[PORTAL-ISLAM.ID] Masuk istana, pake sendal, celana pendek dan bawa caping tani. Kasi impresi politisi merakyat. Orang dongo ngga sadar itu trik.
Again, wong cilik terexploitasi. Dijadikan alat kampanye pencitraan. Dresscode macam itu ngga lazim masuk istana di hari biasa. Coba saja. Bisa-bisa dinilai melecehkan simbol negara.
Manuver politik ini gagal saat tersebar foto panen jagung memakai batik. Publik sewot. Seolah dipermainkan. Seolah dianggap dongo semua. "Absurd", kata mereka, "Panen jagung pake batik, masuk istana pake sendal dan celana pendek".
Teknik "seolah-olah" macam begini mungkin bisa disebut "political fakery".
Di era "post-truth", fakta ngga penting. Di belahan dunia tribalisme barat, "fakery" punya target mempermainkan perasaan general public. Objective reality becomes meaningless.
Senada dengan Harry Frankfurt, professor emeritus of philosophy at Princeton University, dalam monographnya; “On Bull----” bahwa fakery worse than lying.
Tapi, mungkin bagi homo stupidus; itu ngga penting.
Penulis: Zeng Wei Jian