[PORTAL-ISLAM.ID] Audit BPK mengungkap borok bisnis jalan tol. Empat ruas vital yang dikangkangi PT Jasa Marga Tbk, menurut audit, semestinya sudah gratis sejak dua dekade silam.
Temuan lainnya: warga kerap membayar tarif lebih mahal daripada seharusnya, pemerintah tak punya rencana induk penyelesaian kemacetan dalam jalan tol dan konsumen diam-diam mengongkosi belanja kopi, teh, tisu dan segala rupa pengeluaran operasional kantor pusat Jasa Marga. Tidak ada yang sesabar orang Indonesia.
Pemerintah abai dan menabrak asas keadilan dan transparansi dalam mengelola megabisnis jalan tol, terutama saat menghadiahkan paket konsesi 13 jalan tol untuk PT Jasa Marga Tbk pada 2005, yang berujung terampasnya hak warga, termasuk kesempatan menikmati tol gratis di empat ruas vital di Jakarta Raya sejak dua dekade silam, demikian menurut dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan.
Audit atas kinerja Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), dan perusahaan pengelola tol di Jakarta, Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah periode 2014-2016 itu menunjukkan konsumen seharusnya sudah menikmati tarif tol yang lebih murah dan bahkan gratis untuk ruas tol Bandara sejak 1997, Jakarta-Tangerang sejak 2013, Jagorawi pada 2018, dan Cikampek pada 2021.
Konsumen, menurut dokumen tersebut, bahkan seharusnya sudah bisa menikmati tol gratis lebih cepat lagi — Tol Bandara sejak 1995, Jakarta-Tangerang sejak 2011, Cikampek sejak 2015, dan Jagorawi sejak 2016 — bila biaya operasional kantor pusat Jasa Marga, yang diam-diam ikut dihitung sebagai dasar pemberian konsesi dan penentuan tarif, dihilangkan.
Dokumen 98 halaman itu merupakan audit paling komprehensif sejauh ini atas hak-hak konsumen yang diabaikan Pemerintah, BPJT, dan perusahaan pengelola tol. Lembar demi lembarnya menghanyutkan narasi yang kerap didendangkan pejabat, dari level menteri hingga anggota parlemen di Senayan, bahwa tol telah dikelola profesional dan kenaikan tarifnya yang rutin tak dapat dihindari untuk menjamin pengembalian investasi.
Audit sekaligus menyibak sisi gelap dari ambisi besar pemerintahan Presiden Joko Widodo memperpanjang ruas tol di berbagai provinsi saat jalan non-tol, khususnya di Jakarta Raya, praktis hanya bertambah sembilan kilometer dalam kurun 2010-2015.
Temuan lain BPK mengungkap BPJT serta perusahaan tol tak menunjukkan keseriusan mematuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), acuan baku pelayanan jalan tol yang wajib dipenuhi perusahaan tol.
Terlebih, hingga audit terbit pada 8 Januari 2018, tak satu pun dari lembaga pemerintah yang punya rencana induk penyelesaian kemacetan laten di jalan tol, utamanya di ruas vital Jakarta Raya. Akibatnya, menurut BPK, konsumen jalan tol tak kunjung bisa mendapatkan penuh hak-haknya sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Menurut BPK, biang perkara terampasnya hak konsumen menikmati tol gratis di Jakarta Raya berawal dari keputusan Pemerintah pada 2006, yang menghadiahkan paket konsesi tunggal – 40 tahun dengan Internal Rate of Return (proyeksi keuntungan) 14,84 persen — untuk 13 ruas jalan tol ke PT Jasa Marga. Ketigabelas ruas tol itu mencakup ruas tol Jagorawi, Jakarta – Tangerang, Surabaya – Gempol, Jakarta – Cikampek, Padalarang – Cileunyi, Prof. Sedyatmo (Tol Bandara Soekarno-Hatta), Cawang – Tomang – Pluit, Belawan-Medan-Tanjung Morawa, Semarang Seksi A, B, C, Pondok Aren-Bintaro Viaduct-Ulujami, Palimanan – Kanci, Lingkar Luar Jakarta (JORR) Seksi E1, E2, E3 dan W2, dan Cikampek – Padalarang.
Penjelasan pejabat BPJT yang terekam dalam dokumen audit, menyebut keputusan itu berlatar pertimbangan agar Jasa Marga lebih kinclong dan dilirik investor saat menjual sebagian sahamnya di bursa. Kata pejabat, hanya sebagian dari ke-13 ruas yang terbilang ‘basah’, sehingga perlu ada “subsidi silang” serta untuk mendulang dana segar demi pengembangan jalan tol. Setelah masuk bursa, saham Pemerintah di Jasa Marga tersisa 70 persen.
Merujuk kepada sejumlah aturan dan fatsun dunia keuangan, BPK berpendapat perhitungan investasi dan masa konsesi ke-13 ruas tol itu seharusnya dilakukan secara individual pada tiap-tiap ruas. Toh, katanya, waktu pembangunan dan biaya investasi tiap-tiap ruas jalan tol berbeda-beda. Tol Jagorawi yang menghubungkan Jakarta-Bogor-Ciawi, misalnya, beroperasi sejak 1978 sementara tol Cikampek-Padalarang baru beroperasi pada 2003.
“Dengan perhitungan dan masa konsesi secara gabungan, maka ruas jalan tol yang secara individu telah memperoleh keuntungan (Net Present Value Positif/NPV>0), pengguna jalannya tidak dapat menikmati tarif tol yang lebih murah bahkan gratis,” kata BPK mencontohkan tol Prof. Sedyatmo dan Jakarta-Tangerang yang seharusnya tak diberi konsesi lagi lantaran Jasa Marga sudah untung. “Biaya investasi telah kembali dan (perusahaan, red) telah memperoleh keuntungan yang wajar.”
