Oleh: IMAM SHAMSI ALI
(Imam Masjid di New York)
Jika berbicara tentang hubungan Yahudi-Muslim, saya berani mengklaim sebagai salah seorang pioneer-nya. Bahkan hubungan Yahudi-Muslim yang kami gagas sejak tahun 2001 di Amerika Serikat menjadi salah satu Pilar dialog Yahudi-Muslim di berbagai negara saat ini.
Membangun hubungan dengan siapa saja, dan dengan agama apa saja, bahkan dengan yang tidak beragama sekalipun merupakan bagian dari ajaran Islam yang mendasar. Keyakinan adalah sesuatu yang ditentukan oleh satu hal yang mendasar; pilihan. Pilihan sendiri (kesadaran) dan tentunya karena dipilih oleh Allah SWT (hidayah).
Karenanya perbedaan keyakinan itu tidak menghalangi seseorang untuk membangun dialog, saling memahami, menghormati dan kerjasama.
Bagi kami umat Islam di dunia Barat, khususnya pasca peristiwa 9/11, realita ini menjadi semakin jelas di hadapan mata kami. Bahwa menjadi kewajiban kami untuk melakukan segala yang memungkinkan bagi terbangunnya sikap saling memahami (mutual understanding) dan kerjasama (partnership) ini.
Tentu tujuan terutama kami adalah untuk mengurangi stigma yang telah lama berkembang di dunia Barat bahwa Islam itu adalah biang permusuhan, kekerasan dan konflik. Kami ingin membalik stigma tersebut menjadi pemahaman umum (publik knowledge) bahwa Islam adalah perdamaian dan sumber ketentraman hidup manusia.
Intinya adalah bahwa dengan dialog dan kerjasama antar umat beragama itu kita bertujuan untuk membangun dunia yang lebih damai, aman, makmur dan berkeadilan.
Di Amerika Serikat salah satu bentuk dialog antar agama yang saya lakukan, bahkan belakangan menjadi “trademark” tersendiri adalah dialog Yaudi-Muslim. Dialog yang unik dan menantang ini telah kami mulai sejak tahun 2001. Tapi intensifikasi dialog ini terjadi di penghujung tahun 2005.
Inisiatif dialog yang kami mulai di kota New York itulah yang melahirkan ragam bentuk kegiatan bersama antara Yahudi dan Muslim. Termasuk berdirinya beberapa organisasi atau kelompok kerjasama antara Yahudi dan Muslim di Amerika dan berbagai belahan dunia.
Kerjasama ini juga telah nampak dalam hal membela hak masing-masing komunitas dalam menghadapi tantangannya. Sebagai misal, di Amerika Serikat Islamophobia dan anti Semitism (Anti Yahudi) sama-sama mengalami peningkatan yang luar biasa sejak terpilihnya Donald Trump.
Untuk Yahudi, sebagai contoh, peristiwa kekerasan yang mereka alami di Eropa dalam bentuk Holocaust adalah hal yang paling menyeramkan. Dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat simbol-simbol Nazis menjadi semakin semarak.
Bagi kami umat Islam tentu tidak perlu lagi disebutkan tantangan-tantangan yang kami hadapi. Singkatnya, jika tahun-tahun sebelumnya Islamophobia ada di pinggir-pinggir jalan, kini Islamophobia dan sentimen anti Muslim itu keluar dari Gedung Putih. Seolah Islamophobia saat ini menjadi bagian dari sistem itu sendiri.
Realita itulah menjadikan kami bekerjasama, membangun solidaritas satu sama lain. Bahkan motto kami dalam dialog dan kerjasama itu adalah “fighting for the rights of the other” (memperjuangkan hak-hak orang lain). Sebab kami yakin, Islamophobia dan anti Semitism adalah dua sisi dari koin yang sama. Beda nama namun satu hakikat.
Atau kerap kali saya sebutkan di mana-mana: “an attack on any is an attack on all”. (Serangan kepada seseorang atau sekelompok hakekatnya adalah serangan kepada semua orang dan kelompok).
