Benarkah Amerika Dukung Jokowi?
(Wartawan senior)
RI Dalam Pusaran Pertarungan RRT dan AS
JAKARTA – Jufri Firmansyah, sahabatku yang berdiskusi pekan lalu tentang situasi Indonesia, bertanya, bagaimana reaksi pembaca Catatan Tengah bertajuk Situasi Indonesia Dari Kacamata ‘Asal Bukan Jokowi’?
“Fifty-fifty. Ada yang pro dan ada yang kontra. Ada yang bilang aku mempromosikan Jokowi, tapi ada juga yang menuding, aku menulis dengan data yang tidak valid. Terutama ketika berada pada alinea yang mengkritisi kinerja Jokowi,” jawabku.
“Buat saya, gak masalah. Namanya juga orang beropini,” lanjutku.
Dalam diskusi itu Jufri memang tertarik dengan pandanganku. Bahwa peluang Jokowi di Pilpres 2019, kembali membesar. Ibarat lampu, dukungan yang tadinya sudah temaram, kini berubah terang.
Kans Jokowi untuk memimpin Indonesia untuk kedua kalinya, ibarat rumah sudah mulai roboh, kini kembali direstorasi. Dan yang merestorasi Amerika Serikat.
Amerika melakukan perubahan di menit-menit terakhir, dan perubahan itu, menjadi sebuah pilihan yang tak tergantikan.
Kalau Amerika tidak kembali mendukung Jokowi, maka negara raksasa lain pun sudah siap mengambil alih peran itu.
Negara itu tak lain, RRT (Cina), yang selama tahun-tahun belakangan ini, merupakan pesaing kuat Amerika dalam segala bidang.
Lawatan Perdana Menteri RRT (Cina), Li Keqiang di Indonesia yang dimulai Senin kemarin, semakin memperjelas, RRT atau Cina tak mau "kehilangan" Indonesia.
Indonesia masuk dalam pusaran pertaruhan RRT dan AS.
Jufri lalu minta uraian yang lebih komprensif, tentang apa yang membuat Amerika berubah terhadap Jokowi? Seolah-olah saya ini pakarnya para pakar dalam soal politik kepresidenan dan dunia diplomasi.
Jufri yang tidak rela kalau urusan dalam negeri – apalagi soal pemilihan Presiden, dicampuri pihak asing, seperti mau meradang – mendengar Amerika, kembali mendukung Jokowi.
Tapi saya bilang: “Kita ini siapa? Apa kekuatan kita menghalau kekuatan asing seperti Amerika?”
Saya katakan, perubahan sikap Amerika itu, cukup ‘obvious’ (kentara/nyata).
Selain utusan Bank Investasi JP Morgan tiba-tiba awal Mei menemui Presiden Jokowi didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani, Amerika juga menggunakan IMF (Dana Moneter Internasional) dan World Bank (Bank Dunia), sebagai alat untuk ofensif diplomasi di Indonesia.
JP Morgan menyatakan kesanggupannya untuk menjadi agen penjual bagi Surat Berhutang Indonesia (SBI) ke pasar modal dunia. Yang artinya, di saat rezim Jokowi sedang kekurangan uang, JP Morgan menjanjikan akan mencarikan kekurangan tersebut.
Terlibatnya JP Morgan dalam pencarian uang untuk Indonesia, otomatis membuat cengkeraman AS di perekonomian dan tata niaga keuangan Indonesia, menjadi kuat.
Sebagai sebuah perusahaan yang sudah berusia lebih dari 150 tahun, sekalipun berstatus swasta, tapi bagi pemerintah Amerika Serikat, JP Morgan bisa menjadi perpanjangan tangan Washington di Indonesia.
Kehadiran JP Morgan, semakin memperjelas ofensif diplomasi Amerika di Indonesia, dilakukan secara terencana.
Hal mana terlihat dengan jatuhnya keputusan IMF dan Bank Dunia – yang menjadikan Bali, sebagai tempat pertemuan tahunan dua lembaga keuangan dunia tersebut pada Oktober 2018.
