Oleh: Hersubeno Arief
(Wartawan senior)
Dalam dua pekan terakhir kelompok oposisi dan embrio Koalisi Keumatan mengalami pukulan beruntun yang sangat telak. Pukulan beruntun tersebut, dan belum adanya kesepakatan kandidat capres-cawapres diantara partai-partai yang digadang-gadang menjadi koalisi keumatan –Gerindra, PAN, dan PKS– memunculkan sebuah pertanyaan besar “Masih adakah koalisi keumatan itu?”
Pukulan telak pertama adalah “menyeberangnya” Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi ke kubu Jokowi. Pukulan kedua tak kalah telaknya adalah pencalegan Kapitra Alamsyah salah seorang pengacara Habib Rizieq Shihab oleh PDIP.
Dengan menjadi caleg dari PDIP, maka Kapitra bersama TGB dipastikan akan memperkuat skuad Jokowi dalam menghadapi Pilpres 2019.
Keberhasilan kubu Jokowi melakukan akuisisi terhadap TGB, levelnya bisa disamakan dengan keberhasilan Juventus mentransfer Ronaldo dari Real Madrid, namun dalam skala lokal. Cukup mengagetkan. Salah satu capres rekomendasi Persaudaraan Alumni (PA) 212, malah memilih menjadi pendukung Jokowi. Sementara Kapitra levelnya tidak setinggi TGB, namun tetap bisa menjadi pemain penting yang ikut menentukan jalannya permainan.
Benar seperti kata Kapitra, bahwa dia bukan siapa-siapa. Bukan pentolan atau tokoh penting dalam Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI yang telah berubah nama menjadi GNPF Ulama. Namun jangan lupa bahwa dia adalah (mantan) pengacara Habib Rizieq. Tokoh yang menjadi simbol perlawanan kelompok oposisi dan keumatan.
Kapitra dipastikan banyak mengetahui pembicaraan rahasia dan strategi perlawanan yang dibahas di seputar Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut. Dia bisa menjadi senjata mematikan, yang dapat dimanfaatkan oleh koalisi partai pemerintah dalam mematahkan perlawanan terhadap rezim pemerintah.
Keputusan TGB mendukung Jokowi, dan kepastian Kapitra mengenakan seragam merah dengan logo moncong putih, jelas merupakan sebuah ironi besar. TGB adalah salah satu tokoh Islam yang diharapkan bisa menjadi penantang Jokowi. Sebagai gubernur, Ketua Alumni Universitas Al Azhar, Kairo Cabang Indonesia, dia punya gerbong panjang di belakangnya. Sementara Kapitra, pasti sangat paham sikap politik Habib Rizieq. Bersama kelompok keumatan Habib Rizieq selama ini menyerukan umat agar tak memilih partai-partai yang mendukung penista agama Ahok. Lha kok Kapitra malah menjadi caleg PDIP?
Tidak penting apakah nantinya Kapitra bisa melenggang ke Senayan atau tidak. Apalagi dia ditempatkan di daerah pemilihan Sumatera Barat yang secara tradisi sulit ditembus PDIP. Agak naif bila seperti dikatakan Kapitra dengan bergabung ke PDIP, dia bisa ikut mewarnai dan menjadi jembatan kepentingan umat. Lebih naif lagi penjelasannya, bahwa capresnya tetap Habib Rizieq.
PDIP bagi kelompok keumatan dianggap sebagai musuh besar. Begitu pula sebaliknya. Mega misalnya secara tegas meminta agar kader PDIP mewaspadai para pengusung idiologi tertutup yang anti persatuan. Secara sinis Mega menyebutnya sebagai peramal masa depan. “Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya,” kata dalam HUT PDIP ke 44 di Jakarta (10/1/2017).
Dari sisi pembentukan publik opini, bergabungnya TGB dan Kapitra merupakan kemenangan besar bagi poros pendukung pemerintah. Tidak perlu waktu lama bagi TGB untuk bertansformasi menjadi pendukung setia Jokowi yang agresif.
Di tengah aktivitas kerjanya sebagai gubernur, TGB justru sering wora-wiri di Jakarta. Dia melakukan serangkaian safari media di Jakarta. TGB juga aktif mengunggah aktivitas dan ceramahnya yang mendukung Jokowi. Targetnya jelas untuk memenangkan pertarungan opini.
Salah satu ceramah TGB yang cukup viral adalah peringatannya agar para ulama dan ustad tidak lagi mengutip ayat-ayat perang dalam kontestasi politik. Pernyataan TGB ini jelas sangat menohok. Sebagai seorang doktor ahli tafsir Al Quran, jelas dia punya otoritas untuk menyatakan hal itu.
TGB juga buka kartu bahwa dia sebenarnya sudah menyatakan dukungan kepada Jokowi sejak 2016. Dukungan tersebut sudah disampaikan secara personal kepada Jokowi ketika bertemu di Mataram. Jadi koalisi keumatan dan khususnya PA 212 salah membaca, siapa TGB sesungguhnya.
Kalah jauh
Ibarat sebuah perlombaan lari, Jokowi saat ini sudah jauh meninggalkan lawannya. Dia tinggal menimbang dan memilih siapa cawapres pendampingnya. Sementara kubu koalisi hingga kini belum mempunyai kesepakatan apapun. Jokowi sudah menatap garis finis, kubu oposisi masih berselisih siapa jagoan yang akan diajukan untuk menantangnya.
Prabowo sebagai pemilik kursi terbesar oposisi di DPR hingga kini belum memutuskan dengan siapa dia akan berkoalisi, dan siapa cawapres yang akan digandengnya. Dia masih enggan menerima tawaran PKS untuk memilih salah satu cawapres, Ahmad Heryawan, atau Salim Segaf Al Djufri. Prabowo lebih menginginkan Anies Baswedan sebagai pendampingnya. Usulan yang ditolak PKS, dan juga tidak dikehendaki Anies. PAN juga tampaknya memilih wait and see. Elektabilitas Prabowo yang rendah, dan ketiadaan logistik membuat calon mitra koalisi enggan mendukungnya.
Di tengah ketidakpastian tersebut Prabowo malah membuat manuver yang tidak perlu. Dia bertemu SBY, namun yang agak mengherankan dia juga melakukan pertemuan “rahasia” dengan Puan Maharani.
Pertemuan dengan Puan ini tidak hanya membuat PKS dan PAN bertanya-tanya, tapi juga membuat Demokrat menjadi ragu. Untuk apa Prabowo bertemu Puan yang nota bene salah satu petinggi PDIP? Apakah ada opsi lain yang tengah dia siapkan bila gagal membentuk poros sendiri melawan Jokowi?
Dengan kondisi semacam itu besar kemungkinan koalisi keumatan mengulang kesalahan seperti terjadi di Pilkada Jawa Barat 2018. Mereka kalah, bukan karena musuh yang kuat. Namun kalah karena terpecah belah dan salah memilih kandidat.***
Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/koalisi-keumatan-masih-adakah/