Masih Patutkah RI Mempercayai IMF ?
(Jokowi Berpotensi Alami Nasib Serupa Soeharto)
Oleh Derek Manangka*
(Wartawan senior)
Adakah yang tahu, berapa banyak negara di dunia yang berhasil menjadi negara maju – berkat konsep bantuan IMF (International Monetary Fund – Dana Moneter Internasional ) ?
Jawabannya, minim bahkan mungkin tidak ada sama sekali.
Bahkan ada kecenderungan, bantuan IMF lebih banyak “merusak” sebuah negara dan sekaligus menghasilkan negara gagal.
Pengalaman bangsa-bangsa Afrika merupakan salah satu contohnya.
Dari 54 negara yang ada di benua kedua terbesar di dunia tersebut, saat ini terdapat setidaknya separuh dari jumlah itu, tetap menjadi negara miskin.
Jauh lebih miskin dari Indonesia.
Yang menjadi ironi, sebelum berubah status sebagai negara miskin, negara dimaksud merupakan negara yang potensil. Karena memiliki kekayaan Sumber Daya Alam yang menjanjikan.
Punya kekayaan alam yang menjanjikan tapi kemudian kekayaan alam itu menjadi sumber pertikaian lokal.
Kaum elit terus berkelahi. Sebab ada penguasa yang setelah berkuasa, tidak mau turun.
Penguasa yang tidak mau turun, biasanya karena tergoda oleh kekuasaan yang enak tenan. Dari sini tak jarang sang penguasa terjebak dalam kesempatan untuk bisa melakukan korupsi. Dan yang dikorupsi itu antara lain berasal dari bantuan asing, utamanya IMF atau saudara kembarnya Bank Dunia (World Bank).
IMF dan Bank Dunia tidak peduli atas nasib bantuannya dikorupsi penguasa atau dimasukkan ke deposito di bank Swiss.
Yang penting negara yang menerima pinjaman ini, akan terus terikat dan berhutang pada IMF dan Bank Dunia.
Tak jarang pertikaian anta relit itu berujung pada Perang Saudara. Sesama warga bangsa, saling membunuh.
IMF bukanlah negara yang menciptakan perang. Atau lembaga yang membantu pembunuhan.
Tetapi IMF dengan bantuannya, biasanya menjadi pemicu. Tanda-tandanya, inflasi, ketidak mampuan rakyat hidup sesuai penghasilannya dan termasuk ledakan pengangguran.
Bantuan IMF sepintas sangat bermanfaat. Tapi tak jarang, sebagian dari bantuan itu kembali lagi ke Washington untuk membayar kompensasi fee bagi para konsultan IMF.
Bantuan IMF itu biasanya dikemas dalam berbagai konsep ekonomi dan keuangan, yang rapih.
Yang bisa mengerti atau memahami konsep tersebut hanayalah ekonom lulusan Amerika.
Selebihnya, tak ada yang paham. Termasuk Presiden.
Alhasil bantuan IMF itu, hasilnya tak terwujud.
Indonesia sendiri, merupakan salah satu nasabah IMF.
Tapi mari kita bicara fakta dan berkaca secara jujur. Justru IMF yang memperparah kerusakan ekonomi Indonesia.
Kita terus diindoktrinasi bahwa berhutang dalam jumlah yang banyak, merupakan hal yang biasa. Tidak membahayakan masa depan generasi pengganti.
Masih ingat peristiwa 15 Januari 1998. Presiden Soeharto begitu percaya kepada IMF sebagai “dewa” penolong. IMF dianggap bisa menyelamatkan krisis moneter saat itu.
Merespon tawaran bantuan IMF, Presiden Soeharto menyetujui semua persyaratan yang ditetapkan oleh IMF.
Itulah yang menyebabkan Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998 disaksian Michael Camdessus, Direktur Pelaksana IMF, menandatangani MoU.
Tapi setelah Indonesa menjalankan semua permintaan IMF, hasilnya, krisis moneter terus memburuk, ditandai oleh merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika.
Krisis yang dimaksud seperti penutupan sejumlah bank dan dikucurkannya bantuan bagi bank-bank yang bermasalah.
IMF minta agar Indonesia membentuk IBRA (Indonesia Bank Reconstruction Agency – BPPN, Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Indonesia patuh.
Tapi hasilnya tidak seperti yang tertuang dalam konsep.
Kemerosotan rupiah dan kerusakan ekonomi ini, berujung pada merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Presiden Soeharto. Bekas Pangkostrad itu dinilai rakyat tak mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis yang mematikan.
Akhirnya empat bulan setelah penanda-tanganan MoU dengan IMF, Soeharto yang dikenal sebagai salah seorang pemimpin terkuat di Asia, mengundurkan diri dari jabatan Presiden. Tanpa paksaan.
Persoalannya, pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998 itu, akhirnya tak menyelesaikan masalah.
Sudah 20 tahun Soeharto mengundurkan diri, dan hingga saat ini, keadaan ekonomi dan moneter Indonesia, seperti kembali ke situasi tahun 1998.
Sejarah berulang kembali. L’histore se repeat, kata orang Prancis.
Nilai tukar rupiah teradap dolar Amerika, terus merosot.
Tapi pejabat-pejabat IMF baik yang datang ke Jakarta maupun yang berada di Markas Besar Washington, terus membuat pernyataan yang optimis tentang situasi Indonesia.
Seperti yang dilakukan Direktur Pelaksana IMF, Christine Lafarge. Wanita berkewarganegaraan Prancis ini, terus memuji kinerja Presiden Jokowi. Sekalipun rakyat jelata banyak yang merasa, belum waktunya performa seorang Jokowi sebagai Presiden, di bidang ekonomi, dipuji.
Direkrut IMF itu bahkan memprediksi, perekonomian Indonesia di tahu 2019 akan lebih baik.
Tapi pernyataan ini sekalipun membodohi masyarakat (Indonesia), tetap diamini oleh lingkar kekuasaan.
Nilai tukar rupiah yang juga melemah seperti tahun 1998, tidak mereka pandang sebagai sebuah sinyal buruk.
Hanya orang yang tidak waras yang masih percaya atas peryataan pujian IMF.
Jangan kaget, jika kondisi dolar dan perekonomian terus memburuk, Presiden Jokowi pun bisa mengalami nasib serupa Presiden Soeharto.
Mundur atau dimundurkan secara tak bermartabat.
Jika ini terjadi, maka jaminan apapun yang diberikan oleh IMF, Bank Dunia, termasuk Amerika Serikat yang mendukung pemerintahan Presiden Jokowi, itu semua hanya sebatas jaminan.
Realisasinya, belum tentu demikian.
Soeharto, Marcos (Filipina), Lon Nol (Kamboja), Nguyen Van Thieu (Vietnam) merupakan contoh-contoh Presiden yang mendapat jaminan dan bantuan Amerika.
Tapi pada akhirnya Amerika pula yang mencabut atau meralat jaminan tersebut.
Negara-negara yang dipimpin para Presiden itu, hingga sekarang masih terus bergelut dengan berbagai kesulitan. Sementara IMF, Bank Dunia dan Amerika sebagai penjamin, sebenarya sudah tak ada kepedulian.
___
Sumber: fb penulis