[PORTAL-ISLAM.ID] Minta maaf lagi. Kali ini saya mengambil porsi para ustad yang sewajarnya menuliskan artikel seperti dijudulkan di atas. Tetapi saya percaya bahwa meramu berbagai sumber tentang topik ini, bukanlah “dosa besar” di bidang tulis-menulis.
Yang dibicarakan adalah sikap al-mukarram KH Ma’ruf Amin, Ketua MUI, dalam masalah penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Sukmawati Soekarnoputri lewat puisi “Ibu Indonesia”.
Setelah mengumumkan permintaan maaf kepada umat Islam, Bu Sukmawati menemui Kiyai Am’ruf. Setelah pertemuan yang dibumbui cium tangan Pak Kiyai, Ketua MUI mengeluarkan imbauan agar laporan penistaan yang menyangkut Bu Sukma itu dicabut. Alasan Kiyai Ma’ruf ialah bahwa Bu Sukma sudah meminta maaf.
Dari salah satu sudut pandang (dari sekian banyak sudut), imbauan Kiyai tentulah pantas diikuti. Tetapi, kelihatannya kaum muslimin menuntut agar proses hukum tetap dilanjukan walaupun Bu Sukma diberikan maaf.
Saya bukan mau membicarakan proses permintaan maaf itu maupun pencabutan pengaduan penistaan itu ke kepolisian. Yang terlintas di kepala saya adalah, mengapa Kiyai Ma’ruf berkali-kali memperlihatkan “keanehan” bersikap kalau diletakkan dalam perspektif aspirasi kaum muslimin terkait macam-macam hal yang menyinggung kesakralan agama?
Inilah yang kita tengok. Inilah yang akan dicarikan penjelasannya.
Kita semua mengamati dengan seksama bahwa Kiyai Ma’ruf adalah orang yang sangat baik. Lurus. Tulus. Suka memaafkan. Mudah meringankan masalah yang besar. Sangat ideal. Semua kita juga ingin seperti beliau. Tapi, ada “tapi”-nya. Sikap beliau itu sangat ideal untuk situasi pengelolaan negara yang ideal pula. Situasi yang tidak dzolim, tidak sewenang-wenang.
Pada saat ini, ajakan Kiyai Ma’ruf tidak bersambut di kalangan kaum muslimin. Sebabnya antara lain adalah aggapan bahwa pihak penguasa tidak adil. Umat merasa penguasa sangat cepat bertindak kalau ulama atau warga muslim yang menjadi terduga. Sebaliknya, kasus-kasus penistaan agama yang kebetulan melibatkan orang yang pro-penguasa sebagai terlapor, pihak yang berwenang cenderung lambat. Bahkan terkesan mendiamkannya.
Kembali ke topik kali ini: mengapa Kiyai Ma’ruf dianggap “aneh” dalam kasus Bu Sukma? Apa yang terjadi? Ada apa?
Tidak terjadi apa-apa kecuali “pertanda” bahwa Pak Kiyai terlalu dekat dengan penguasa. Nah, dari sinilah kita mulai pembahasan syar’iah tentang posisi ulama. Berikut ini hadits pertama tentang ulama yang dilarang oleh Rozulullah SAW mendekati (terlalu dekat dengan) penguasa.
Dalam potongan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan kualifikasi “hasan gharib”, Nabi mengatakan: “…barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa maka dia akan terkena fitnah; dan tak seorang pun yang semakin dekat dengan penguasa kecuali dia semakin jauh dari Allah.”
Maksudnya, terlalu dekat bergaul dengan para pemegang kekuasaan, bisa membuat ulama “segan”. Karena “segan”, menyusullah “diam”. Karena semakin akrab, “diam” itu kemudian pelan-pelan bergeser menjadi “ikut penguasa”. Begitu tak terasa ikut penguasa, para ulama yang akrab dengan penguasa itu berubah menjadi pembela penguasa.
KH Ma’ruf Amin “belum” sampai seperti ini. Alhamdulillah. Cuma, kaum muslimin harus terus mengingatkan agar, misalnya, Pak Kiyai tidak lagi mendatangi pintu-pintu penguasa, atau setidaknya jangan terlalu sering.
Jauhilah pintu penguasa, wahai para ulama. Ulama besar Abdussalam Mubarakpuri menceritakan konsistensi Imam Bukhari yang menjaga dirinya dari persentuhan dengan penguasa, khususnya penguasa yang dzolim. Diriwayatkan bahwa Imam Bukhari tidak akan pernah mau berada di tengah para penguasa. Dia tidak mau menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh para pejabat pemerintahan.
Gara-gara menolak permintaan penguasa negerinya, Imam Bukhari diusir dari kota Bukhara. Pengusiran ini dilakukan penguasa dengan cara yang keji. Imam Bukhari difitnah membuat fatwa yang menyesatkan. Rakyat Bukhara percaya pada berita hoax yang disiarkan oleh perangkat kekuasaan sehingga mereka marah kepada Bukhari.
Menjauhi penguasa memang memiliki konsekuensi. Tetapi, begitulah seharusnya para ulama. Mereka tidak boleh “segan”, “diam”, apalagi sampai diperalat oleh penguasa yang dzolim.
Alhamdulillah, para ulama “muda” di negeri ini mengerti betul bagaimana mereka seharusnya bersikap terhadap penguasa. Mereka memahami cara Imam Bukhari menjaga keulamaannya. Mereka siap masuk penjara, siap hidup susah, siap digertak-gertak oleh aparat keamanan, dlsb. Tetapi, sayangnya, banyak juga “ulama-ulamaan” yang bisa “disumbat” oleh penguasa.
Para ulama yang berani ambil risiko menjauhi penguasa yang dzolim, adalah orang-orang yang paham bahwa “perbuatan yang paling dibenci Allah adalah mendatangi penguasa” (HR Ibnu Majah). Kita bersyukur sekali karena masih banyak dan, in-sya Allah, akan semakin banyak ulama yang bersikap tegas menentang kesewenangan penguasa.
Satu hadits lagi. Sahabat Tsauban r.a. bertanya kepada Baginda Nabi, “Ya Rosulullah, apakah saya termasuk ahli bait?” Baginda berdiam diri. Setelah ditanya ketiga kalinya, Nabi kemudian mengeluarkan statemen, “Iya, selama engkau tidak berdiri di depan pintu penguasa dan meminta sesuatu dari mereka.”
Kita berharap KH Ma’ruf Amin masih menjadi bagian dari ulama yang tidak berada di pintu-pintu penguasa. Tentunya kita menghargai sikap “arif” beliau ketika mengimbau agar para pelapor puisi Bu Sukma mencabut laporannya. Namun, sebaliknya, kita percaya Pak Kiyai memahami pula mengapa para pelapor bertekad akan maju terus.
Penulis: Asyari Usman