahan) bagi laki-laki. Dalam budaya masyarakat patriarki, posisi wanita selalu terhegemoni oleh laki-laki, sehingga wanita digambarkan sebagai makhluk lemah dan tak berdaya. Budaya ini tentu berbeda dengan budaya masyarakat modern yang telah memiliki kesadaran HAM dan menolak segala sistem atau tata sosial yang diskriminatif, termasuk diskriminasi gender.” (hal. 202)
Pernyataan ini jelas bertentangan dengan hukum qath’i dari nash al-Qur’an tentang larangan pernikahan beda agama. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ( [البقرة: 221
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran,” (QS. Al-Baqarah: 221)
Selanjutnya, dalam buku tersebut juga ditulis, “Dalam paradigma seperti ini, tentu syarat seorang pemimpin yang paling mendasar adalah faktor integritasnya, bukan agamanya. Lebih-lebih jika melihat fenomena keagamaan masyarakat kontemporer, dimana identitas tidak lagi menjadi jaminan bagi perilaku dan integritasnya, sehingga tidak jarang dijumpai seorang pemimpin muslim tapi korup, sementara ada pemimpin non muslim tapi amanah dan anti korupsi. Di samping itu, tidak terdapat dalil yang tegas melarang non muslim dijadikan sebagai pemimpin.” (hal. 28)
Padahal, kewajiban tentang mengangkat pemimpin muslim sudah jelas dalam al-Qur’an dan al-Hadits, Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ [المائدة : 51
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin-mu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Ma-idah: 51)
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا [النساء : 141
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 141)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا [النساء : 144
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang yang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An-Nisa’: 144)
فَإِنَّ اللهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ [البقرة : 98
“Sesungguhnya Allah SWT adalah musuh orang-orang kafir” (QS. An-Nisa’: 144)
عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً [رواه البخاري
“Dari Abu Bakroh RA, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Tidak akan berhasil (baik) suatu kaum yang menguasakan urusannya kepada seorang perempuan (menjadikannya pemimpin)”. (HR. Imam al-Bukhori)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ» [رواه الترمذي
“Dari Abu Sa’id al-Khudri RA, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah berkawan kecuali dengan orang mukmin, dan janganlah memakan makanmu kecuali orang yang bertakwa”. (HR. Imam at-Tirmidzi)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- :« يَا عَبْدَ اللهِ أَىُّ عُرَى الإِسْلاَمِ أَوْثَقُ؟ ». قَالَ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ :« الْوَلاَيَةُ فِى اللهِ الْحُبُّ فِى اللهِ وَالْبُغْضُ فِى اللهِ ». (رواه البيهقي
“Dari Abdullah bin Mas’ud RA, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Abdullah, apa tali Islam yang paling kokoh?, aku menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’, kemudian Rasulullah SAW bersabda: Yaitu al-walayah fillah (cinta dan benci karena Allah) ”. (HR. Imam al-Baihaqi)
عبد الله بن عباس – رضي الله عنهما – : قال : سمعتُ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم- يقول اللهم اجعلنا هَادِينَ مهتدينَ ، غير ضالِّينَ ، ولا مُضِلِّينَ ، سِلْما لأوليَائِكَ ، وحَرْبا لأعدائِكَ ، نُحِبُّ بِحُبِّكَ مَنْ أَحَبَّكَ ، ونُعَادي بِعَدَاوتِكَ مَن خالَفَكَ (رواه الترمذي
