Oleh: Hersubeno Arief
(Wartawan senior)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) menolak dengan tegas usulan agar Indonesia meniru gaya Mahathir dalam menangani krisis ekonomi. Tak lama setelah dilantik, Dr M langsung mengumumkan pemangkasan gaji para menteri sebesar 10% .
“Kondisi Indonesia berbeda dengan Malaysia. APBN Indonesia didesain sesuai dengan kebutuhan sosial ekonomi Indonesia. Tidak perlu ada pemangkasan gaji,” tegasnya.
Alih-alih melakukan pemangkasan gaji, pemerintah malah menambah beban baru APBN dengan memberikan tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 kepada PNS, Polri, TNI, dan pensiunan. Jumlahnya sangat besar. Total Rp 35.76 triliun.
Pemberian THR dan gaji ke-13 di tengah utang negara yang sudah tembus di atas Rp 4.000 triliun, melesetnya realisasi penerimaan pajak, jelas sangat susah dicerna oleh nalar publik. Penjelasan yang paling masuk akal adalah berkaitan dengan kepentingan elektoral pada pilpres 2019. Jumlah mereka lebih lebih dari 5 juta orang. Belum lagi bila dihitung dengan anggota keluarganya. Sebuah angka pemilih yang sangat signifikan.
Tidak berhenti sampai disitu, pemerintah juga memberi kejutan baru dengan mengumumkan gaji dan tunjungan para pengawas Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP) yang diketuai oleh Presiden RI ke-6 Megawati. Jumlahnya membuat banyak mata mebelalak.
Sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati mendapat imbalan sebesar Rp 112 juta. Sementara delapan orang anggota lainnya seperti Try Sutrisno, Mahfud MD, Ma’ruf Amin, dan Syafii Anwar Ma’arif masing-masing sebesar Rp 100 juta.
Langkah pemerintah itu tentu saja segera mengundang badai protes. Tapi seperti sedang bercanda mempermainkan hati dan perasaan rakyat, SMI mengumumkan bahwa para begawan pengawal Pancasila itu akan menerima rapel gaji sejak mereka bekerja, yakni bulan Februari 2018. Megawati akan menerima rapel lebih dari 1 miliar (Rp 1.026.144.000). Sementara delapan anggota menerima rapel sebesar Rp 990 juta.
Apa reaksi SMI? Lagi-lagi dia menjawab secara datar dan menunjukkan kedinginan profesional. “Malaysia menghadapi situasi yang dramatis dalam arti mengelola politik, ekonomi dan sosial. Indonesia dalam situasi sekarang punya APBN, ekonomi sedang kita kelola,” ujar Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (28/5).
Untuk kasus pemotongan gaji para menteri, SMI menyebut sebagai pilihan politik. Sementara untuk gaji dan tunjangan para sesepuh, SMI menyatakan ”tiap negara memiliki keputusan terkait kebijakan yang sesuai dengan konteks yang mereka hadapi.” case closed. Tidak ada diskusi lebih lanjut.
Logika dan nalar pemerintah Vs Logika dan nalar publik
Apa yang disampaikan oleh SMI menunjukkan adanya kesenjangan yang dalam, antara logika dan nalar pemerintahan Jokowi Vs logika dan nalar publik. Dengan otoritas yang dimilikinya, pemerintah merasa berhak sepenuhnya mengelola anggaran pemerintah. Publik tidak boleh turut campur.
Mereka lupa bahwa itu adalah dana publik. Mereka hanya diberi amanat untuk mengelola. Tidak boleh dipergunakan semaunya.
Respon publik tentu saja jadi sangat berbeda. Di Malaysia rakyat ramai-ramai mengumpulkan dana untuk membantu pemerintah membayar utang. Mereka membuat gerakan crowd funding. Fitur PayPal yang digunakan menampung dana, sampai harus dihentikan sementara. Derasnya arus dana yang masuk membuat sistem mereka down.
Rakyat Malaysia melihat ada keseriusan pemerintah menangani krisis ekonomi. Yang lebih penting lagi ada kesediaan para petinggi negara “menderita” bersama rakyat. Potongan gaji 10% jelas tidak memadai untuk membayar utang. Tapi itu merupakan sebuah signal bahwa Mahathir memahami apa beban yang dirasakan rakyat. Muncul solidaritas yang kuat di kalangan warga.
