Oleh: Radhar Tribaskoro*
SP3 HRS itu adalah bukti bahwa selama ini polisi telah melakukan rekayasa dengan memanfaatkan kekuasaan kepolisian mereka. Rekayasa itu membuktikan lagi bahwa polisi tidak independen, polisi hanyalah alat politik. Membuat perkara atau menutup perkara tidak disandarkan kepada bukti-bukti hukum, melainkan oleh preferensi politik.
Memangnya ada perubahan sikap politik rejim dalam waktu dekat? Saya yakin ada. Rejim Jokowi sedang membuka jalan menuju masa jabatan kedua. Salah satu batu perintang adalah image bahwa rejim itu tidak bersahabat dengan kelompok Islam.
Rejim telah berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa mereka tidak anti-Islam. Mereka mencoba membuktikannya dengan mempromosikan dukungan dari elit NU. Dari sana meluncur sebuah terminologi kelompok Islam baru yang disebut 'Islam Nusantara'. Rejim Jokowi berharap Islam Nusantara akan memperoleh dukungan kuat dari kaum muslimin Indonesia. Dengan cara itu mereka berharap bisa mengasingkan kelompok Islam yang anti-rejim Jokowi. Untuk kelompok terakhir itu muncullah stigma seperti Islam Arab, Islam rongsokan, kaum ontais dsb.
Upaya ini gagal. Kebanyakan kaum muslimin menganggap Islam Nusantara sebagai bagian dari strategi pecah belah dan kuasai (devide et impera) yang dilancarkan oleh rejim Jokowi.
Kaum muslimin yang mengidentifikasi dirinya sebagai Kelompok 212 ini pun tidak bisa diintimidasi melalui aneka UU dan peraturan yang represif. Polisi sekali lagi telah digerakkan untuk menangkapi aktivis-aktivis sosmed dari kalangan Islam yang baru menyusun diri itu. Aktivis-aktivis itu dituduh berkonspirasi makar dan atau menjalankan kerja bayaran dengan menyebarkan hoax. Semua tuduhan itu dibatalkan oleh pengadilan. Kerusakan memang telah terjadi terutama bagi individu yang menjadi korban penangkapan, tetapi massa 212 tidak terintimidasi. Penentangan rejim semakin meluas, terutama setelah muncul tagar #2019GantiPresiden.
REJIM JOKOWI BERUBAH HALUAN
Kegagalan demi kegagalan telah mendorong rejim untuk berpikir-ulang. Mereka siap berubah haluan bila diperlukan. Kebijakan SP3 kasus HRS (Habib Rizieq Syihab) ini menunjukkan bahwa rejim sedang bersiap-siap berubah haluan. Mereka ingin berdamai dengan HRS (dan kelompok Islam yang diwakilinya). Saya tidak heran bila nanti ketika HRS pulang rejim menyediakan karpet merah. Istana akan membuka pintunya untuk pertemuan privat Jokowi - HRS.
Tetapi apakah hal itu akan mengurangi antipati rakyat muslim kepada rejim? Saya meragukannya. Alasannya adalah pertama, pertentangan telah membakar akar rumput dan membentuk persepsi-persepsi dan perspektif-perspektif baru. Sebuah lansekap kekuatan politik baru sedang bangkit. Taktik SP3 tidak akan mempengaruhi sosok yang sedang emergence itu.
Alasan kedua, taktik SP3 itu mendapat perlawanan dari internal rejim sendiri. Kepergian Yahya Staquf ke Israel dapat dilihat sebagai upaya mensabotase harapan Jokowi untuk berdamai dengan HRS. Staquf adalah bagian dari garis keras Islam Nusantara yang merasa tidak mungkin bersanding dengan Islam “wahabi” FPI yang diwakili oleh HRS.
Sekarang Jokowi membawa konflik kedua kubu itu ke dapur rumahnya. Dengan langkah itu Jokowi mungkin bisa meredakan kehebohan di publik. Namun keberhasilan langkah itu tergantung dari kekuatan personal Jokowi sendiri.
Kalau kita melihat dari perspektif sejarah, Jokowi seperti sedang bergaya meniru Soekarno yang berusaha mendamaikan dua kekuatan yang secara ideologis sangat berbeda: tentara (Pancasila) dengan PKI (komunis). Dengan kekuatan pribadinya Soekarno seperti akan berhasil menciptakan kompromi ideologis dan pragmatis dalam Nasakom dan Trisakti. Tetapi akhirnya, kita tahu sendiri bagaimana nasib Soekarno.
Jokowi hanya bisa menyatukan kedua kekuatan ideologi Islam yang secara diametral bertentangan itu dengan mengandalkan kekuatan (intelektual dan diplomasi) dirinya. Kalau Jokowi lemah alias tidak mampu mengatasi perbedaan-perbedaan itu, maka dapurnya akan terbakar. Rumahnya boleh jadi akan musnah.***
(*Sumber: fb penulis)
Link: https://web.facebook.com/radhartribaskoro/posts/10216495145080445