Penetapan Bali itu dilakukan jauh sebelumnya. Dan pematangannya dikoordinasi oleh Menko Kemritiman Luhut Panjaitan.
Luhut terbang langsung ke Washington dan boleh jadi yang dia urus, tidak terbatas soal pertemuan Bali. Tapi termasuk nasib Jokowi.
IMF dan Bank Dunia yang bermarkas besar di Washington, ibukota Amerika Serikat dikenal sebagai alat negara adidaya itu untuk mengontrol dan mengendalikan sistem keuangan dan perekonomian dunia.
Dua lembaga keuangan dunia Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), tidak mungkin memilih Bali sebagai tempat pertemuan 2018, tanpa alasan.
Apalagi kalau menyimak pernyataan Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde.
Ketika bertemu Presiden Jokowi Pebruari lalu, wanita berkewarganegaraan Prancis itu, memuji kinerja Presiden Jokowi yang dibantu Menkeu Sri Mulyani.
Pujian itu cukup menyentak kalangan dunia usaha dan komunitas politik.
Pujian itu punya makna. Pujian itu bisa ditafsirkan, akibat prestasi itulah, maka IMF dan Bank Dunia, mau mendukung kembali Jokowi menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya.
Pujian itu bisa merupakan signyal kepada penantang Jokowi di Pilpres 2019, untuk tidak perlu mengganggu run-down IMF dan Bank Dunia yang tengah dijalankan oleh Jokowi dan Sri Mulyani secara baik.
Bahwasanya tafsiran IMF dan Bank Dunia berbeda dengan apa yang dirasakan dunia usaha, kelompok oposisi ataupun oleh rakyat jelata, itu bukan isyu penting.
Bagi IMF dan Bank Dunia, membela Jokowi harus pihak mereka. Pembelaan tidak boleh dilakukan oleh Presiden AS ataupun anggota kabinetnya. Melainkan oleh pihak ketiga – IMF dan Bank Dunia.
Pembelaan itu lebih kredibel dan membuat Jokowi akuntabel menghadapi Pilpres 2019.
Berubahnya sikap Amerika terhadap Jokowi, bukan tanpa alasan.
Kebangkitan RRT (Cina) yang sekaligus menjadi ancaman bagi dominasi Amerika di Indonesia, ikut masuk dalam kalkulasi.
Lebih baik Amerika mendukung Jokowi yang kelemahan dan kekuatannya sudah diketahui, dari pada capres lainnya yang belum tentu menguntungkan posisi Amerika.
Pembelaan Amerika itu, bukan tanpa syarat. Di antaranya Jokowi harus bersedia menjadi “wonder boy” atau semacam “boneka”-nya. Jokowi tidak lagi melirik-lirik godaan RRT.
Amerika menjadikan Jokowi sebagai “boneka”, kedengarannya sakit di kuping masyarakat Indonesia yang nasionalis dan bermartabat. Tapi buat Amerika, tak masalah.
Sebab menjadikan Jokowi sebagai “boneka” – kalau cara itu bisa disamakan dengan pembiayaan, jelas jauh lebih murah.
Juga jauh lebih mudah dari pada – sebutlah seperti mau “membonekakan” Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra yang sudah mendeklarasikan sikapnya, maju di Pilpres 2019, menantang Jokowi..
Mudah. Sebab Jokowi, selain tidak pernah memperlihatkan perlawanan terhadap apapun yang dilakukan Amerika, sejumlah orang sekelilingnya – jelas sangat pro Amerika.
Juga sekalipun Jokowi berasal dari PDIP – partai yang berusaha membangkitkan kembali nasionalisme ala Soekarno, tapi secara tersirat apalagi tersurat, Jokowi tidak pernah sekeras Prabowo saat bicara soal dominasi asing atas kekayaan di Indonesia.
Asing itu bisa berarti Amerika atau Kekuatan Putih.