Selain memangkas gaji menteri, Mahathir juga melakukan beberapa langkah serius meninjau dan membatalkan berbagai proyek infrastruktur. Sebuah langkah yang tidak akan dilakukan Jokowi.
Awal pekan ini Mahathir mengumumkan pembatalan proyek kereta api cepat yang menghubungkan Malaysia-Singapura.
Mahathir juga sedang melakukan evaluasi proyek kerja sama pembangunan kereta dengan Cina yang dikenal sebagai proyek jalur sutera, one belt one road (OBOR).
Ada harga yang harus dibayar. Mulai dari konskuensi keuangan, sampai konskuensi hubungan antar-negara. Tapi meminjam pernyataan SMI, “itulah pilihan politik.” Mahathir bersedia mengambil risiko dan berani membayarnya. Rakyat Malaysia mendukungnya.
Di Indonesia yang terjadi malah sebaliknya. Berbagai kecaman muncul. Mereka menuntut agar Megawati dkk menolak dan mengembalikan dana tersebut. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melangkah lebih jauh. Mereka akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.
Para sesepuh itu ikut menjadi korban caci maki dan kehilangan kepercayaan publik akibat kebijakan pemerintah. Mereka jelas bukan pencari kerja. Kesediaan mereka bergabung di BPIP pastilah dilandasi motivasi luhur dan jauh dari sekedar mencari uang tambahan di hari tua. Masalahnya publik telanjur kecewa. Apalagi muncul semacam pembelaan diri dari Mahfud MD, bahwa uang sebesar itu bukan gaji. Di dalamnya termasuk biaya operasional.
Dengan langkah dan respon pemerintah seperti itu, kita tidak perlu kaget bila kemudian muncul kejutan-kejutan baru dari pemerintahan Jokowi. Logika dan nalar pemerintahan Jokowi tampaknya memang sedang bergerak menjauhi logika dan nalar publik.
Mereka seperti orang yang gagap, bingung, dan disorientasi. Begitulah filosofi sebuah kekuasaan. Ibarat berdiri pada sebuah gedung tinggi, kita sering kehilangan orientasi ketika melihat ke bawah. Susah membedakan antara yang benar dan salah. Apalagi bagi mereka yang tidak cukup berpengalaman dan mendaki ketinggian dengan cepat.
Inilah beda Mahathir dengan Jokowi. Yang satu berjalan seiring dengan publik. Yang lain tampaknya sedang bergerak atau digerakkan menjauh, bahkan berseberangan dengan publik.
Situasi ini mengingatkan kita pada saat krisis ekonomi 1997. Saat itu seperti beberapa kawasan dunia lainnya, Malaysia dan Indonesia mengalami krisis ekonomi. Nilai ringgit anjlok, seperti halnya rupiah. Cadangan devisa negara merosot tajam, harga-harga saham rontok, banyak perusahaan tutup, dan angka pengangguran membengkak.
Malaysia yang dipimpin oleh Mahathir mengambil jalan yang berbeda dengan Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto. Mahathir menolak campur tangan dan resep penghematan yang disarankan oleh IMF. Dia membentuk Dewan Ekonomi Nasional, menurunkan suku bunga, dan mengadopsi satu mata uang.
Sementara Soeharto tunduk pada tekanan IMF. Indonesia batal menerapkan patokan mata uang rupiah atas dolar (currency board system) dan mengadopsi secara ketat kesepakatan dengan IMF.
Sejarah mencatat, Malaysia berhasil mengatasi krisis ekonominya. Mahathir setelah berkuasa selama 22 tahun, akhirnya lengser dengan kepala tegak (2003). Sementara Soeharto yang dianggap sebagai “big brother” ASEAN, harus lengser setelah 32 tahun berkuasa (1998). Indonesia mengalami krisis politik dan ekonomi berkepanjangan.
Apakah sejarah dan siklus 20 tahunan akan kembali berulang? Mahathir tampaknya ditakdirkan menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah penting di kawasan regional ASEAN. Deja vu. End.
Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/beda-mahathir-dengan-jokowi/