[PORTAL-ISLAM.ID] Gerakan kelompok Asal Bukan Jokowi (ABJ) tak dapat dibendung. Makin lama makin membesar. Salah satunya hashtag #2019GantiPresiden. Sudah mulai kepung istana. Dibiarkan, terus membesar. Dilarang, makin cepat besarnya.
Elektabilitas Jokowi diprediksi akan terus turun. Tak dapat ditahan. Kelompok ABJ tak berhenti bergerak. Terus mengambil posisi dan masif melakukan serrangan.
ABJ mirip gerakan massa yang liar dan natural. Tak terkordinir. Tapi punya isu dan tujuan yang sama #2019GantiPresiden.
Istana panik, pasti. Gerakan ABJ merepotkan tim Jokowi untuk membendungnya. Jika gelombang #2019GantiPresiden terus membesar, tak menutup kemungkinan akan jadi anti klimaks.
Operasi kaos putih di CFD gagal mengganti kaos #2019GantiPresiden. Kabarnya ada 1200 kaos disiapkan. Siapa yang nyiapin? Satpol PP? Ah, gak mungkin. Gak punya anggaran. Pasti ada orang lain. Pemprov? Lebih tak mungkin lagi. Mereka yang ada di CFD adalah para pendukung Gubernur dan Wakil Gubernur. Lalu, kelompok mana? Pikirkan sendiri.
ABJ semakin kreatif melakukan serangan. Tak berhenti. Melalui semua lini. Media mainstream tak kompromi, medsos jadi sarana tak kalah efektif. Kelompok ABJ mengoptimalkan penggunaan medsos. Facebook, WA, Tweeter, dan Instagram jadi sarana menggalang massa yang sangat efektif. Bisa digunakan 24 jam.
Setiap persekian detik ABJ menembakkan peluru-pelurunya di medsos. Sangat beragam. Ada kaos, spanduk, mug, tas, pepsodent, aplikasi gojek online, ATM, sampai meme, video dan foto-foto CFD. Dari Aceh sampai Papua. Bahkan juga dari sejumlah negara. Semuanya satu suara: #2019GantiPresiden. Terbukti, peluru-peluru itu sangat tajam mengarah ke istana. Efektif menggoyang elektabilitas penghuni istana.
Ada empat isu besar yang dijadikan narasi saat peluru itu ditembakkan. Pertama, isu ekonomi. Rakyat merasakan hidup sulit. Setelah subsidi dicabuti, rakyat dikejar pajak, daya beli melemah, kehidupan dirasa makin susah.
Kedua, isu banjirnya tenaga kasar dari China. Semakin dibantah, makin jelas datanya. Semua orang ngomong buruh China. Bahkan, pihak imigrasi menemukan kampung China di hutan. Tak bisa ditutup-tutupi. Ternyata bukan hoaxs. Sudah pukuhan ribu buruh China didatangkan. Dan terus mengalir deras, karena teken kontrak sudah dibuat bersamaan dengan ketergantungan hutang negara ke China yang semakin besar.
Ketiga, ketidakadilan hukum. Publik curiga. Kenapa penangkapan sejumlah ulama dan aktivis tanpa proses hukum. Habib Rizieq dijerat 17 kasus. Waktunya super singkat. Menjelang pilpres, satu persatu kasus Habib Rizieq mulai di SP3 kan. Ada apa? Publik makin curiga, kok hukum begitu rapuh? Tak bisa disalahkan jika publik menduga, ada permainan. Tepatnya, ada intervensi. Hukum tak lagi independen.
Keempat, isu janji-janji Jokowi. Tak kalah beratnya untuk bisa di atasi. Ada jejak digital terhadap 66 janji Jokowi. Satu persatu mulai diingat dan ditagih publik. Sementara, 2019 mesti buat janji lagi. Meme-meme mulai beredar. Narasinya berupa pertanyaan: janji yang lama gak dipenuhi, mau janji lagi?
Empat isu di atas yang terus menerus disuarakan dalam hashtag #2019GantiPresiden akan berpengaruh terhadap elektabilitas istana. Jika elektabilitas Jokowi terus runtuh, maka secara otomatis mengancam empat pilar kekuasaan istana. Empat pilar itu adalah partai koalisi, pemilik modal, media dan aparat hukum. Orang bilang oknum. Tepat sekali.
Pertama, rasionalitas partai hanya akan mendukung penenang. Diprediksi menang, dukung. Estimasi kalah, tinggalkan. Balik kanan dan ucapkan: Goodbye.
Manuver PKB untuk zig zag cari capres alternatif di luar Jokowi dipahami publik sebagai pertanda akan robohnya satu pilar istana. Apa yang dilakukan PKB disebabkan karena elektabilitas Jokowi tak aman. Di bawah 40%, bagi incumbent itu tak aman.
Begitu juga dengan PAN. Dukung istana, Amin Rais ancam Konggres Luar Biasa (KLB).
Langkah PKB dan PAN hampir pasti diikuti oleh partai-partai koalisi yang lain, terutama Golkar dan PDIP jika elektabilitas Jokowi tak bisa diselamatkan.
Kedua, konglomerat. Proses politik kita sarat logistik. Hanya para pemilik modal yang mampu menyiapkan peluru. Kabarnya, mereka mulai cari calon alternatif. Lobi-lobi sudah mulai dilakukan di luar istana. Ini tanda, pilar kedua istana juga terancam roboh.
Ketiga, media. Hitam putihnya kekuasaan bergantung kepada media. Hampir semua fakta bisa dicover oleh opini yang dikelola media. Media menjadi sumber opini yang paling efektif untuk memoles kekuasaan. “X” bisa diberitakan jadi “Bukan X”.
Masifnya gerakan #2019GantiPresiden mulai menggoda media. Satu persatu media mulai tertarik meliputnya. Termasuk detik.com dan tribun yang selama ini lebih dekat ke istana, pelan-pelan mulai ke tengah. Orang bilang, mulai insaf. Begitulah seharusnya media, jaga independensi
Keempat, aparat hukum. Hal yang sering terjadi, bahwa kekuasaan adalah pihak yang paling berpeluang untuk mengontrol hukum. Tidakkah aparat hukum itu netral? Itu harapannya. Tak semua harapan berbanding lurus dengan kenyataan. Faktanya, hukum bisa menjadi alat sandera yang efektif terhadap lawan. SP3 Habib Rizieq yang lagi hangat di media dianggap publik tak lepas dari dinamika penyanderaan.
Empat pilar ini mulai melemah, seiring dengan melemahnya elektabilitas Jokowi. Tak mustahil akan roboh. Artinya, jika penurunan elektabilitas Jokowi tak bisa ditahan, maka empat kelompok yang selama ini jadi pilar istana akan balik badan, cari selamat. Jokowi terancam tak dapat tiket untuk maju di pilpres 2019.
Penulis: Tony Rosyid