“Dari Abdullah bin Abbas RA, berkata saya mendengar Rasulullah SAW bersabda (dalam do’anya): “Ya Allah, jadikanlah kami sebagai orang-orang yang memberi petunjuk (kepada selain kami) dan dianugerahi petunjuk (dari Engkau), janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang tersesat lagi menyesatkan, dan jadikanlah kami sebagai orang-orang pendamai kepada setiap kekasih-Mu dan (sebagai) pemusuh kepada setiap musuh-Mu. Dengan dasar cinta-Mu kami dapat mencintai setiap orang yang mencintai-Mu, dan karena benci-Mu (pula) kami memusuhi setiap orang yang mendurhakai-Mu”. (HR. Imam at-Tirmidzi)
Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits di atas secara tegas menunjukkan berkawan dan berteman dengan orang-orang kafir saja dilarang oleh agama Islam, apalagi menjadikan mereka sebagai pimpinan umat Islam! Kemudian dijelaskan pula, Rasulullah SAW memastikan bahwa suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pimpinannya, urusan mereka tidak akan pernah baik alias tidak akan memperoleh keberhasilan, apalagi menjadikan kafir yang notabenenya musuh Allah SWT sebagai pimpinan! Dalam diskursus ushul fiqh, seringkali permasalahan semacam ini dibuat contoh konsep qiyas awlawi. Fenomena ibu kota Jakarta yang dipimpin Kafir Ahok patut menjadi bukti nyata bahwa kepemimpinan musuh Allah SWT di suatu daerah yang mayoritas muslim sudah tentu menyebabkan puluhan krisis (krisis aqidah, syari’ah seperti pelarangan penyembelihan hewan qurban di tempat umum oleh Ahok, ekonomi seperti rupiah tidak stabil, politik dan kepercayaan), malapetaka, carut marut, tidak barokah, dan kerusakan-kerusakan di seluruh lapisan masyarakat daerah tersebut.
Ulil Abshar Abdalla, salah satu pentolan JIL, pernah menjadi narasumber pada Studium General (Kuliah Umum) untuk mahasiswa baru STAIN Kuduspada hari Selasa, 1 September 2015, dengan tema “Memperbincangkan Islam Arab dan Islam Nusantara”. Pada acara tersebut, Ulil menjelaskan ciri-ciri khas Islam Nusantara, dalam penjelasannya terlihat sekali ada sentimen dengan budaya Arab. Saat menjelaskan ciri-ciri khas Islam Nusantara inilah, Ulil mulai meruntuhkan satu per satu hukum-hukum Islam yang sudah dibakukan (baca: mujma’ ‘alaihi) oleh para ulama.
Pertama, ciri Islam Nusantara adalah tidak menganggap perempuan sebagai makhluk domestik (rumahan). Jadi kewajiban perempuan harus selalu berada di rumah adalah karena faktor budaya Arab yang menganggap wanita sebagai makhluk domestic (rumahan).
Perlu diketahui, statemen seperti ini merupakan salah satu jurus andalan kuno (asongan basi) para liberalis dalam usaha meruntuhkan Syari’at Islam. Mereka menuduh ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah SAW adalah hasil jiplakan dari budaya arab yang kemudian popular dengan istilah muntaj tsaqofi (produk budaya arab). Tuduhan ulil bahwa budaya arab menganggap wanita sebagai makhluk domestik jelas ngawurnya dan tidak sesuai realita sejarah. Karena sudah maklum, masa Arab Jahiliyyah adalah masa paling suram dalam sejarah wanita. Betapa hina nasib kaum wanita pada masa itu, mereka tidak dihargai sebagai seorang manusia, hak sipil mereka dikebiri, harkat dan martabat mereka dinodai, dan harga diri mereka dikotori, bahkan lebih dari itu mereka diperlakukan tak ubahnya seperti barang dagangan bagi walinya sebelum ia menikah dan bagi suaminya setelah menikah. Wanita pada waktu itu hanya dieksploitasi sebagai obyek pemuas nafsu kaum pria. Yang lebih mengerikan di era itu tersebar semacam opini publik bahwa melahirkan anak perempuan adalah aib besar, sehingga mereka (jahiliyah) tidak segan-segan untuk membunuh putrinya hidup-hidup seperti yang dikisahkan al-Qur’an. Kaum wanita di masa jahiliyyah bebas keluar rumah tanpa memakai penutup aurat, bahkan sudah biasa kaum hawa pada waktu itu melakukan thawaf di baitullah dengan telanjang.
