[PORTAL-ISLAM.ID] Kurang dari sebulan menjelang pilkada serentak yang akan diselenggarakan pada tanggal 27 Juni 2018, publik dihentakkan dengan ditemukannya karungan ktp elektronik yang ditemukan jatuh berserakan di daerah Bogor, serta temuan pabrik penyimpanan e-KTP yang menurut viral berita mainstream adalah tempat menaruh e-KTP rusak dan usang.
Entah bagaimana awal muasal ceritanya sehingga e-KTP tersebut bisa terjatuh dan berceceran dijalanan, kemudian entah bagaimana asal muasal ceritanya e-KTP yang katanya barang rusak tersebut bisa disimpan sedemikian lamanya di sebuah gudang dan baru diketahui publik menjelang pilkada serentak akan dilaksanakan? Ada agenda apa sebenarnya ini? Dan siapa yang membuat agenda terselubung tersebut.
Di sini saya ingin membahasnya agak sedikit berbeda dari analisa kebanyakan orang yang banyak beredar di dunia maya maupun, ulasan para pengamat lainnya yang berkembang saat ini. Salah satunya dari ilmu intelijen yang hampir tidak ada analisa dari banyak pengamat dan pemerhati yang ada, “menyangkut terjatuhnya karung e-KTP dibogor serta ditemukannya gudang penyimpanan e-KTP rusak”.
Terlihat jelas adanya suatu pengkondisian atau semacam pra-kondisi yang sifatnya sangat sistematik dan menjadi “potensi gangguan” keamanan negara. Ketika awal penemuan dua karung e-KTP yang terjatuh beberapa waktu yang lalu di daerah bogor sampai ditemukannya sebuah gudang tempat penyimpanan e-KTP usang atau rusak tersebut, yang katanya berada di gudang milik kementrian dalam negeri tersebut.
Kemudian setelah ditemukan karung e-KTP dan gudang lantas menjadi semacam “snow ball”, yang menggelinding jauh dan menjadi santapan media massa, baik cetak maupun elektronik. Yang pada akhirnya isu e-KTP ini dibawa lari kepada persoalan politik, salah satunya yaitu; “dengan adanya keinginan penundaan jadwal pilkada serentak, serta akan adanya potensi kecurangan pilkada yang akan dilaksanakan secara serentak di 27 Juni 2018 nanti”.
Jelas sudah isu ini menggelinding dan telah menjadi “ancaman gangguan”, yang sengaja didesain serta digoreng oleh pihak penguasa sebagai alat atau proses menebar ancaman dan ketakutan di masyarakat, sekaligus sebagai alat ukur pembenaranan rezim pemerintah pusat untuk menunda pilkada yang akan dilakukan secara serentak tersebut. Karena apabila pilkada serentak tersebut dilanjutkan, sangat rentan untuk terjadi Chaos, sebagai dampak dari ditemukannya e-KTP tersebut.
Mungkin pendapat saya terlalu prematur, karena sampai hari ini memang belum ada “gangguan nyata”, sebagai akibat atau dampak penemuan karungan e-KTP dan gudang penyimpanan e-KTP tersebut. Akan tetapi secara politis hal tersebut telah menimbulkan kegaduhan politik yang luar biasa antara pihak eksekutif dengan legislatif, serta kegaduhan dilevel masyarakat luas dalam hal ini grass-rooth.
Secara pribadi saya melihat penemuan gudang e-KTP ini sebagai suatu “Klandestin”, yang paling komplek dan rumit, karena sepertinya penemuan ini sengaja digulirkan. Secara umum penemuan e-KTP telah sangat dikondisikan atau kemungkinan besar ini bisa didefinisikan sebagai suatu gerakan rahasia, atau gerakan bawah tanah (operasi senyap), atau bisa juga sekaligus disebut sebagai sebuah upaya penggalangan, atau mobilisasi dengan tujuan tertentu agar terblow’up secara luas dan menjadi episentrum perhatian publik.
Klandestin dalam penemuan e-KTP juga dibarengi dengan infiltrasi (penyusupan). Dalam infiltrasi tersebut, sepertinya ada orang yang sengaja menjatuhkan dua karung e-KTP dan kemudian masuk sampai ke gudang yang merupakan tempat ditemukannya ribuan blanko e-KTP tersebut. lalu skenario gaduh pun di mulai dengan sangat terstruktur rapi.
