[PORTAL-ISLAM.ID] Kondisi masyarakat yang tergambar melalui media sosial, disadari atau tidak, telah mengantar Indonesia menuju sebuah tatanan masyarakat baru
yang mempercayai kebenaran dari sebuah versi saja, versi yang sesuai selera dan keinginan pribadi atau golongan saja.
Kebenaran tak lagi dipandang sebagai sebuah fakta yang harus dihormati, meski berlawanan dengan selera dan opini pribadi.
Kapan semua ini berawal?
Kalau kita semua berani jujur ke diri sendiri, kondisi ini dimulai saat sekelompok buzzer berbayar memasuki ranah maya dan menyerang secara brutal lawan politik dari tokoh penyewa jasa mereka. Kehadiran JASMEV pada periode menjelang Pilgub DKI 2012 menjadi penanda dimulainya kondisi yang oleh pengamat politik Francis Fukuyama disebut sebagai 'post truth society'.
Pada kondisi 'post truth', sepotong informasi hadir dan berdiri sendiritanpa penjelasan, layaknya foto tanpa caption. Semua orang bebas menerjemahkan semua hal yang nampak dalam foto itu, meski tak satu pun yang mengetahui fakta sesungguhnya.
Ketiadaan penjelasan lengkap yang mengiringi munculnya informasi, memicu kemunculan sekelompok massa yang memonopoli penjelasan dan mengklaim penjelasan mereka sebagai kebenaran yang diyakini kebenarannya dan disebarluaskan tanpa melakukan cek validitas. Boom. Informasi yang penjelasannnya dikarang dan dimonopoli satu kelompok saja akhirnya viral dan menggiring massa yang lebih besar untuk mempercayai informasi tadi, meski penjelasan yang diklaim sebagai sebuah kebenaran, belum tentu benar.
Di ranah media sosial, sejak munculnya pasukan cyber milik Jokowi Ahok, beberapa kali kita saksikan potongan informasi yang kerap kali sulit dibuktikan kebenarannya -bahkan cenderung merupakan kabar bohong- menjadi sebuah "fakta" yang diamini bersama.
Kondisi ini kemudian semakin parah menjelang Pilpres 2014 dan mencapai puncaknya melalui penyebaran tabloid Obor Rakyat. Hingga saat ini, masih ada publik yang percaya bahwa Obor Rakyat diproduksi lawan politik untuk menyerang Jokowi.
Kenyataannya, mereka yang berada di balik Obor Rakyat saat ini berkeliaran di Istana dan berakrab ria dengan para penghuninya.
Permainan politik yang kotor serupa ini diperparah dengan munculnya hasutan melalui tokoh bernama Ahok. Dengan gaya pongah, Ahok berkali-kali menunjukkan kemarahan di muka publik. Reaksi publik pun tak terduga. Mereka membalas semua caci maki itu di bilik suara. Dibayar lunas. Ahok keok.
Pasca Ahok dibui, kebencian para pendukungnya kepada Anies, yang menjadi representasi suara Islam, justru meningkat. Seharusnya ini tak perlu terjadi. Kebencian inilah yang mengantar kepada kondisi 'post truth'.
Contoh paling aktual adalah terkait berbagai tudingan terhadap Anies Baswedan yang dimunculkan oleh barisan pendukung Ahok, yang biasanya juga mendukung Jokowi.
Beberapa kasus paling mutakhir misalnya mengenai heboh pohon plastik. Informasi mengenai pohon plastik diunggah oleh pendukung Ahok yang kalap karena kalah. Mereka pun memviralkan informasi tadi agar orang ramai-ramai merisak (membully) Gubernur Anies. Tanpa ampun, mereka menyebut Anies ngawur, bodoh, dan melekatkan ejekan rasis sambil membandingkan kinerja Anies dengan Ahok.
Pendukung Anies pun bereaksi, mereka menganggap hujatan terhadap Anies adalah serangan kepada kelompok muslim.
Belakangan terklarifikasi bahwa pohon-pohon plastik itu sudah ada sejak tiga tahun lalu, dianggarkan di era Ahok dan Anies merasa tidak memperoleh laporan mengenai pemasangan pohon-pohon plastik itu. Kontroversinya terlanjur viral, Anies sudah bonyok babak belur, fakta baru muncul terakhir.
Apakah mereka yang menyerang Anies minta maaf? Tentu saja tidak. Mereka bahkan tidak menghapus postingan dan kicauan mereka.