Berarti dapat disimpulkan, zaman jahiliyyah hamper mirip zaman sekarang, para wanita bebas berkeliaran dengan mengumbar aurat, memakai pakaian ketat, mencari perhatian kepada kaum laki-laki, sehingga mengakibatkan seks bebas terjadi dimana-mana. Kemudian Islam datang membuat aturan-aturan yang mengangkat harkat dan martabat kaum wanita. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى [الأحزاب: 33
“Dan jangan mencari perhatian ketika berjalan diantara laki-laki seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyyah terdahulu”. (QS Al-Ahzab:33)
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلَا يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ (رواه البخاري ومسلم
“Dari Abi Hurairah RA, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda: Tidak diperbolehkan orang telanjang melakukan thawaf di baitullah”. (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim)
Dalam kacamata Islam, wanita boleh keluar dari rumah seperti untuk bermuamalah, menghadiri majlis ilmu dan keluar untuk kepentingan hajat-hajat syar’iyyah, dan bukan sekedar bermain-main, apalagi bepergian ke tempat yang miskin nilai-nilai agamanya, seperti wisata, sekolah umum dan sejenisnya. Semua itu dengan syarat menutup aurat, aman dari fitnah dan tidak ada ikhtilath bainarrijal wannisa’, dan jarak tempuhnya tidak jauh serta mendapat izin dari keluarga. Bagi perempuan yang sudah menikah, harus mendapat izin dari suami. Sedangkan perempuan yang belum menikah, harus mendapat izin dari orang tua atau wali. Dan jika bepergian jauh, maka harus didampingi oleh suami atau mahromnya. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ» [رواه الإمام البخاري
“Diriwayatkan dari sayyidah Aisyah RA, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT memberi izin kepada kalian (kaum hawa) keluar untuk keperluan-keperluan kalian”. (HR. Imam al-Bukhari)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ، تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ» [رواه الإمام مسلم
“Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: ‘Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir melakukan safar (yang jarak tempuhnya 3 malam) kecuali didampingi mahromnya’.” (HR. Imam Muslim)
Batasan-batasan Islam yang diterapkan terhadap perempuan tentunya bukan bertujuan untuk mengekang kebebasan perempuan, melainkan untuk menjaga kehormatan dan kesucian perempuan itu sendiri. Inilah yang membuat Islam berbeda dengan budaya Barat yang menganggap perempuan sebagai materi yang bisa dieksploitasi dan dijadikan alat pemuas hawa nafsu laki-laki. Untuk lebih lengkap pembahasan seputar wanita menghadapi tantangan modernisasi, silahkan baca buku kami yang berjudul “Peran dan Posisi Wanita dalam Islam; Perbincangan Feminisme dan Kritik Bias Gender”
Kedua, ciri Islam Nusantara adalah bersikap tawassuth (moderat). Tawassuth-nya Islam Nusantara di sini dimaknai Ulil sebagai Islam yang tidak suka menuduh orang syirik, bid’ah, kafir, dan murtad. Islam yang merangkul bukan menampik. “Kita boleh berkeyakinan si A sesat, tetapi kita tidak akan mengatakan itu kepada orang tersebut. Bagaimanapun hal tersebut menyakitkan baginya sehingga dia bisa menjauh dari kita. Setahu saya kultur seperti itu tidak ada di pesantren. Syiah sesat, tetapi kiai-kiai kita di NU tidak pernah mengkampanyekan itu di muka publik,” kata Ulil.
