(Erdogan dan Abdullah Gul)
[PORTAL-ISLAM.ID] Pemilihan presiden (pilpres) Turki yang dimajukan satu setengah tahun lebih awal 24 Juni 2018 mendatang semakin heboh. Bukan karena munculnya penantang kuat Erdogan, tapi justru karena semakin tidak jelasnya siapa yang akan menjadi penantang Erdogan.
Abdullah Gul (mantan Presiden Turki, teman perjuangan Erdogan yang sekarang hubungannya renggang) menyatakan bahwa ia tidak akan menjadi penantang Erdogan, ia tidak mau menjadi kandidat gabungan pihak oposisi, yang sebelumnya merayu untuk maju sebagai capres menantang Erdogan.
Dunia Barat melalui media-medianya terlihat jelas ketakutan, mereka kerap “memaksa” oposisi Turki untuk melupakan “ego” golongan dan bersatu menentang Erdogan. Namun oposisi Turki memiliki pikiran lain, hingga saat ini oposisi utama CHP yang beraliran Kemalis pun belum memiliki calon presiden.
Lalu, sebetulnya seperti apakah jalan pikiran oposisi Turki?
Ada dua kelompok pemikiran secara umum didalam oposisi Turki. Yang pertama adalah mereka yang meyakini bahwa Erdogan hanya dapat dikalahkan dengan mengusung seorang tokoh sebagai calon presiden gabungan oposisi. Mereka meyakini bahwa dengan mengusung tokoh gabungan ini, maka seluruh elemen oposisi Turki terutama mereka yang menentang keras kepemimpinan Erdogan akan mudah mengidentifikasi “siapa” tokoh yang akan menjadi pusat mereka berkumpul melawan Erdogan, serta karena kemanunggalan tokoh ini mereka akan dengan mudah “menjual” pada pemilih Turki seperti apakah alternative dari Erdogan, dan seperti apakah model yang akan mereka gunakan bila mereka sukses merebut kendali Turki nantinya.
Keyakinan ini mereka ambil karena mereka melihat bahwa rakyat Turki yang memilih “Tidak” (berlawanan dengan kubu Erdogan yang memilih "Ya") pada referendum konstitusi kemarin mencapai 48%, yang berarti dalam pendapat mereka maka hanya butuh 3% suara lagi untuk mengalahkan Erdogan.
Mereka juga meyakini bahwa karena pendukung partai AKP berada di kisaran 49% dan pendukung kelompok kanan (islamis, konservati serta konservatif-nasionalis) di Turki secara umum mencapai 63% (jumlah suara partai AKP, MHP dan partai-partai kecil berhaluan kanan lainnya di pemilu 2015), maka mau tidak mau mereka perlu merangkul tokoh yang dalam pandangan hidup personalnya merupakan tokoh kanan namun cukup liberal hingga dapat diterima basis kelompok kiri dan kemalis. Dalam hal ini pun, muncul nama Abdullah Gul yang sejak lama menjadi “pemimpin” dari sayap liberal di kubu konservatif Turki. Namun rencana ini saya prediksi gagal karena 3 hal.
Pertama, model persatuan ini sudah pernah diuji pada pemilihan presiden Turki tahun 2014. Saat itu, kelompok nasionalis dan kemalis Turki bersatu mengusung Ekmeleddin Ihsanoglu, mantan Sekjen Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang diharapkan mampu mengambil suara pendukung Erdogan. Namun, ternyata Erdogan sukses unggul mendapatkan 51,7% suara, jumlah suara yang serupa dengan jumlah suara “Ya” pada referendum konstitusi. Ini membuktikan bahwa bahkan disaat Erdogan dulu belum didukung partai MHP, segmen pendukung Erdogan tidak bergeming kemana-mana, mereka setia pada brand “Erdogan”.
