[PORTAL-ISLAM.ID] Ketika 5 wartawan media mainstream, termasuk Tempo, Kompas, datang ke Israel, bertemu dengan PM Netanyahu, saya berkomentar mereka telah melanggar UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Mereka bisa dijatuhi sanksi karena ada pasal-pasal yang dilanggar. Jika hukum ditegakkan, minimal wartawan kelima media itu dijatuhi peringatan keras.
Kenapa?
Pertama, UU No. 37/1999 itu mengatur tentang politik dan hubungan luar negeri yang jelas-jelas mengatur bahwa politik luar negeri kita bebas dan aktif. Di dalamnya kita tegas anti-penjajahan. Israel melakukan pendudukan tidak-sah terhadap Palestina, sampai kini. Israel telah membunuh bangsa Palestina sampai dituduh oleh PBB sebagai ‘tindakan genocide’.
Siapapun dan dalam kapasitas apapun tidak diperkenankan berbicara atas nama Indonesia dengan Israel. Pengecualiannya, apabila kehadiran kita itu menjadi kegiatan PBB, OKI dan sebagainya.
Polugri kita dengan tegas menyatakan tidak akan pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Kondisinya adalah kemerdekaan Palestina. Jika tercapai perdamaian Israel-Palestina, barulah kita bisa mempertimbangkan apakah mau membuka atau terus menutup hubungan diplomatik dengan Israel apabila kita melihat ada perkembangan baru yang mengharuskan.
Kehadiran kita —dalam status dan kapasitas apapun—akan ditafsirkan menjadi dukungan terhadap Israel. Ini sangat melukai hati bangsa Palestina. Ini akan mengejutkan teman-teman kita di Organization for Islamic Cooperation(OIC).
“Bagaimana jika wakil pemerintah, atau pejabat yang melakukan kunjungan dan mewakili Indonesia dalam kegiatan yang diorganisir oleh pemerintah Israel?,” tanya teman-teman di sosial media, menanggapi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) akan hadir di Israel.
Yahya Cholil Staquf anggota Wantimpres yang baru dilantik, diundang the Israel Council on Foreign Relations (ICFR), yang menjadi bagian dari World Jewish Congress (WJC). Yahya diminta menyampaikan kuliah umum berjudul Shifting Geopolitical Calculus: From Conflict to Cooperation Rabu minggu depan (13/8).
“Ini super parah, apalagi beliau menjadi pejabat kenegaraan dalam kapasitas sebagai penasehat Presiden R.I. Ini unacceptable, dan merupakan pelanggaran terhadap asas polugri bebas dan aktif.”
“Kalau wartawan bisa dijatuhi sanksi minimal ditegur, bagaimana dengan rencana keberangkatan anggota Wantimpres?”
Saya jelaskan, dalam sejarah negeri ini kita melakukan pelanggaran terhadap asas polugri bebas dan aktif dua kali. Pertama, ketika kita terlibat dalam poros Jakarta-Pyongyang-Beijing di zaman Bung Karno. Polugri kita melarang Indonesia masuk dalam poros militer apapun.
Kedua, ketika kita menginvasi Timor Timur, di tahun 1975 dan kita banyak sekali kehilangan sahabat di negara berkembang. Kita anti-penjajahan, dan tentu saja kita tidak boleh menginvasi negeri lain, tanpa memiliki dasar hukum internasional yang kokoh.
Maka, kunjungan anggota Wantimpres ke Israel dipandang resmi mewakili pemerintah itu pelanggaran terang-terangan terhadap polugri bebas dan aktif. Ini harus dicegah karena lebih banyak kerusakan yang ditimbulkan daripada manfaatnya. Presiden, minimal Menlu, harus membatalkan kunjungan anggota Wantimpres tersebut.
Kenapa?
Ini pelanggaran serius dan bisa menjadi alasan MPR untuk pemakzulan pemerintah yang seyogianya memegang teguh semua UU yang berlaku di negeri ini, dan terutama prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang anti-penjajahan.
Jangan sampai tiga kali, pesan Trio Ambisi.
Jakarta, 9 Juni 2018
Penulis: Hazairin Pohan
(Mantan Dubes RI untuk Polandia dan wartawan senior)