Pernyataan Ulil Abshar tersebut jika diterima oleh para simpatisan Islam Nusantara sangat berbahaya. Jika label bid’ah, sesat, kafir, dan syirik hanya boleh diyakini oleh diri sendiri dan kita tidak boleh menyebutkannya di depan umum, lantas bagaimana dan kapan orang yang terkena virus kesesatan tersebut bisa menyadari kesalahannya dan diajak kembali ke jalan yang benar? Jelas sekali omongan Ulil ini ingin membunuh ruh jihad amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini bertentangan dengan ajaran Rasulullah saw dalam Haditsnya:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ [رواه مسلم
Barangsiapa melihat kemunkaran maka dia harus melawan dengan tangannya. Jika dia tidak mampu maka harus dengan lisannya. Jika dia tidak mampu maka harus dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR. Imam Muslim)
Pernyataan Ulil bahwa kiai-kiai NU tidak pernah menyebutkan kesesatan di depan publik juga tidak sesuai fakta sejarah. Mbah Hasyim Asy’ari sebagai founding father Nahdhatul Ulama menulis kitab Risalah Ahli al-Sunnah fi Bayan al-Musammati bi Ahlissunnah wal Jama’ah yang membahas tentang berbagai penyimpangan kaum bid’ah seperti Syiah, pemikiran sesat Ibn Taimiyah, Ibn Abdul Hadi, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo. Kyai Abul Fadhol Senori juga menulis al-Durr al-Farid fi Syarh Jauharah al-Tauhid dan Syarh al-Kawakib al-Lamma’ah yang juga membahas tentang akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan penyimpangan kaum bid’ah. Bahkan dalam kitab Syarh al-Kawakib al-Lamma’ah, beliau menuturkan dengan jelas pemikiran sesat pemikir modern, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo, Qosim Amin, Thoha Husein, Manshur Fahmi, Amin al-Khauli, Ali Abdurroziq, Mahmud Azmi, Hanim Muhammad dan Muhammad Abu Zaid. Andaikan Kyai Fadhol sezaman dengan pemikir modern seperti Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid dan lain-lain, tentu beliau akan menjelek-jelekkan pemikiran mereka, sebagai bentuk tahdzir kepada kaum muslimin agar mewaspadai ide-ide sesat mereka. Penulisan buku oleh para ulama tergolong penyebaran di muka publik. Pernyataan Ulil diatas sama saja dengan merendahkan perjuangan ulama-ulama salaf Nahdhatul Ulama dalam mempertahankan akidah dan amaliyah umat Islam di Indonesia.
Ketiga, Ulil menjelaskan bahwa ciri Islam Nusantara adalah Islam datang ke Nusantara tidak melalui jalan perang, tapi melalui jalan damai. Setelah itu Ulil menyinggung tentang jihad dengan peperangan. Menurutnya, perang dalam Islam hanya bersifat defensif (membela diri dari serangan kafir). Umat Islam tidak boleh menyerang non-Muslim ketika mereka tidak menyerang. Dalam pemaparan Ulil, perang dalam zaman awal Islam adalah untuk mempertahankan diri. Adapun perang setelah zaman Rasulullah SAW tidak seluruhnya karena dasar agama, melainkan hanya perluasan wilayah saja yang pada zaman itu adalah hal yang normal. “Sekarang tidak boleh lagi melakukan itu karena bisa melanggar konvensi internasional. Ini bukan lagi perang jihad,” ujar Ulil.
Pernyataan Ulil diatas tentu semakin membuktikan bahwa ulil tak layak disebut intelektual Islam, sebab ia sama sekali tidak paham sejarah peperangan Rasulullah SAW. Perlu diingat, kitab-kitab sirah nabawiyyah telah menjelaskan bahwa peperangan di zaman Rasulullah SAW terdapat dua istilah; Pertama, ghozwah yaitu peperangan yang diikuti langsung oleh Nabi Muhammad SAW, ini berjumlah 19. Kedua,sariyyah atau ba’ts yakni peperangan yang tidak dihadiri oleh Rasulullah SAW, akan tetapi beliau yang mengirim pasukan perang tersebut, yang ini berjumlah 24. Jadi jumlah keseluruhannya adalah: 43. Kesimpulan ulil yang menyatakan perang zaman Rasulullah SAW hanyalah perang defensif adalah kebohongan besar. Sebab banyak sekali perang ofensif yang dilakukan oleh beliau, seperti perang Badar (Nabi SAW berusaha mengahalangi ‘iir quraisy atau kafilah quraisy dari Syam yang dipimpin Abu Sufyan, namun kafilah tersebut dapat menyelamatkan diri, kemudian Rasulullah SAW bersama kaum muslimin menantang perang kafir quraisy yang pada saat itu sudah siap berperang) perang Hunain, Fathu Makkah, perang Bani Quraidloh, Bani Qunaiqo’, Bani Nadhir (Rasulullah SAW menyerang kaum Yahudi terlebih dahulu karena mereka terbukti menghianati Piagam Madinah), perang Tabuk dan perang Mu’tah (Nabi Muhammad SAW sengaja menginvasi kaum Nashrani sebab beliau mendapatkan kabar bahwa mereka berencana menyerang umat Islam) dan masih banyak lagi peperangan beliau yang ofensif, termasuk ketika memerangi kaum musyrikin.Yang perlu dicatat, perang ofensif Rasulullah SAW yang menuai kemenangan terbesar dan ghonimah terbanyak adalah perang Khoibar. Perang defensif (bertahan diri) yang dilakukan Rasulullah SAW adalah perang Uhud dan perang Khandaq/ Ahzab.
