[PORTAL-ISLAM.ID] ADZAN BUKAN SENI SUARA
•••••••
Ibu Sukmawati Soekarnoputri,
Maaf Ibu, jika saya tidak tahu apa agama Ibu. Semoga saja Ibu tidak beragama Islam, sehingga kami bisa sedikit memaklumi jika puisi Ibu banyak menunjukkan ketidaksukaan pada syariat Islam.
Yang saya tahu, almarhum Bung Karno dan Ibu Fatmawati yang kami kagumi, adalah seorang Muslim dan Muslimah. Maka saya beranggapan putra dan putri beliau kemungkinan juga beragama Islam sebagaimana agama kedua orang tuanya.
Ibu Sukmawati,
Seandainya ibu mengaku seorang Muslim, seandainya ibu mencantumkan kata “ISLAM” pada kolom agama di KTP ibu, alangkah mirisnya jika seorang muslim dengan bangga menyeru “Aku tak tahu syariat Islam”. Apalagi usia ibu tidak lagi muda. Saya yakin usia Ibu sudah lebih dari 60 tahun. Jika saja ibu seorang muslimah dan tetap bangga dengan ketidaktahuan ibu tentang syariat Islam di usia yang tidak lagi muda, alangkah mirisnya.
Jika ibu tidak tahu, semestinya ibu mencari tahu, belajar, bukan menjustifikasi dengan dasar ketidaktahuan ibu. Sebab manusia hidup di dunia tidaklah selamanya. Dan pada saat seseorang berpulang kepada Tuhannya, tentu dia ingin diperlakukan sesuai syariat agamanya. Masihkah seorang Muslim bangga mengatakan "aku tak tahu syariat Islam!" seakan dia memang tak mau tahu?!
Ibu boleh saja berbangga diri dengan ketidaktahuan ibu tentang syariat Islam, namun alangkah lebih elok jika ibu tidak perlu membanding-bandingkan cadar dengan konde. Sebab membandingkan sesuatu yang ibu sama sekali tidak tahu, itu tidaklah adil. Sama halnya ibu sama sekali tidak tahu kelezatan hidangan suatu masakan dari daerah tertentu, lalu ibu membandingkannya dengan nasi pecel, kemudian ibu mencerca makanan yang sama sekali ibu belum tahu itu. Aneh, bukan?!
Begitu pula jika ternyata ibu tidak beragama Islam, maka lebih tidak elok lagi ibu membandingkan syariat agama yang ibu tidak ketahui, yang ibu tidak berada di dalamnya. Itu namanya lompat pagar.
Jika seandainya ibu seorang yang masih mengaku Muslim, rasanya tidak perlu faham banget syariat Islam untuk sekedar tahu bahwa adzan adalah panggilan untuk sholat, pengingat bahwa sudah tiba waktunya berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Memuji Illahi Robbi, mengagungkan asmaNYA.
Tak layak adzan dibandingkan dengan kidung.
Namun jika ibu bukanlah seorang Muslim, rasanya juga tidak elok menghina suara adzan. Sama seperti kami tak ingin mengolok-olok lonceng gereja atau panggilan apapun dari agama apapun.
Jika pun ibu seorang Muslim, akan lebih aneh lagi jika ibu tak suka suara adzan, suara panggilan yang mengingatkan kita waktu sholat. Sebab pembeda antara seorang Muslim dengan bukan Muslim adalah pada sholatnya.
Alangkah konyolnya jika ibu mengatakan alunan adzan itu seni suara.
Memang, tak semua muadzin suaranya merdu, namun juga tidak semua muadzin suaranya buruk. Dengan menggeneralisir suara adzan tidak merdu dan lebih merdu suara kidung, ibu Sukma sudah meletakkan adzan hanyalah sebagai produk seni, yang selayaknya dibandingkan dengan kidung atau nyanyian budaya lokal Jawa. Padahal adzan itu universal, di negara mana pun sama, dan sama sekali tidak selayaknya dibandingkan dengan produk seni suara apapun.
Karena sejelek-jeleknya suara seorang muadzin, setidaknya dia sedang menjalankan kewajibannya mengingatkan kaum Muslimin untuk sholat. Tidak perlu mendalami syariat Islam, bu, untuk sekedar tahu bahwa adzan itu PANGGILAN SHOLAT fardhu.
Bahkan bagi seorang Muslim, ketika anaknya lahir dilantunkan adzan di telinga sang bayi. Akankah jika ibu punya cucu baru lahir, yang diperdengarkan ke telinganya pertama kali adalah kidung ibunya??
Ibu Sukmawati,
Apapun agama ibu, sangatlah tidak etis membandingkan gerak tari yang ibu anggap sebagai “ibadah”, yang murni iramanya adalah puja kepada Illahi (penggalan dari puisi ibu).