Menentang Ketidakadilan
Walaupun kedekatan antara kami dan beberapa komunitas Yahudi di Amerika, saya tetap konsisten dan tidak akan goyah dengan realita lainnya. Bahwa masalah ketidakadilan, kezholiman dan penjajahan tidak akan pernah ditolerir oleh keadaan apapun.
Karenanya ketika sudah bersentuhan dengan masalah Palestina, Jerusalem dan Masjidil Aqsa, prinsip dasar tidak akan berubah. Strategi mungkin dapat disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan umum, tapi prinsip dasar keadilan dan kemerdekaan tidak akan pernah bergeser.
Inilah alasan utama sehingga dari tahun ke tahun undangan Kedutaan Israel di Washington DC maupun Konsulat Jenderal Israel di kota New York untuk berbuka puasa (iftar) selalu saya tolak dengan seribu alasan. Termasuk tahun ini.
Kunjungan Blunder
Langsung saja saya ingin menyatakan bahwa kunjungan dan kehadiran Sekjen NU ke Israel, menghadiri undangan AJC (American Jewish Committee) adalah sebuah “blunder” besar yang sangat berdampak destruktif bagi kepentingan umat, khususnya perjuangan saudara-saudara kita di Palestina.
Kenapa demikian? Berikut saya sampaikan beberapa alasannya:
1. Sangat tidak tepat waktu dan keadaan. Kita tahu bahwa baru saja Donald Trump secara sepihak memberikan keabsahan bagi Israel untuk mencaplok Jerusalem dan mengakuinya sebagai ibukota Israel. Tentu kehadiran seorang tokoh Muslim, pemimpin sebuah organisasi Islam terbesar dari negara Muslim terbesar di dunia seolah menjadi justifikasi tersendiri.
2. Walaupun menyatakan bahwa kehadirannya bersifat personal, kedudukan yang bersangkutan sebagai anggota “Dewan Pertimbangan Presiden” RI memberikan signal seolah Indonesia telah bergeser dari Fondasi dasarnya “menentang semua bentuk penjajahan di atas dunia ini” (UUD 1945).
3. Acara tersebut memang diadakan oleh sebuah organisasi non pemerintah (NGO) bersama AJC. Tapi yang pasti pemerintah Israel kental berada di belakangnya. Hal ini jelas bahwa acara itu sangat bernuansa politik, untuk kepentingan Public Diplomacy Israel. Dengannya Israel ingin bersembunyi dari berbagai pelanggaran hak-hak kemanusiaan, khususnya terhadap warga Palestina.
4. AJC sendiri adalah organisasi non pemerintah yang memang nuansanya sangat kental dalam memperjuangkan kepentingan Israel. Awal berdirinya memang untuk memperjuangkan hak-hak Yahudi di Amerika. Tapi setelah berdirinya negara Israel tujuan AJC berubah haluan untuk membela dan membantu Israel dalam melobi dunia. Maka wajar jika organisasi ini memilih networking internasional yang sangat luar biasa. Bahkan sangat ingin mendirikan cabangnya di Indonesia.
Mengenal AJC (American Jewish Committe)
Setelah dialog dan kerjasama Yahudi-Muslim menjadi sangat intens di Amerika Serikat, AJC tidak ingin ketinggalan kendaraan. Sekitar 2-3 tahun lalu mereka mendirikan sebuah koalisi Yahudi-Muslim dengan nama “Muslim-Jewish Advisory Council”.
Di awal pendirian itu saya termasuk yang dikontak dan diminta masukan untuk pendiriannya. Bahkan saya kemudian mengusulkan agar pendirian koalisi itu jangan bersifat individu. Tapi melalui dua organisasi Yahudi dan Islam yang berkaliber nasional. Disetujuilah kemudian AJC dan ISNA (Islamic Society of North America) sebagai induk organisasi yang membangun kerjasama.