Kalau kita banyak membaca kitab-kitab sirah nabawiyyah, kita akan paham betul kesempurnaan, kebijaksanaan dan keagungan pangkat Rasulullah SAW. Beliau adalah sosok pemimpin yang ahli strategi dan ahli taktik perang, diantara taktik beliau adalah “Lawan Jangan dikasih Kesempatan Menyerang”, oleh karena itu peperangan ofensif sering beliau praktekkan. Beliau juga seorang pemimpin yang ahli diplomasi, suluh hudaibiyyah sampai penaklukan Makkah menjadi bukti nyata kejeniusan beliau dalam berdiplomasi. Beliau adalah satu-satunya panglima perang di dunia yang patut dijadikan teladan, karena peperangan Rasulullah SAW tidak dipersenjatai dengan senjata yang lengkap apalagi berlebihan, persenjataan beliau sangat sederhana, meski demikian, kubu beliau terlihat sangat berwibawa, menakjubkan dan menakutkan lawan. Dalam medan peperangan, beliau adalah sosok paling bijaksana, beliau bukan pemimpin kejam, sadis, bengis, penindas, apalagi penjagal yang melakukan pembunuhan massal dan pemusnahan etnis, seperti yang sering dilakukan para pemimpin kafir, yahudi dan nashrani. Perlu ditandaskan lagi, pemberlakuan Piagam Madinah di kota madinah tidak mengikutsertakan umat Kristen, karena pada waktu itu di Madinah tidak ada umat kristen apalagi Majusi dan Hindu-Budha (penyembah berhala) seperti yang sering dikoar-koarkan orang-orang Liberal, ini jelas ngawur dan tak ada dasar ilmiahnya, karena mereka tidak pernah mengaji kitab sirah nabawiyyah. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ: «نَغْزُوهُمْ، وَلاَ يَغْزُونَنَا» [رواه البخاري
“Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurod, beliau berkata, Nabi SAW pada saat perang Ahzab bersabda: ‘Mulai sekarang kita yang akan menyerang mereka, dan mereka tidak akan menyerang kita (karena masih trauma pasca kekalahan telak di perang Ahzab).”(HR. Imam al-Bukhari)
Penegasan ulil bahwa peperangan setelah Rasulullah SAW bukan atas nama jihad akan tetapi untuk perluasan wilayah Islam dan perang jihad sudah terlarang, itu jelas bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ افْتَتَحَ مَكَّةَ: «لاَ هِجْرَةَ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ، فَانْفِرُوا. [رواه البخاري
“Diriwayatkan dari Ibn Abbas RA, beliau berkata, Nabi Muhammad SAW pada saat penaklukan kota Makkah bersabda: ‘Tidak akan ada lagi hijrah, yang ada adalah niat dan jihad. Maka jika kalian diminta untuk berangkat perang, maka berangkatlah”(HR. Imam al-Bukhari)
Walhasil, hukum jihad selamanya akan tetap ada sampai Hari Kiamat karena begitu banyak ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits Rasulullah yang memerintahkan perang. Adapun kondisi umat Islam sekarang memang tidak memungkinkan untuk melaksanakan jihad bil qital, namun hal ini tidak bisa menghapus Syari’ah Islam yang sifatnya qath’iyyah al-tsubut tersebut. Umat Islam tetap harus memiliki keyakinan bahwa jika suatu saat diberi kekuasaan dan kekuatan untuk melaksanakan jihad perang kepada non-Muslim, maka mereka harus siap untuk melakukannya. Penghapusan hukum jihad oleh Ulil Abshar diatas adalah ciri khas omongan kaum liberal untuk meruntuhkan ajaran Islam lewat ide Islam Nusantara, ini sama saja taqlid dengan ideologi Ahmadiyah al-Qodliyaniah yang telah menghapus kewajiban Jihad. Apalagi selama ini, mereka tidak henti-hentinya gembar-gembor Islam Nusantara adalah Islamnya Walisongo, Islam damai, toleran, anti perang. Apa mata mereka sudah buta tentang sejarah Walisongo (kerajaan Demak, Raden Patah) Jihad melawan Majapahit?.