Maaf bu, bagi kami yang Muslim, ibadah sudah ada tuntunannya. Gerakan sholat (dan doanya) adalah ibadah kami, yang tidak perlu dibandingkan dengan gerak tari apapun dengan irama apapun.
Illahi adalah TUHAN kami, ibu. Tuhannya ummat ISLAM, Tuhannya kaum MUKMIN. Tahukah ibu asal kata Illahi? Bukankah itu asal katanya dari bahasa Arab yang apabila ditulis dengan aksara Arab (huruf Hijaiyah) maka huruf-huruf penyusunnya adalah : alif – lam – lam – ha ??!!
Kenapa ibu mengadopsi kata itu dalam puisi ibu, jika ibu anti dengan yang bukan asli bahasa ibu pertiwi?
Bukankah kata "do'a" juga berasal dari kata "du'a" yang tak lain adalah bahasa Arab?? Jika kata-kata itu tidak memperkaya khasanah bahasa Indonesia kita, kenapa ibu menggunakannya?!
Jika ibu merasa mewakili orang yang bukan Islam, semestinya pula ibu tidak menggunakan terminologi “Illahi”. Sebab mereka tidak kenal Illahi.
Jika seandainya ibu bukan seorang Muslim, saya bisa memaklumi jika ibu tak suka dengan suara adzan. Dan dengan demikian, jika kelak ajal tiba – dan pasti akan tiba, karena tak ada manusia yang hidup abadi – tidak perlu pula ada yang mensholatkan.
Namun jika ibu seorang Muslim, apakah nanti ibu masih berharap ada yang mensholatkan jenazah ibu ataukah cukup menggantikannya dengan tari-tarian dan kidung?
Ibu Sukmawati,
Saya rasa kita tidak harus paham syariat dan aturan agama lain, cukuplah kita tidak saling menghina dan membandingkan syariat dan ritual agama orang lain dengan agama yang kita anut.
Namun jika ibu mengaku seorang Muslim, beragama Islam, janganlah ketidaktahuan ibu akan syariat membuat ibu melecehkan agama ibu sendiri dan membandingkan dengan yang tidak semestinya.
Ibu Sukmawati,
Ibu mengatakan tidak SARA. Tapi mengapa puisi ibu isinya sarat dengan sinisme terhadap syariat Islam, cadar dan adzan?!
Jika puisi itu tak ada unsur SARA, kenapa hanya syariat Islam dan adzan yang ibu banding-bandingkan, sarat dengan rasa merendahkan?
Lupakah ibu bahwa Islam sudah lebih dahulu dikenalkan kepada bangsa kita hampir 2 abad sebelum penjajah kafir Belanda berlabuh di Nusantara?
Tidak tahukah ibu bahwa Wali Songo sudah berdakwah dan menyebarkan syi'ar Islam sejak awal abad ke-14, sementara Belanda baru mendarat tahun 1596, akhir abad ke-16?
Jika ibu tak suka syariat Islam seakan merusak kemurnian budaya Nusantara, kenapa ibu tak marah pada budaya hot pants, you can see, rok mini, jeans ketat, bukankah itu juga bukan budaya berbusana kita?!
Kenapa pula ibu tidak mengkritik gaya rambut wanita model pendek ala Demi Moore, model bob, dicat blonde, bukankah itu juga merusak budaya konde?!
Kenapa ibu tidak adil dalam membuat perbandingan?!
Jika ibu keberatan dengan suara adzan yang tak merdu, apakah suara gaduh terompet dan letusan petasan saat pergantian tahun itu merdu? Bukankah itu juga bukan budaya kita?
Apakah dentuman hingar bingar musik rock, house music yang menghentak, itu sama merdunya dengan alunan kidung?!
Disinilah makin tampak tidak adilnya ibu Sukma dalam membuat perbandingan.
Sebuah perbandingan yang hanya didasari ketidaksukaan semata. Apalagi ketidaksukaan itu dilandasi ketidaktahuan.
Maafkan saya ibu Sukma, jika ibu anggap saya tidak sopan menulis ini pada ibu.
Namun, dalam pandangan saya sebagai seorang Muslim, ibu sudah lebih dulu tidak sopan membandingkan adzan dengan kidung, menganggap gerakan tari adalah ibadah yang semurni puja kepada Illahi. Sebab bagi kami gerakan tari bukanlah ibadah yang tidak bisa disandingkan dengan puja kepada Illahi. Sebab puja kepada Illahi adalah lantunan dzikir asmaul husna. Asma Sang Illahi Robbi.
Jika ibu hendak mengejek adzan, jangan catut nama Illahi.
Karena asma Illahi diagungkan dalam lantunan adzan, Allahu Akbar!!!
*******
Bumi Allah, 2 April 2018
Iramawati Oemar