Dari situlah koalisi itu terbentuk. Tidak main-main karena anggota koalisi itu adalah anggota komunitas yang memilki pengaruh besar di masyarakat. Baik dari kalangan tokoh agama (Imam dan Rabbi) maupun kalangan mantan politisi. Salah satunya adalah mantan senator dari Connecticut, Joe Lieberman.
Saya sendiri diminta jadi anggota dari kalangan tokoh Islam Amerika bersama tokoh-tokoh Islam lainnya, termasuk Imam Magid (mantan Presiden ISNA). Saya bahkan sempat mengikuti beberapa pertemuan koalisi ini.
Belakangan saya semakin tahu sepak terjang AJC sebagai organisasi induk dari MJAC Muslim – Jewish Advisory Council. Sejujurnya saya menerima tawaran menjadi anggota itu awalnya karena pertimbangan kepentingan bersama di bumi Amerika.
Belakangan saya semakin sadar ternyata koalisi ini banyak dipakai sebagai bagian dari upaya untuk membangun simpati dan imej positif bagi negara Israel. Sementara ketika saya menanyakan posisi koalisi terhadap berbagai kekerasan di dunia Islam, termasuk Palestina, ditanggapi secara dingin.
Akhirnya semangat untuk ikut berpartisipasi semakin menghilang, dan akhirnya saya hanya menjadi anggota pasif.
Puncaknya ketika saya mengangkat suara mengeritisi sikap Gubernu DKI Jakarta ketika itu, Ahok, dalam berbagai pernyataannya yang cukup menggelitik sensitifitas umat. Oleh Direktur kerjasama Yahudi-Muslim AJC, seorang mantan diplomat Amerika, saya diminta mundur dari keanggotan MJAC.
Saya cukup lama berpikir apa hubungan AJC dan Ahok? Kenapa saya sampai diminta mundur dari keanggotaan karena kristis dengan Ahok? Saya menemukan jawaban lain bahwa AJC ingin partnernya di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, aman dalam meredam suara Islam.
Dan karenanya saya memutuskan untuk memutuskan segala bentuk kerjasama saya dengan AJC. Ini bukan berarti memutuskan kerjasama dengan Yahudi. Karena sampai saat ini saya masih dekat dengan banyak tokoh-tokoh Yahudi Amerika.
Tapi dengan AJC saya tidak ingin lagi terjatuh ke dalam lobang yang sama. Seolah dialog dengan komunitas agama. Tapi kenyataannya dialog dengan tangan kanan penjajah saudara sendiri.
Intinya adalah membangun dialog dan kerjasama dengan Yahudi itu bukan masalah. Bahkan masanya umat Islam pro aktif untuk itu demi terbangunnya dunia yang lebih aman, damai dan sejahtera.
Tapi melakukannya tanpa pertimbangan matang boleh jadi menjadi “blunder” dan bumerang bagi kepentingan umat. Apalagi kalau itu dilakukan tanpa mengetahui secara matang dengan siapa yang menjadi partner dalam dialog dan kerjasama itu. Pastinya adalah AJC itu sebuah organisasi non pemerintah yang tidak saja sangat politis, tapi merupakan perpanjangan tangan Israel untuk mengelabui dunia, termasuk dunia Islam.
Kunjungan (petinggi NU ke Israel) ini bagi Indonesia khususnya saya kira merupakan kemunduran diplomasi yang selama ini tegas menolak Israel dengan berbagai pelanggaran HAM dan penjajahannya terhadap bangsa Palestina. Apalagi dalam kapasitasnya sebagai Penasehat Presiden (Wantimpres), yang jika dipahami dalam konteks Amerika memiliki kedudukan yang sejajar dengan anggota kabinet. Sehingga dengan sendirinya seolah kunjungan ini adalah kunjungan resmi pemerintahan.
Tapi yang terpenting adalah bahwa kunjungan ini dalam berbagai konteksnya nyata menginjak-injak Konstitusi negara yang tugas menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia ini karena tidak sesuai dengan pri keadilan dan pri kemanusiaan.
Lalu bagaiamana pemerintah menyikapinya? Kita lihat saja.