Yang kedua adalah soal ketokohan. Abdullah Gul yang memutuskan mengundurkan diri dari bursa pencalonan membuat kubu oposisi kebingungan mencari siapa tokoh yang dapat menjadi usungan mereka. Ini karena bahkan bila Abdullah Gul mencalonkan diri, kecil kemungkinan ia mampu memenangkan 50 % +1 suara. Juga tidak ada tokoh lain yang memiliki kemungkinan diterima baik oleh kubu kiri maupun nasionalis. Satu-satunya tokoh yang mendekati kemampuan Abdullah Gul adalah Meral Aksener, figur yang disebut mampu menarik mayoritas suara nasionalis untuk memilih “tidak” pada referendum konstitusi. Namun ia juga tidak memiliki basis yang kuat diluar lingkaran nasionalis, serta dalam berbagai survei dan simulasi ia justru menarik turun dukungan suara pada kubu oposisi, yakni pada kisaran total 30-44 % bila ia menjadi calon gabungan.
Yang ketiga adalah masalah didalam kubu oposisi itu sendiri. Terdapat pertentangan mengenai siapa yang harus maju. Meski para pentolan oposisi meyakini bahwa mereka butuh tokoh gabungan, namun tidak ada kata sepakat mengenai siapa tokoh ini. Bahkan disaat pencalonan Abdullah Gul masih santer terdengar, kubu nasionalis-kemalis pimpinan Meral Aksener masih bersikukuh bahwa ia-lah yang harus menjadi calon gabungan atau minimal dapat maju sendiri.
Segmen pemilih Kurdi yang memiliki haluan komunis juga bersikukuh ingin mencalonkan pemimpinnya sendiri, dengan berbagai alasan seperti kebanggaan ideologi maupun ketidaksepahaman pilihan calon dengan kubu oposisi lain.
Bahkan didalam partai CHP sendiri (partai utama oposisi), terdapat keguncangan mengenai pemilihan tokoh. Sebagian merasa bahwa bila mereka mengulang skenario 2014, maka CHP akan kehilangan identitas kemalisme mereka. Bahkan ada yang menyebut bahwa mereka tidak akan memilih bila tak ada tokoh kemalis yang diusung dalam pilpres. Kubu ini menginginkan Muharrem Ince atau tokoh kemalis lain sebagai calon, meski sebagian yang lain menyebut bahwa bila calon gabungan adalah seorang Kemalis (pengikut Kemal Attaturk -red), ini sama saja dengan menyerahkan kemenangan kepada Erdogan.
Karena itulah, skenario kedua merupakan skenario yang lebih realistis diambil oleh oposisi, yakni mereka maju sendiri-sendiri didalam pilpres.
Didalam skenario ini, partai CHP akan mengajukan calon sendiri. Meral Aksener sebagai perwakilan nasionalis-sekuler juga akan maju dengan partainya yakni IYI Party. Kelompok Komunis Kurdi juga akan mencalonkan tokoh mereka sendiri. Tujuannya adalah agar masing-masing basis kelompok oposisi akan termotivasi dengan keberadaan calon yang mewakili ideology mereka. Ini karena, menurut beberapa kolumnis di media pro-oposisi, kemenangan Erdogan di pilpres 2014 adalah karena tingkat partisipasi yang tergolong biasa saja (dalam konteks Turki). Bila mereka berhasil memotivasi basis oposisi secara keseluruhan dengan mencalonkan 3 capres yang mewakili fragmentasi kubu oposisi, maka tingkat partisipasi akan meningkat. Dengan meningkatnya tingkat partisipasi, maka mereka akan mampu mengalahkan jumlah suara pemilih Erdogan.
Bila ini terjadi, maka pilpres akan melaju ke putaran kedua. Dan di putaran kedua inilah, kelompok-kelompok yang gagal menempati posisi kedua namun telah termotivasi untuk berpartisipasi akan mendukung siapapun tokoh yang menempati posisi kedua tersebut dan mengalahkan Erdogan di putaran kedua. Bahkan, sebut mereka, bilapun Erdogan tetap menang dalam putaran kedua, setidaknya suara di pemilihan legislative akan mirip dengan suara di pilpres yang membuat mereka memiliki kemungkinan menguasai Parlemen. Dalam scenario ini, oposisi meyakini bahwa bahkan bila Erdogan menang pilpres, mereka tetap berkesempatan mendapatkan “hadiah hiburan” berupa penguasaan parlemen.