Masyarakat kita sudah begitu sulit menerima fakta bahwa informasi yang diyakini kebenarannya ternyata bisa salah dan bisa palsu. Masyarakat Indonesia sudah telanjur menjadi "post truth society’.
Jika sempat berselancar di media sosial, ada banyak sekali contoh fenomena ‘post-truth society’ atau mungkin sudah bisa dikelompokkan sebagai ‘post-truth politics’ ini.
Tangkapan layar (screen capture) pembicaraan "private", cuplikan video singkat, foto tanpa caption disebarkan dengan terburu-buru. Sehingga sering kali muncul kesimpulan yang salah, yang setelah diviralkan membuat orang lain memberi reaksi keras, mengejek, menghakimi, merisak, daan..turut memviralkan! Padahal kebenaran versi utuhnya tak pernah ditelusuri.
Contoh "sakitnya" masyarakat 'post truth' bisa pula dilihat dari kabar bohong mengenai Carrefour.
Sebuah akun dengan sengaja mengedarkan tangkapan layar kesaksian sepasang sahabat yang main ke Carrefour Lebak Bulus dan mereka marah karena di pusat perbelanjaan itu diputar lagu ‘2019 Ganti Presiden’.
Tangkapan layar itu menyebar cepat sekali diiringi ajakan memboikot Carrefour oleh akun yang "diyakini" berasal dari kubu Jokowi yang menolak ide 2019 Ganti Presiden.
Muncul pula kabar bohong kematian bocah karena minum Coca Cola saat berbuka puasa di KFC.
Kedua kabar tersebut booming dan viral meski belum ada yang mengecek kebenarannya.
Saat ini, 'post truth' diwarnai psyco war dengan kemunculan akun-akun tanpa identitas yang dengan kalap menyebarkan informasi sangat pribadi melalui aktivitas doxing dan mencampurnya dengan bumbu fitnah. Mereka menyerang lawan politik penguasa dengan brutal dan keji.
Hal ini membuktikan, publik Indonesia tak hanya rawan dimanipulasi oleh kabar bohong tetapi memiliki kemampuan sangat luar biasa untuk menerjemahkan kabar bohong sesuai kepentingan politik dan kepercayaan pribadi.
Pasca ‘post-truth’ kasus video penistaan agama yang dilakukan Ahok dua tahun lalu, 'penyakit' ini makin kronis. Segala hal ditarik pada dua polar kebenaran. Serang Ahok berarti Anda rasis, intoleran dan tak Pancasilais. Mengkritik rezim? Paling sedikit, ditangkap polisi dan dibui. Apesnya, seluruh informasi pribadi diumbar melalui akun siluman. Orang-orang yang selama ini tidak pernah kenal Anda, mendadak menjadi orang yang paling paham mengenai kehidupan privat Anda. Luar dalam!
Anda "dibunuh" meski masih bernyawa.
Kondisi masyarakat kita saat ini mirip dengan kisah para sufi mengenai sekelompok tunanetra yang memegang gajah dan diminta menerangkan pengalaman mereka.
Tunanetra memegang belalainya mengatakan gajah berbentuk panjang. Tunanetra yang memegang ekor mengatakan gajah berbentuk pendek berumbai.
Mereka benar dari versi mereka. Tapi apakah mereka memiliki gambaran dan informasi yang utuh? Jawabnya, TIDAK.
Siapa pun pemimpin Indonesia pasca 2019, ia memiliki tugas besar untuk menyadarkan publik dari kebiasaan menafsirkan kebenaran menurut versi pribadi.
Ia harus berhasil membawa Indonesia keluar dari dari bahaya ‘post-truth' ini.
Pengalaman membuktikan, pemimpin yang saat ini ada dan memegang tampuk sebagai presiden, belum mampu menentramkan masyarakat. Akibatnya, publik terus saling kencang dan saling sikut. Saling berbenturan dan saling cakar. Energi bangsa terkuras habis hanya untuk bertengkar mengenai pepesan kosong karena tak ada lagi ruang untuk menerima kebenaran. Nihil kesadaran untuk mencari dan meneliti kebenaran yang lebih utuh.
Yang paling berbahaya, ‘post-truth’ ini bisa membawa Indonesia ke konflik horizontal yang nyata. Maka kita perlu sangat cermat untuk memilih pemimpin pasca 2019. [*]