New York, 12 Juni 2018
*Sumber: http://www.cakrawarta.com/kunjungan-yang-blunder.html
Jika berbicara tentang hubungan Yahudi-Muslim, saya berani mengklaim sebagai salah seorang pioneer-nya. Bahkan hubungan Yahudi-Muslim yang kami gagas sejak tahun 2001 di Amerika Serikat menjadi salah satu Pilar dialog Yahudi-Muslim di berbagai negara saat ini.
Membangun hubungan dengan siapa saja, dan dengan agama apa saja, bahkan dengan yang tidak beragama sekalipun merupakan bagian dari ajaran Islam yang mendasar. Keyakinan adalah sesuatu yang ditentukan oleh satu hal yang mendasar; pilihan. Pilihan sendiri (kesadaran) dan tentunya karena dipilih oleh Allah SWT (hidayah).
Karenanya perbedaan keyakinan itu tidak menghalangi seseorang untuk membangun dialog, saling memahami, menghormati dan kerjasama.
Bagi kami umat Islam di dunia Barat, khususnya pasca peristiwa 9/11, realita ini menjadi semakin jelas di hadapan mata kami. Bahwa menjadi kewajiban kami untuk melakukan segala yang memungkinkan bagi terbangunnya sikap saling memahami (mutual understanding) dan kerjasama (partnership) ini.
Tentu tujuan terutama kami adalah untuk mengurangi stigma yang telah lama berkembang di dunia Barat bahwa Islam itu adalah biang permusuhan, kekerasan dan konflik. Kami ingin membalik stigma tersebut menjadi pemahaman umum (publik knowledge) bahwa Islam adalah perdamaian dan sumber ketentraman hidup manusia.
Intinya adalah bahwa dengan dialog dan kerjasama antar umat beragama itu kita bertujuan untuk membangun dunia yang lebih damai, aman, makmur dan berkeadilan.
Di Amerika Serikat salah satu bentuk dialog antar agama yang saya lakukan, bahkan belakangan menjadi “trademark” tersendiri adalah dialog Yaudi-Muslim. Dialog yang unik dan menantang ini telah kami mulai sejak tahun 2001. Tapi intensifikasi dialog ini terjadi di penghujung tahun 2005.
Inisiatif dialog yang kami mulai di kota New York itulah yang melahirkan ragam bentuk kegiatan bersama antara Yahudi dan Muslim. Termasuk berdirinya beberapa organisasi atau kelompok kerjasama antara Yahudi dan Muslim di Amerika dan berbagai belahan dunia.
Kerjasama ini juga telah nampak dalam hal membela hak masing-masing komunitas dalam menghadapi tantangannya. Sebagai misal, di Amerika Serikat Islamophobia dan anti Semitism (Anti Yahudi) sama-sama mengalami peningkatan yang luar biasa sejak terpilihnya Donald Trump.
Untuk Yahudi, sebagai contoh, peristiwa kekerasan yang mereka alami di Eropa dalam bentuk Holocaust adalah hal yang paling menyeramkan. Dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat simbol-simbol Nazis menjadi semakin semarak.
Bagi kami umat Islam tentu tidak perlu lagi disebutkan tantangan-tantangan yang kami hadapi. Singkatnya, jika tahun-tahun sebelumnya Islamophobia ada di pinggir-pinggir jalan, kini Islamophobia dan sentimen anti Muslim itu keluar dari Gedung Putih. Seolah Islamophobia saat ini menjadi bagian dari sistem itu sendiri.
Realita itulah menjadikan kami bekerjasama, membangun solidaritas satu sama lain. Bahkan motto kami dalam dialog dan kerjasama itu adalah “fighting for the rights of the other” (memperjuangkan hak-hak orang lain). Sebab kami yakin, Islamophobia dan anti Semitism adalah dua sisi dari koin yang sama. Beda nama namun satu hakikat.
Atau kerap kali saya sebutkan di mana-mana: “an attack on any is an attack on all”. (Serangan kepada seseorang atau sekelompok hakekatnya adalah serangan kepada semua orang dan kelompok).