Dalam Kitab Ahlal Musamarah hal. 47-48, Kyai Abul Fadlol Senori menyebutkan bahwa setelah Raden Fatah dilantik menjadi Raja Demak, beliau mengumpulkan para wali dan tokoh kerajaan seraya menyampaikan sambutan: “Wahai para tokoh, Saya mengumpulkan kalian semua di sini untuk membahas suatu kewajiban dalam agama Islam, yaitu saya memandang kaum muslimin pada saat ini telah menjadi penduduk mayoritas dan saya berkeyakinan bahwa sesungguhnya jihad termasuk kewajiban bagi muslimin. Sekarang ini Raja Brawijaya dan para pengikutnya telah tertanam kekufuran. Maka, apakah menurut kalian, bagi kita (umat Islam) wajib memerangi mereka?”. Semua yang hadir dalam majlis tersebut sepakat menyetujui titah Raden Fatah.
Kisah peperangan antara Kerajaan Demak di bawah pimpinan Raden Fatah dan Kerajaan Majapahit di bawah Pimpinan Brawijaya bisa dibaca secara lengkap dalam Ahlal Musamaroh fi Hikayati al-Auliya’ al –Asyroh hal. 48-86 karya al-Mukarram Kyai Abul Fadlol Senori. Andai di zaman Walisongo dahulu kala tidak terjadi peperangan, lalu kenapa para tokoh-tokoh Majapahit banyak yang pindah ke Gunung Tengger, Lumajang dan ke Bali?. Jika para pengusung Islam Nusantara tidak percaya terealisasinya jihad zaman Walisongo, berarti mereka meragukan dan merendahkan keilmuan Kyai Abul Fadlol, bahkan telah melakukan pembohongan publik dengan menyebarkan pemahaman keliru ke khalayak umum.
Keempat, yang lebih menggelikan lagi Ulil juga mengatakan bahwa pendekatan dalam melihat realitas sosial jangan hanya ditumpukan pada aspek akidah saja atau fiqih saja. Menurutnya hal ini membuat hidup tidak asyik. “Asiknya Islam nusantara itu ya karena adanya dangdut mania. Yang menyelamatkan Islam nusantara bagi saya adalah dangdut mania,” katanya disambut tepuk tangan meriah para mahasiswa STAIN Kudus.
