Oleh: Hersubeno Arief
(Wartawan senior, konsultan media)
Rumor bahwa Prabowo Subianto mau dan ingin menjadi cawapres Jokowi, ternyata bukan isapan jempol. Jokowi pernah menawari dan Prabowo menyambutnya. Ketua umum PPP Romahurmuzy (Romy) bahkan mengungkapkan, Prabowo dua pekan lalu sempat mengirim utusan menanyakan kelanjutan tawaran tersebut. Namun karena Jokowi tidak segera menjawab, Prabowo akhirnya menerima mandat Gerindra untuk menjadi Capres 2019.
Pengakuan Romy ini cukup mengejutkan. Soal Jokowi menawari Prabowo sebagai cawapres sudah diakui oleh sejumlah fungsionaris Gerindra. Bukan hanya dua kali seperti yang dikatakan Romy. Utusan Jokowi disebut belasan kali menyampaikan tawaran tersebut. Namun yang terungkap ke publik, Prabowo dengan tegas menolak tawaran tersebut. Sementara yang diungkapkan Romy sangat berbeda (klik: Link Berita).
Pertama, pada bulan November 2017 Jokowi-Prabowo bertemu sebanyak dua kali. Prabowo menyambut positif tawaran menjadi cawapres Jokowi. Romy yang diminta pendapatnya oleh Jokowi langsung menyetujui usulan tersebut dengan alasan bisa mengurangi ketegangan politik seperti yang terjadi pada Pilkada DKI. Namun saat itu para pimpinan partai koalisi lainnya tidak menyetujui.
Kedua, dua pekan lalu Prabowo mengirim utusan untuk menanyakan bagaimana kelanjutan tawaran tersebut. Namun Jokowi tidak bisa segera menjawab karena para pimpinan partai koalisi ada yang sedang di luar negeri dan juga sibuk dengan urusan partai. Sementara Prabowo menginginkan jawaban segera.
Bila penjelasan Romy ini benar, tentu saja bisa memunculkan sebuah skandal politik. Kredibilitas Prabowo sebagai figur yang digadang-gadang sebagai simbol perlawanan terhadap Jokowi bisa hancur berantakan. Para pendukungnya akan sangat kecewa dan bisa saja mengalihkan dukungan. Mitra koalisi bisa ragu dan menarik dukungan.
Prabowo harus segera menjelaskan ini kepada publik. Sebab dari penjelasan Romy bisa ditarik beberapa kesimpulan.
Pertama, Prabowo sejak awal tidak serius ingin melawan Jokowi. Sudah ada deal-deal politik. Prabowo bersedia menjadi cawapres Jokowi pada Pilpres 2019.
Kedua, keputusan Prabowo menerima mandat Gerindra diputuskan setelah tidak ada kejelasan apakah tawaran dari Jokowi masih berlaku atau tidak. Ketika Jokowi tidak bisa segera menjawab, Prabowo akhirnya dengan berat hati terpaksa menerima mandat tersebut. Ini bisa menjelaskan mengapa Prabowo terlihat galau, dan deklarasinya hanya setengah hati.
Prabowo juga bisa dituduh sebagai calon boneka. Proxy Jokowi yang maju bersaing di pilpres hanya untuk kalah.
Ketiga, penjelasan Romy secara tidak langsung membenarkan bahwa pertemuan Luhut Panjaitan dengan Prabowo di Hotel Grand Hyatt, Jumat (6/4/2018) bukan pertemuan biasa seperti dikatakan Luhut maupun Jokowi. Bantahan atau ralat dari Luhut , bahwa dia mendorong Prabowo maju sebagai capres, menjadi jelas duduk perkaranya. Sebab kurang dari sepekan setelah bertemu Luhut, Prabowo menerima mandat Gerindra.Jadi tidak benar bahwa Luhut bertemu Prabowo hanya sebatas hubungan antara sesama kolega lama.
Bila menggunakan analogi dalam olahraga tinju, sebagai seorang “promotor” Luhut sedang mencarikan lawan yang secara kalkulasi bisa dengan mudah dikalahkan petinjunya. Dengan begitu petinju yang dipromotori Luhut bisa tetap memperpanjang gelarnya. Bisnis bisa terus berjalan, dan bayaran petinjunya makin mahal.
Mengapa diungkap?
Yang menjadi pertanyaan besar mengapa “rahasia” tersebut diungkap oleh Romy? Bukankah sebagai bagian dari tim, apalagi tim inti, tidak pada tempatnya Romy mengungkapkan strategi dan rahasia dapur Jokowi? Romy seharusnya baru boleh mengungkap beberapa tahun yang akan datang, ketika Jokowi sudah menang dan peristiwa tersebut sudah menjadi bagian sejarah.
Konsekuensi dari pernyataan Romy dampaknya bisa sangat serius. Strategi pemenangan Jokowi yang sejauh ini telah berjalan mulus, bisa berantakan.
Dengan majunya Prabowo sebagai capres maka Jokowi setidaknya mendapat dua keuntungan. Pertama, mendapat lawan yang secara kalkulasi bisa dikalahkan. Kedua menutup peluang munculnya figur alternatif yang berpotensi mengalahkan Jokowi. Sebab tiket sudah tidak tersedia karena dipakai Prabowo.
Dengan terungkapnya fakta ini, bila Prabowo tidak bisa memberi penjelasan yang masuk akal dan diterima oleh para pendukungnya dan mitra koalisi, maka skenario pencapresan Prabowo bisa berantakan.
Apakah itu yang diinginkan Romy? Sebab bila melihat sentimen publik yang sangat kuat menginginkan pergantian presiden, bisa saja Prabowo mengalahkan Jokowi dengan catatan mendapat pasangan cawapres yang tepat dan mengangkat elektabilitasnya.
Bila benar itu yang diinginkan Romy, seharusnya “rahasia” ini baru diungkap menjelang Pilpres, saat Prabowo sudah terdaftar secara resmi di KPU dan partai tidak bisa lagi mengganti calonnya. Dengan diungkap sekarang, Prabowo yang kredibilitasnya rusak/dirusak bisa saja meradang dan memberi kesempatan figur alternatif menantang dan mengalahkan Jokowi.
Kalau sudah begitu siapa yang rugi?
14/4/18
*Sumber: LINK