Menentang Ketidakadilan
Walaupun kedekatan antara kami dan beberapa komunitas Yahudi di Amerika, saya tetap konsisten dan tidak akan goyah dengan realita lainnya. Bahwa masalah ketidakadilan, kezholiman dan penjajahan tidak akan pernah ditolerir oleh keadaan apapun.
Karenanya ketika sudah bersentuhan dengan masalah Palestina, Jerusalem dan Masjidil Aqsa, prinsip dasar tidak akan berubah. Strategi mungkin dapat disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan umum, tapi prinsip dasar keadilan dan kemerdekaan tidak akan pernah bergeser.
Inilah alasan utama sehingga dari tahun ke tahun undangan Kedutaan Israel di Washington DC maupun Konsulat Jenderal Israel di kota New York untuk berbuka puasa (iftar) selalu saya tolak dengan seribu alasan. Termasuk tahun ini.
Kunjungan Blunder
Langsung saja saya ingin menyatakan bahwa kunjungan dan kehadiran Sekjen NU ke Israel, menghadiri undangan AJC (American Jewish Committee) adalah sebuah “blunder” besar yang sangat berdampak destruktif bagi kepentingan umat, khususnya perjuangan saudara-saudara kita di Palestina.
Kenapa demikian? Berikut saya sampaikan beberapa alasannya:
1. Sangat tidak tepat waktu dan keadaan. Kita tahu bahwa baru saja Donald Trump secara sepihak memberikan keabsahan bagi Israel untuk mencaplok Jerusalem dan mengakuinya sebagai ibukota Israel. Tentu kehadiran seorang tokoh Muslim, pemimpin sebuah organisasi Islam terbesar dari negara Muslim terbesar di dunia seolah menjadi justifikasi tersendiri.
2. Walaupun menyatakan bahwa kehadirannya bersifat personal, kedudukan yang bersangkutan sebagai anggota “Dewan Pertimbangan Presiden” RI memberikan signal seolah Indonesia telah bergeser dari Fondasi dasarnya “menentang semua bentuk penjajahan di atas dunia ini” (UUD 1945).
3. Acara tersebut memang diadakan oleh sebuah organisasi non pemerintah (NGO) bersama AJC. Tapi yang pasti pemerintah Israel kental berada di belakangnya. Hal ini jelas bahwa acara itu sangat bernuansa politik, untuk kepentingan Public Diplomacy Israel. Dengannya Israel ingin bersembunyi dari berbagai pelanggaran hak-hak kemanusiaan, khususnya terhadap warga Palestina.
4. AJC sendiri adalah organisasi non pemerintah yang memang nuansanya sangat kental dalam memperjuangkan kepentingan Israel. Awal berdirinya memang untuk memperjuangkan hak-hak Yahudi di Amerika. Tapi setelah berdirinya negara Israel tujuan AJC berubah haluan untuk membela dan membantu Israel dalam melobi dunia. Maka wajar jika organisasi ini memilih networking internasional yang sangat luar biasa. Bahkan sangat ingin mendirikan cabangnya di Indonesia.
Mengenal AJC (American Jewish Committe)
Setelah dialog dan kerjasama Yahudi-Muslim menjadi sangat intens di Amerika Serikat, AJC tidak ingin ketinggalan kendaraan. Sekitar 2-3 tahun lalu mereka mendirikan sebuah koalisi Yahudi-Muslim dengan nama “Muslim-Jewish Advisory Council”.
Di awal pendirian itu saya termasuk yang dikontak dan diminta masukan untuk pendiriannya. Bahkan saya kemudian mengusulkan agar pendirian koalisi itu jangan bersifat individu. Tapi melalui dua organisasi Yahudi dan Islam yang berkaliber nasional. Disetujuilah kemudian AJC dan ISNA (Islamic Society of North America) sebagai induk organisasi yang membangun kerjasama.
Dari situlah koalisi itu terbentuk. Tidak main-main karena anggota koalisi itu adalah anggota komunitas yang memilki pengaruh besar di masyarakat. Baik dari kalangan tokoh agama (Imam dan Rabbi) maupun kalangan mantan politisi. Salah satunya adalah mantan senator dari Connecticut, Joe Lieberman.