Dalam pernyataan ini dengan seenaknya Ulil Abshar menjustifikasi Islam Nusantara dengan dangdutan yang seringkali menjadi ajang kemaksiatan seperti jogetan, minum-minuman keras, tawuran, dan juga seks bebas. Dan memang begitulah “Islam Nusantara” ala kaum liberalis Ulil cs yang ingin membenar-benarkan budaya masyarakat abangan. Targetnya jelas, mereka menciptakan stigma buruk di tengah-tengah masyarakat, bahwa pesantren itu kolot, kaku (tidak bisa apa-apa), ketinggalan zaman dan tidak relevan, tujuannya supaya umat Islam di Indonesia semakin jauh dari pesantren, ulama dan kitab-kitab salaf. Bahkan dengan lancang, Ulil berkicau di akun twitternya, “Insyaallah, di hari itu akan kelihatan dengan terang benderang, yang diridhai Allah SWT adalah Islam Liberal”
Perlu ditandaskan juga, bahwa ide-ide tentang pluralisme dan Islam Nusantara ini merupakan salah satu proyek Barat untuk menjinakkan Islam. Dalam buku berjudul Civil Democratic Islam; Partner, Resources and Strategies (2003), Cheryl Bernard menulis bahwa saran-saran strategis yang diberikan Cheryl kepada pemerintah AS untuk menghadapi Islam adalah sbb: 1) Ciptakan tokoh atau pemimpin panutan yang membawa nilai-nilai modernitas 2) Dukung terciptanya masyarakat sipil di dunia Islam. 3) Kembangkan gagasan Islam warna-warni, seperti Islam Jerman, Islam Amerika, Islam Inggris dst. 4) Serang terus-menerus kelompok fundamentalis dengan cara pembusukan person-personnya melalui media masa. 5) Promosikan nilai-nilai demokrasi Barat modern 6) Tantang kelompok tradisionalis dan fundamentalis dalam soal kemakmuran, keadilan sosial, kesehatan, ketertiban masyarakat dsb. 7) Fokuskan ini semua kepada dunia pendidikan dan generasi muda Muslim.
Penutup
Penggunaan istilah Islam Nusantara sebenarnya telah mengurangi bahkan merusak universalitas Islam. Pada dasarnya jika Islam dimaknai dengan hal partikular, maka justru akan mereduksi makna Islam itu sendiri, sehingga Istilah dan konsep Islam Nusantara menjadi sangat problematis. Problem akidah misalnya. Jika Islam Nusantara itu berkompromi dengan budaya lokal yang terindikasi syirik, maka Islam Nusantara telah melanggar akidah. Karena dalam masalah akidah tidak ada ijtihad. Konsep Islam Nusantara ini merupakan salah satu agenda penyebaran paham Pluralisme.
Islam Nusantara sebenarnya gambaran Islam yang tidak perlu dipermasalahkan. Islam tahlilan, yasinan, ziarah kubur, tawassul, muludan dan lain sebagainya, inilah Islam Nusantara, sebuah tatanan yang sudah baku dan mengakar di tengah-tengah umat. Sebuah syari’at dan ajaran Islam yang dibawa para Walisongo untuk meng-Islamkan Nusantara. Masalahnya, kalau tiba-tiba istilah tersebut sekarang dimunculkan lagi, diobok-diobok dan digembar-gemborkan oleh beberapa tokoh dan orang-orang yang mempunyai rekam sepak terjang yang menyimpang dari Syari’at dan mempunyai raport merah dalam berakidah, ini perlu dicurigai dan diwaspadai. Kalau mereka mengatakan bahwa Islam Nusantara hadir untuk melestarikan dan menjaga budaya dan tradisi nahdliyin, sebagaimana yang dipahami dan dipublikasikan kepada para kiai dan tokoh masyarakat, itu merupakan pengelabuhan dan sebuah kebohongan besar. Namun bukan hanya itu, Islam Nusantara sebenarnya “wajah baru” dari proyek Liberalisasi Islam di Indonesia.
Jika yang mengawal Islam Nusantara adalah para ulama pesantren yang istiqamah mengajar kitab salaf, membela-memperjuangkan ajaran dan membentengi akidahnya, maka kita dapat husnudhan, konsep Islam Nusantara ala ulama salaf dapat mempertahankan estafet ajaran Islam yang benar dan lurus serta dakwah Islam yang tegas namun tetap santun dan merakyat sesuai warisan ulama-ulama Nusantara pendahulu. Akan tetapi, jika Islam Nusantara ini diusung dan didakwahkan oleh tokoh-tokoh nyleneh yang sering menggembar-gemborkan ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, maka hal ini akan menjadi pintu gerbang potensial untuk merusak tatanan aqidah dan syari’at Islam.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
__
*Sumber: http://ppalanwar.com/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=809&cntnt01returnid=15