[PORTAL-ISLAM.ID] Buya Hamka mengatakan “Jika ingin hidup selamanya (abadi) maka menulislah”. Ya seorang penulis memang hanya fisiknya yang mati, tetapi jiwa dan semangatnya tetap hidup abadi dalam karya-karya tulisnya. Karena itu, untuk mengenal sosok sang proklamator Bung Karno dan Bung Hatta, pelajarilah buku-buku karyanya, karena kerakter dan jiwanya menjelma dan hidup dalam karya-karya tulisnya.
Hampir seluruh tulisan-tulisan pak Yudi Latif di Harian Kompas saya baca. Dari tulisan-tulisan pak Yudi Latif nampak terganbar kalau ia seorang idealis, nasionalis, dan moralis. Ia tokoh muda yang memiliki komitmen nurani mengkritisi bangsanya jika melihat, mendengarkan dan merasakan ada sesuatu yang keliru dalam membawa laju mobil besar bernama Indonesia.
Bisa jadi jiwa idealis, nasionalis, dan moralis inilah yang membuat ia bersedia bergabung dalam Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila atau disingkat UKP-PIP satu tahun lalu, yang kemudian berubah menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Karena sebagai Kepala BPIP tentu pak Yudi Latif bisa lebih leluasa melakukan gerakan moral membumikan lagi nilai-nilai Pancasila di segala lapisan masyarakat.
Namun kenapa pak Yudi Latif mengundurkan diri di tengah maraknya perdebatan tentang gaji yang diterima pejabat BPIP yang mencapai angka ratusan juta sebulan. Tidak ada yang mengetahui alasan sesungguhnya kenapa pak Yudi Latif mengundurkan diri, karena hampir bisa dipastikan alasan yang muncul ke publik biasanya menggunakan bahasa politik yang bersayap.
Untuk tidak membingungkan diri, saya melakukan dialog imajiner dengan pak Yudi Latif kenapa mengundurkan diri dari Kepala BPIP jabatan setingkat menteri? Apakah mungkin pak Yudi Latif melihat bahwa beban kerja BPIP terlalu berat baginya sebagai seorang idealis, nasionalis dan moralis. Ia tidak ingin seperti agenda MPR Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara (UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) yang hampir tidak memiliki dampak dalam menumbuhkan nilai-nilai dasar pancasila dalam jiwa anak-anak negeri, sementara dana yang sudah dihabiskan tidak sedikit.
Nampaknya setahun perjalanannya sebagai Kepala UKP-PIP belum mampu menciptakan gerakan masif untuk membumikan nilai-nilai dasar Pancasila di kalangan anak bangsa. Apakah ini yang membuatnya ragu kalau 36 butir Pancasila sulit lagi terpatri dalam jiwa setiap warga bangsa kalau hanya dilakukan secara temporer.
Mungkin Pak Yudi Latif menyadari bahwa sejatinya kalau pemerintah memang mempunyai niat suci mensosialisasikan dan menegakkan kembali nilai-nilai dasar Pancasila ke seluruh lapisan masyarakat khususnya generasi muda, bukan BPIP yang dibutuhkan. Karena jangan nanti program BPIP serupa tetapi tidak sama dengan program MPR yang melakukan sosialisasi empat pilar berbangsa hanya di tempat-tempat tertentu tanpa menyentuh pembentukan kerakter manusia di level pendidikan paling dasar.
Karena rasanya susah menanamkan nilai-nilai dasar Pancasila ke dalam jiwa anak-anak bangsa kalau hanya menghimbau dan menganjurkan lewat seminar atau media televisi, tanpa mendesain ulang sistim pendidikan yang sudah dikapitalisasikan.
Pak Yudi Latif mungkin mengetahui bahwa yang perlu dilakukan pemerintah adalah menugaskan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera merekontruksi ulang sistem pendidikan di Indonesia yang berbasis pengamalan nilai-nilai dasar Pancasila. Sehingga sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi tetap berjalan di atas rel lima sila dan 36 butir Pancasila. Inilah jati diri pendidikan yang berkarakter di Indoneia, tidak lebih dan tidak kurang.
Apakah mungkin dialog imajiner ini sama yang dipikirkan pak Yudi Latif sampai harus mengudurkan diri dari jabatan setingkat menteri Kepala BPIP. Tentu tidak, tetapi tidak juga salah semua dialog imajiner ini.
Masih banyak yang ingin dibahasakan, namun sayang dialog imajiner ini terhenti ketika tiba-tiba ingat pernyataan Bung Hatta yang mengatakan “setiap jaman akan menemukan pemimpinnya”.
Lalu apakah jaman now ini sudah menemukan pemimpin muda visioner bernama Yudi Latif? Hanya waktu yang bisa menentukan. Namun yang pasti Sipil Institut semakin jatuh cinta sama sosok Yudi Latif yang mengembalikan jabatan disaat orang-orang mencari dan berburu jabatan. (Salam Kebhinnekaan : bersatu dalam perbedaan, bersama dalam keragaman).
Penulis: Ruslan Ismail Mage