Namun lagi-lagi, prediksi saya menyebut bahwa dalam scenario ini oposisi juga akan mendapatkan kesulitan.
Ini karena tokoh segmen Komunis Kurdi (HDP) memiliki basis kecil, berkisar 6-8% dan tak memiliki kemungkinan meluas. Bahkan Erdogan bisa mendapat sebagian dari basis HDP, karena banyak orang Kurdi memilih HDP berdasar ikatan kesukuan, namun secara personal mereka adalah muslim. Apalagi, ikatan public antara HDP dengan organisasi terror komunis PKK kali ini akan membuat siapapun calon presiden mereka menjadi sasaran empuk Erdogan, yang sukses menggebuk komunis dari wilayah-wilayah Kurdi di Anatolia Tenggara serta membawa kemakmuran disana.
Calon presiden lainnya, Meral Aksener didukung 5-18% pemilh dalam berbagai survei. hanya saja ia belum tentu mampu mengambil mayoritas segmen pemilih nasionalis, dimana seluruh struktur established nasionalis (MHP) mendukung Erdogan. Rata-rata survei memperlihatkan bahwa sebagian besar pemilih MHP solid mendukung Erdogan. Mayoritas pemilih nasionalis juga mengakui bahwa Erdogan lebih baik dari segi pengalaman dan kharisma. Aksener terihat justru mengambil suara dari partai CHP, dimana berbagai pemilih CHP menganggapnya sebagai tokoh sekuler alternative. Bisa jadi, tingginya keterpilihan Aksener dalam beberapa survei adalah bogus (palsu), karena suara dukungan pada Aksener adalah suara pemilih CHP.
Terakhir, calon presiden dari partai CHP juga belum jelas. Ketua umum CHP Kemal Kilicdaroglu enggan menjadi calon presiden. Baik pengamat pro-Erdogan maupun pro-oposisi melihat ini sebagai ketidakmauan Kilicdaroglu mengambil resiko kalah. Tokoh lain, yang sebetulnya benar-benar berpotensi menggerus Erdogan adalah Muharrem Ince. Ia seorang kemalis, namun ia memiliki kemampuan orasi yang hebat, berani mengambil resiko dan didalam kesempatan tertentu setuju dengan beberapa kebijakan Erdogan. Hanya saja, pengurus DPP CHP yang diisi pendukung Kilicdaroglu tak akan mau mencalonkan Ince, karena berarti ia akan mendapat dukungan besar dari public dan akan mampu mendongkel Kilicdaroglu dari posisi ketua. Ince pun tak akan mau maju independen, karena ia berambisi menjadi ketua umum CHP. Tokoh-tokoh potensial lain adalah Ilhan Kesici dan Yilmaz Buyukersen. Mereka “orang”nya Kilicdaroglu, punya kapasitas intelektual, serta berpengalaman dalam memerintah. Hanya saja, secara nasional mereka tak punya pengaruh. Sulit untuk sekedar mengkhayalkan kesan “presiden” dari individu mereka.
Inilah yang membuat scenario kedua juga sulit berhasil, karena kedua segmen oposisi yang lebih kecil tidaklah dalam kondisi ideal. Tokoh usungan CHP, komponn terbesar oposisi, pun belum muncul. Kurang dari 60 hari sebelum tanggal pilpres, jangankan meyakinkan rakyat Turki, siapa yang ditawarkan oposisi untuk masuk ke putaran kedua pun belum ada. Oposisi telah kehilangan momentum.
Lalu bagaimana dengan prospek kemenangan Erdogan?
Lanjut di tulisan bagian dua. KLIK INI.
(M. Radityo)