[PORTAL-ISLAM.ID] Pidato tentang bisa kalajengking tidak seharusnya dilontarkan Presiden Joko Widodo. Sebagai seorang presiden, Jokowi semestinya berbicara mengenai hal-hal yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Begitu kata pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, Kamis 3 Mei 2018.
Jika maksud presiden ingin mencari lelucon dengan mengangkat tema bisa ular, maka hal itu tidak pada tempatnya. Pangi menegaskan bahwa Jokowi adalah presiden yang harus memberi solusi hidup bagi rakyat, bukan memberi lelucon.
“Presiden ini ikon sebagai kepala negara dan bangsa, nggak perlu menampakkan lelocon politik. Presiden nggak usah humoris-humoris, sekarang rakyat butuh solusi hidup, soal perut rakyat yang kosong, rakyat nggak butuh humoris presiden apalagi lelocon politik,” ujarnya.
Tips menjadi orang kaya dari Jokowi tanpa korupsi juga tidak perlu dilontarkan saat momentum Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrembangnas). Sebab, momen ini seharusnya menjadi tempat bagi Jokowi berbicara yang lebih substantif.
“Bukan nyuruh kepala daerah panen scorpion (racun kalajengkeng). Masyarakat butuh pembicaraan yang penting yang bersentuhan dengan perut rakyat langsung,” tukasnya.
Pidato Joko Widodo di acara Musrembangnas penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2019 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin 30 April 2018 cukup menggelitik.
Sebab, dalam pidato itu Jokowi memaparkan tentang komoditas yang paling mahal di dunia bukan emas, melainkan bisa kalajengking. Kata dia, bisa kalajengking ini berharga 10,5 juta dolar AS per liter atau jika dirupiahkan mencapai Rp 145 miliar per liter.
Atas alasan itu dia meminta kepada para kepala daerah untuk mengumpulkan racun kalajengking jika ingin kaya, ketimbang harus mengkorupsi uang rakyat.
“Pak gubernur, pak bupati, pak walikota kalau mau kaya cari racun kalajengking,” ujarnya.