Saya sendiri diminta jadi anggota dari kalangan tokoh Islam Amerika bersama tokoh-tokoh Islam lainnya, termasuk Imam Magid (mantan Presiden ISNA). Saya bahkan sempat mengikuti beberapa pertemuan koalisi ini.
Belakangan saya semakin tahu sepak terjang AJC sebagai organisasi induk dari MJAC Muslim – Jewish Advisory Council. Sejujurnya saya menerima tawaran menjadi anggota itu awalnya karena pertimbangan kepentingan bersama di bumi Amerika.
Belakangan saya semakin sadar ternyata koalisi ini banyak dipakai sebagai bagian dari upaya untuk membangun simpati dan imej positif bagi negara Israel. Sementara ketika saya menanyakan posisi koalisi terhadap berbagai kekerasan di dunia Islam, termasuk Palestina, ditanggapi secara dingin.
Akhirnya semangat untuk ikut berpartisipasi semakin menghilang, dan akhirnya saya hanya menjadi anggota pasif.
Puncaknya ketika saya mengangkat suara mengeritisi sikap Gubernu DKI Jakarta ketika itu, Ahok, dalam berbagai pernyataannya yang cukup menggelitik sensitifitas umat. Oleh Direktur kerjasama Yahudi-Muslim AJC, seorang mantan diplomat Amerika, saya diminta mundur dari keanggotan MJAC.
Saya cukup lama berpikir apa hubungan AJC dan Ahok? Kenapa saya sampai diminta mundur dari keanggotaan karena kristis dengan Ahok? Saya menemukan jawaban lain bahwa AJC ingin partnernya di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, aman dalam meredam suara Islam.
Dan karenanya saya memutuskan untuk memutuskan segala bentuk kerjasama saya dengan AJC. Ini bukan berarti memutuskan kerjasama dengan Yahudi. Karena sampai saat ini saya masih dekat dengan banyak tokoh-tokoh Yahudi Amerika.
Tapi dengan AJC saya tidak ingin lagi terjatuh ke dalam lobang yang sama. Seolah dialog dengan komunitas agama. Tapi kenyataannya dialog dengan tangan kanan penjajah saudara sendiri.
Intinya adalah membangun dialog dan kerjasama dengan Yahudi itu bukan masalah. Bahkan masanya umat Islam pro aktif untuk itu demi terbangunnya dunia yang lebih aman, damai dan sejahtera.
Tapi melakukannya tanpa pertimbangan matang boleh jadi menjadi “blunder” dan bumerang bagi kepentingan umat. Apalagi kalau itu dilakukan tanpa mengetahui secara matang dengan siapa yang menjadi partner dalam dialog dan kerjasama itu. Pastinya adalah AJC itu sebuah organisasi non pemerintah yang tidak saja sangat politis, tapi merupakan perpanjangan tangan Israel untuk mengelabui dunia, termasuk dunia Islam.
Kunjungan (petinggi NU ke Israel) ini bagi Indonesia khususnya saya kira merupakan kemunduran diplomasi yang selama ini tegas menolak Israel dengan berbagai pelanggaran HAM dan penjajahannya terhadap bangsa Palestina. Apalagi dalam kapasitasnya sebagai Penasehat Presiden (Wantimpres), yang jika dipahami dalam konteks Amerika memiliki kedudukan yang sejajar dengan anggota kabinet. Sehingga dengan sendirinya seolah kunjungan ini adalah kunjungan resmi pemerintahan.
Tapi yang terpenting adalah bahwa kunjungan ini dalam berbagai konteksnya nyata menginjak-injak Konstitusi negara yang tugas menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia ini karena tidak sesuai dengan pri keadilan dan pri kemanusiaan.
Lalu bagaiamana pemerintah menyikapinya? Kita lihat saja.
New York, 12 Juni 2018
*Sumber: http://www.cakrawarta.com/kunjungan-yang-blunder.html