Dalam dimensi yang lebih luas, usaha mengeluarkan Jokowi dari pelukan RRT (Cina) jauh lebih mudah, ketimbang sosok lain yang belum pernah bekerja sama dengan Amerika.
Kalau IMF dan Bank Dunia dipersepsikan sebagai perusahaan yang memerlukan pertambahan nasabah, maka jauh lebih baik memelihara Indonesia sebagai nasabah lama. Dan memelihara nasabah lama, merupakan sebuah kewajiban Amerika sebagai koordinator pemberi hutang, pinjamam luar negeri.
Rezim Jokowi dianggap sudah bekerja sesuai dengan run-down IMF dan Bank Dunia.
Bahkan penegasan Christine Lagarde yang menyatakan perkembangan ekonomi Indonesia tahun depan lebih baik, semakin menunjukkan IMF dan Bank Dunia sudah punya agenda tersendiri dalam menjaga pemerintahan Jokowi.
Dengan kata lain, IMF dan Bank Dunia menjamin perekonomian Indonesia hanya akan membaik, bila Jokowi dipilih kembali d Pilpres 2019.
Soal peran dan pengaruh Amerika dalam pemilihan Presiden RI, sudah pernah saya ulas.
Diperkuat oleh kisah yang dialami langsung oleh Taufiq Kiemas (amarhum), suami Megawati, yang dikenal menjadi tokoh paling berpengaruh dalam menjadikan Mega sebagai Presiden RI periode 2001 – 2004.
Tiga tahun sebelum Pilpres 2004, Amerika sudah memberi tahu Taufiq Kiemas bahwa Washington, tidak akan mendukung Megawati, isterinya, kembali menjadi Presiden.
Pemberitahuan itu disampaikan langsung oleh diplomat senior AS, Ralph Boyce yang di tahun 2001 itu sudah ditetapkan oleh Washington untuk menjadi Dubesnya untuk Indonesia.
Dan hasilnya, dalam Pilpres 2004 itu, Jenderal SBY yang menang. SBY sendiri antara lain terkenal dengan pengakuannya. Bahwa tanah air keduanya adalah Amerika.
Bagi almarhum Taufiq Kiemas, kehebatan AS dalam mengatur negara-negara berkembang, sukar dilawan. AS terlalu piawai dan punya "dana kelakuan" yang cukup besar.
Ralph Boyce, misalnya, setelah berhasil menempatkan “boneka”nya di kekuasaan Indonesia, pindah ke Thailand. Hasilnya pada 19 September 2006, terjadi kudeta militer terhadap Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.
Sukses “mengobok-obok” Indonesia dan Thailand, Ralph Boyce mengundurkan diri dari dunia diplomasi.
Ia menjadi Kepala Perwakilan Boeing wilayah Asia Tenggara, berkedudukan di Singapura.
Entah ada hubungannya atau tidak, yang pasti, di era pemerintahan SBY, dan Boing Asia Tenggara ditangan Ralph Boyce, Lion Air sebuah perusahaan swasta yang belum lama berdiri, mengumumkan pembelian tidak kurang dari 200 unit pesawat buatan Boeing.
Jufri dan saya sepakat, dukungan Amerika yang lebih tepat disebut campur tangan asing itu memang menyinggung martabat, harga diri bangsa.
Campur tangan asing, sama dengan pelecehan atas kedaulatan Indonesia.
Tapi lagi-lagi kami sadar, bahwa kedaulatan Indonesia, sudah lama dirampas atau terrampas.
Jadi yang menjadi keprihatinan dan kepedulian, siapapun yang menjadi Presiden di Pilpres 2019, sepatutnya dia bisa mengembalikan martabat yang terrampas itu.
Atau berbicara soal pergantian Presiden, Pilpres 2019, esensinya sebenarnya adalah, kita sedang berdiskusi soal kedaulatan sebuah bangsa.
Selasa 8 Mei 2018
__
Sumber: fb penulis
Link: https://www.facebook.com/catatan.tengah/posts/1955584201141365