[PORTAL-ISLAM.ID] Saya mau tulis sedikit soal Peran Oposisi yang oleh pendukung pemerintah di jagat netizen dianggap bermasalah.
Pemikiran ini pernah saya tulis dulu. Tapi bagus saya segarkan kembali. Saya ingin bikin tenang pendukung pemerintah. Sebab oposisi itu niscaya dalam demokrasi.
Kritik buzzer pemerintah agar Peran Oposisi lebih konkret perlu dijawab secara filosofis dan juga konkret. Dan secara filosofis saya sudah pernah jawab tentang sistem terbuka.
Dan perlunya pelembagaan oposisi sebagai cara memperkuat sistem demokrasi kita. Coba kita lihat.
Oposisi utama dalam sistem demokrasi kita adalah Trias Politika. Prinsip saling periksa dalam cabang-cabang kekuasaan.
Artinya, dalam demokrasi telah dibangun mekanisme saling kontrol (Check And Balances). Sehingga eksekutif-legislatif-judikatif berjalan seimbang.
Pertanyaanya, “Apakah pengelola negara khususnya presiden mengerti bahwa sistem ini harus dibangun?”
Pertanyaannya lagi, “Apakah sadar bahwa mekanisme saling kontrol harus diperkuat?“
Ini pertanyaan bagi kepala negara sebagai penjaga sistem.
Sebab saya melihat presiden di Indonesia sering salah membaca & mengatur sistem.
Ada anggapan bahwa semakin banyak parpol masuk kabinet akan bagus bagi pemerintahan. Ini tesis yang keliru. Juga tidak demokratis.
Dalam presidensialisme seharusnya presiden bebas memilih siapa saja menjadi anggota kabinet.
Karena sebagaimana namanya, sistem ini memberikan hak prerogatif kepada presiden untuk membentuk pemerintahan.
Kalau presiden diberi hak prerogatif oleh konstitusi, kenapa ia harus berkompromi dengan parpol?
Sebab siapapun yang dianggap paling kompeten menjadi menteri itulah yang harus dipilih. Bukan karena dia akan menjamin loyalitas parpol.
Tetapi, memang ada kesalahan memahami definisi sistem presidensialisme. Sehingga presiden selalu merasa tidak independen dari parpol.
Sedangkan dalam sistem ini, presiden telah didisain untuk tidak mudah jatuh oleh parpol.
Akibatnya presiden mengajak sebanyak mungkin parpol dalam kabinet. Jadilah seperti sekarang ini hampir semua parpol merasa berhutang budi pada presiden.
Akibat lanjutannya adalah mandulnya DPR. Setiap mau kritik pemerintah ditegur. Apalagi menyentuh presiden.
Itulah yang menjelaskan kenapa hak-hak DPR jarang dipakai, apalagi hak penyelidikan seperti hak angket.
Semuanya karena parpol selalu melarang anggotanya kritis kepada presiden akibat jatah menteri yang didapat.
Sekarang kembali kita bertanya, “Apakah pemerintah mau melembagakan Peran Oposisi yang lebih efektif? Apakah presiden mau mengembalikan DPR sebagai kamar independen pengawas pemerintah?
Dari awal pemerintah ini ingin sekali agar semua partai mendekat.
Bahkan beberapa partai mengalami kemelut internal yang tidak selesai bahkan sampai sekarang, semua gara-gara keterlibatan pemerintah dalam mencari pendukung.
Sekarang, setelah semua parpol akhirnya menjadi pendukung pemerintah, parpol akhirnya dianggap oleh publik sebagai kaki tangan yang loyal sehingga kritik masyarakat tidak tersalurkan.
Publik akhirnya mencari cara sendiri.
Ramainya “oposisi liar” kepada pemerintah berkuasa adalah akibat kegagalan melakukan “pelembagaan oposisi” karena sejak awal pemerintah sinis dengan Peran Oposisi lalu mematikannya dengan cara yang salah: stick and carrot.
Maka, itulah yang sekarang terjadi. Buzzer-buzzer nampak kewalahan. Lalu menuntut oposisi lebih profesional.
Padahal, ini semua akibat dari pengelolaan. Ini cermin kegagalan. Sekian.
Sumber: fahrihamzah