[PORTAL-ISLAM.ID] Di tengah kondisi yang tidak menguntungkan rakyat hari-hari ini, pejabat negara yang bergaji 112 juta sebulan, terasa sangat tidak pancasilais. Lebih tidak pancasilais lagi ketika tugas yang diamanahkan itu adalah untuk membangun masyarakat Pancasila. Tentulah semakin paradoksal. Inkonsisten. Sanktimoni (sanctimonious).
Sebab, pancasilais adalah hidup sederhana. Pancasilais adalah solidaritas terhadap orang susah. Pancasilais adalah penyembunyian segala macam kehebatan duniawi. Pancasilais adalah pengorbanan. Pancasilais adalah “leading by example”. Membimbing dengan keteladanan.
Gaji 112 juta per bulan jelas sekali bukan “leading by example”. Yang Anda lakukan adalah “leading by bad example”. Teladan yang buruk.
Bagaimana Anda akan memberikan kuliah tentang Pancasila ketika Anda menyelisihi semua butir-butir tekstual ideologi yang Anda bela dengan harga mati itu? Bagaimana mungkin Anda bisa menjelaskan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sementara Anda tidak sinkron dengan pesan-pesan Tuhan?
Dari mana Anda akan mendapatkan justifikasi 112 juta per bulan sewaktu Anda duduk di depan khalayak untuk menjelaskan makna “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”? Seriuskah Anda mau menjelaskan tentang keadilan dan keberadaban? Belum tuntaskah kajian Anda tentang dua prinsip yang sakral ini? Entahlah kalau Anda bermaksud “menyegarkan” penafsiran sila kedua Pancasila ini supaya bisa selaras dengan iklim gaji seratusan juta.
Terus, apakah Anda layak tampil untuk membangkitkan semangat Persatuan Indonesia (sila ketiga), ketika audiens Anda bisa menangkap bahwa sesungguhnya Anda tidak sedang menceramahkan kebersamaan yang menjadi modal utama persatuan? Bagaimana Anda bisa memupuk kebersamaan sementara Anda melakukan pengisolasian diri Anda dengan income seratus juta itu? Apakah Anda bisa mengklaim bahwa Anda paham dan menerapkan nilai-nilai kebangsaan ketika orang lain melihat bahwa Anda tidak sebangsa dengan mereka yang tergolong ke dalam “bangsa miskin”?
Dengan gaji 112 juta di tangan, apa yang akan Anda katakan tentang sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”? Kerakyatan macam apa yang akan Anda uraikan di depan pemirsa Anda? Haruskah kita buat tafsir baru tentang kerakyatan supaya selaras dengan gaji besar untuk para pejabat negara?
Terakhir, dan ini yang sangat sensitif, apakah Anda merasa pantas menguraikan makna “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” ketika semua orang yang duduk di depan Anda tahu bahwa Anda tidak melakukan apa yang Anda katakan? Bagaimana cara menjelaskan keadilan sosial pada saat para “guru bangsa” mengesampingkan nilai-nilai prima ini? Bisakah Anda mengucapkan “mari tegakkan keadilan sosial” ketika Anda secara terang-terangan melecehkan prinsip keadilan itu dengan gaji seratusan juta?
Anda mungkin bertanya: tidak bolehkan kami menerima gaji seratusan juta? Semua orang akan menjawab, silakan saja kalau Anda adalah “guru kapitalisme”, “guru individualisme” dan “guru sektarianisme. Itu pun masih harus dipertanyakan.
Jadi, sangatlah kontroversial bila Anda diminta menjelaskan butir-butir luhur Pancasila ketika Anda tidak memiliki kredibilitas untuk mengurusi ideologi yang ideal itu. Anda kehilangan kredibilitas karena, sebagai “guru”, Anda tampil serba kontradiktif. Anda mengajak orang agar berbuat A, sementara Anda sendiri melakukan perbuatan B.
Mengajarkan Pancasila adalah mengajak orang untuk beramal sholih. Mengajarkan Pancasila bukan membimbing orang untuk bisa bersandiwara.
Anda tidak lagi otoritatif untuk menjadi contoh manusia pancasilais ketika Anda lakukan itu dengan cara kerja teatrikal. Anda bersolek dulu supaya kelihatan pancasilais. Anda berpancasila sesuai jadwal pementasan. Inilah yang disebut oleh orang-orang dahulukala sebagai “histrionic”. Dalam hal ini, Anda menguraikan nilai-nilai luhur Pancasila secara histrionik.
Dengan gaji 112 juta di tangan, apa yang akan Anda katakan tentang sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”? Kerakyatan macam apa yang akan Anda uraikan di depan pemirsa Anda? Haruskah kita buat tafsir baru tentang kerakyatan supaya selaras dengan gaji besar untuk para pejabat negara?
Terakhir, dan ini yang sangat sensitif, apakah Anda merasa pantas menguraikan makna “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” ketika semua orang yang duduk di depan Anda tahu bahwa Anda tidak melakukan apa yang Anda katakan? Bagaimana cara menjelaskan keadilan sosial pada saat para “guru bangsa” mengesampingkan nilai-nilai prima ini? Bisakah Anda mengucapkan “mari tegakkan keadilan sosial” ketika Anda secara terang-terangan melecehkan prinsip keadilan itu dengan gaji seratusan juta?
Anda mungkin bertanya: tidak bolehkan kami menerima gaji seratusan juta? Semua orang akan menjawab, silakan saja kalau Anda adalah “guru kapitalisme”, “guru individualisme” dan “guru sektarianisme. Itu pun masih harus dipertanyakan.
Jadi, sangatlah kontroversial bila Anda diminta menjelaskan butir-butir luhur Pancasila ketika Anda tidak memiliki kredibilitas untuk mengurusi ideologi yang ideal itu. Anda kehilangan kredibilitas karena, sebagai “guru”, Anda tampil serba kontradiktif. Anda mengajak orang agar berbuat A, sementara Anda sendiri melakukan perbuatan B.
Mengajarkan Pancasila adalah mengajak orang untuk beramal sholih. Mengajarkan Pancasila bukan membimbing orang untuk bisa bersandiwara.
Anda tidak lagi otoritatif untuk menjadi contoh manusia pancasilais ketika Anda lakukan itu dengan cara kerja teatrikal. Anda bersolek dulu supaya kelihatan pancasilais. Anda berpancasila sesuai jadwal pementasan. Inilah yang disebut oleh orang-orang dahulukala sebagai “histrionic”. Dalam hal ini, Anda menguraikan nilai-nilai luhur Pancasila secara histrionik.
Kalau ini yang terus dilakukan, saya khawatir rakyat miskin jauh lebih pancasilais ketimbang Anda. Mereka tidak memerlukan bimbingan resmi yang membebani keuangan negara. Mereka tidak perlu lembaga yang berisi para eksekutif seratus juta.
Penulis: Asyari Usman