Disini terlihat jelas penciptaan rencana yang begitu matang, Karena adanya upaya untuk menggunakan segala fasilitas yang memungkinkan, melibatkan banyak instrumen, adanya penggunaan sarana birokrasi, memanfaatkan indoktrinasi media dan membuat berbagai opini di media sosial, agar tercipta mainset berfikir di masyarakat akan ada suasana chaos sebagai dampak dari penemuan gudang e-KTP ini, serta adanya suasana untuk menciptakan chaos di internal pemerintah, serta penggunaan data statistik tentang e-KTP baik oleh personal maupun kelembagaan.
Dari hasil analisa diatas saya melihat adanya sebuah kegiatan yang di desain dengan sangat rapi dan sangat terstruktur untuk tujuan tertentu yaitu 5W+1H (What, Who, Where, When, Why, dan How)?. Yang jelas ending dari persoalan ini adalah agar tercipta suasana tidak kondusif, mencekam dan menakutkan yang berujung chaos didalam pilkada nanti.
Pilkada mana yang akan terjadi chaos? Sepertinya bukan di jawa-barat, karena jabar menjadi tempat ditemukannya gudang e-KTP tersebut, jadi karena sebab itulah kelompok terlatih ini enggan memulai konflik dan polemik di jawa-barat dan akan dengan legowo melepaskan jawa-barat. Apakah jawa-tengah? Sepertinya jawa-tengah persaingan dua kandidat masih 50:50 atau berimbang, dan potensi untuk kisruh di jateng relatif masih bisa dikendalikan, karena tuan presiden berasal dari jawa tengah dan oleh karena itu daerah tersebut bisa dibilang aman terkendali.
Lalu bagaimana dengan jawa-timur? Apakah akan terjadi benturan atau chaos disana!! Kemungkinan konflik disana sangat besar, salah satu faktor yang menjadi penyebabnya adalah karena adanya persoalan historis yaitu; “kisah perang saudara kerajaan majapahit (perang paregreg) dan pecahnya perang saudara kerajaan singhasari”. Selain itu beberapa waktu yang lalu saya mendapat informasi adanya pemindahan napi kasus narkoba ke sejumlah lapas di jawa-timur. Untuk tujuan apa pemindahan para napi tersebut? Salah satunya terjadi karena over kapasitas lapas.
Agak sulit memang dalam membuat analisa dari paradigma intelijen tentang penemuan dua karung e-KTP serta gudang penyimpanan e-KTP tersebut, karena memang harus ada data yang akurat dan informasi yang menunjang terhadap adanya suasana cipta kondisi, akan terjadinya benturan dalam pilkada di jatim tersebut. Sebab secara historis di jawa timur itu pernah terjadi peperangan seperti yang saya jelaskan diatas tersebut.
Untuk itu sebaiknya persoalan penemuan gudang e-KTP ini harus disikapi dengan sangat matang oleh para pejabat publik, khususnya kelompok oposisi tidak boleh terburu-buru dalam membuat statement di ruang publik, agar tidak terjadi kegaduhan yang lebih dalam di masyarakat, karena memang tujuan penemuan gudang ini adalah agar kegaduhan terus meningkat dalam segi eskalasi.
Disisi ini, saya melihat dibutuhkan kedewasaan berfikir semua pihak dalam melihat persoalan ini secara konfrehensif, agar pilkada tetap berjalan sesuai rencana dan meminta kepada para relawan dan partai politik untuk menghindari konflik yang bisa berdampak pada konflik horizontal, karena ada pihak yang sepertinya memang ingin membenturkan pilkada 2018 agar terjadi chaos di daerah jawa dengan populasi penduduk yang begitu padat.
Sebagai pesan penutup, semoga saja ditahun politik ini, di masa pilkada serentak 27 Juni 2018 dapat berjalan dengan kondusif dan aman, sehingga tahun 2019 bangsa ini bisa keluar dari segala kesulitan dan permasalahan yang terjadi, yaitu dengan berjalannya estafet suksesi pergantian kepemimpinan nasional.
Penulis: Pradipa Yoedhanegara