Lacurnya, menurut BPK, konsesi level dewa itu diperparah dengan pembebanan biaya overhead kantor pusat Jasa Marga kepada biaya operasi dan pemeliharaan ke-13 ruas tol dalam perhitungan masa konsesi. Padahal, kantor pusat tidak berkaitan langsung dengan operasi dan pemeliharaan ruas jalan tol.
Selain itu, dasar penentuan alokasi biaya overhead kantor pusat pada tiap-tiap ruas tidak jelas. BPK mencontohkan, ruas Prof. Sedyatmo yang panjangnya 13,40 kilometer (paling pendek) memperoleh alokasi biaya overhead kantor pusat paling besar, rata-rata sebesar 58,32 persen dari biaya operasi dan pemeliharaannya. Sedangkan ruas Jakarta-Cikampek (terpanjang) 72,50 kilometer memperoleh alokasi rata- rata 41,33 persen.
“Hasil konfirmasi pada BPJT dan PT JM (Jasa Marga, red), biaya overhead kantor pusat merupakan biaya yang digunakan untuk membiayai operasional kantor pusat,” kata BPK.
Apa maknanya bagi konsumen? Menurut BPK, semua itu berujung kepada tirisnya aliran kas (cash proceed). Cash proceed adalah selisih penerimaan (perkalian jumlah kendaraan dan tarif) dengan pengeluaran (termasuk biaya operasi dan pemeliharaan) jalan tol, basis utama perhitungan pengembalian biaya investasi perusahaan tol.
“Dengan pembebanan biaya overhead kantor pusat, nilai pengembalian menjadi lebih kecil, selanjutnya akan memperpanjang masa konsesi, yang pada akhirnya membebani masyarakat pengguna jalan tol karena membayar tarif tol yang di dalamnya dibebani biaya overheadkantor pusat PT JM,” kata BPK.
Menurut BPK, BPJT tidak kunjung bisa menerangkan dasar perhitungan besarnya pembebanan biaya overheadkantor pusat Jasa Marga pada tiap-tiap ruas. BPK mendesak Kepala BPJT segera mengevaluasi konsesi dan tarif atas 13 ruas jalan tol yang dikelola Jasa Marga, dengan memastikan masa konsesi dihitung secara individual (tiap-tiap ruas jalan tol) dan membuang biaya operasional kantor pusat dari perhitungan masa konsesi “sehingga pengguna jalan tol dapat memperoleh tarif tol yang riil”.
Tidak Punya Rencana
Pisau audit BPK juga menyasar fondasi utama bisnis tol. Menurut BPK, salah satu tujuan penyelenggaraan jalan tol sesuai Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2004 tentang Jalan adalah memperlancar arus lalu lintas. Namun, dari pemeriksaan dokumen serta wawancara dengan pihak Kementerian PU, BPJT, dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT), BPK mendapati tak satu pun dari mereka yang mengantongi rencana induk mengatasi kemacetan di jalan tol.
Padahal, kata BPK, dari evaluasi kinerja jalan tol dan data tingkat kepadatan lalu lintas atau Volume-Capacity Ratio (VCR) periode 2014-2016, terdapat sejumlah ruas yang setiap harinya macet, semisal ruas Jakarta–Tangerang, Cawang– Tomang–Pluit, Jakarta Outer Ring Road (JORR), Jagorawi, Jakarta–Cikampek dan Ir Wiyoto Wiyono (Cawang-Tj. Priuk-Pluit).
“Kemacetan terjadi pada jam-jam tertentu pada pagi dan sore hari. Dengan kemacetan tersebut Standar Pelayanan Minimal dan tingkat pelayanan jalan tol pada aspek kelancaran lalu lintas tidak terpenuhi,” kata BPK.
Ketiadaan rencana komprehensif, menurut BPK, juga terlihat dalam studi kelayakan rencana pembangunan 18 jalan tol baru, di antaranya ruas JORR II dan enam ruas baru dalam kota. Pemerintah, BPK bilang, sebatas menyimpulkan bahwa pembangunan ruas tol itu “secara prinsip membantu mengurangi beban lalu lintas” atau memperbaiki kinerja jalan arteri dan jalan tol yang sudah ada. Tapi, menurut BPK, kesimpulan itu “masih bersifat umum” dan tidak didukung analisis spesifik dan terukur yang menjelaskan hubungan antara ruas jalan tol baru dengan pengurangan kemacetan.
Selain itu, BPK juga menemukan bolong besar pada kinerja BPJT dan mendapati badan itu kerap bekerja amatiran. Semisal dalam soal pemenuhan SPM, BPJT tak punya prosedur standar pemeriksaan, tidak merujuk kepada hasil laporan bulanan konsultan dalam mengambil kebijakan serta tidak mengecek kembali keabsahan laporan konsultan.
Lantaran itu, BPK mendapati perbedaan data antara Berita Acara Pemeriksaan SPM Sementer 1 2016 dengan Laporan Evaluasi Kinerja dan Pengusahaan Jalan Tol Operasi yang dibuat oleh konsultan pada gerbang tol Karang Tengah (ruas jalan tol Jakarta-Tangerang). Kepala Sub Bidang Operasi dan Pemeliharaan II BPJT berdalih, perbedaan itu lantaran keterbatasan waktu dan pegawai untuk mengecek kondisi ruas tol, sementara konsultan BPJT baru dikontrak periode Juni-Desember sedangkan pemeriksaan SPM dilakukan periode Februari-Agustus.
Bagian lain dalam dokumen audit BPK menunjukkan:
●Kementerian Perhubungan, Korps Lalu Lintas Polri, BPJT, dan perusahaan tol intensif berkoordinasi untuk penyelesaian kemacetan tol hanya pada waktu-waktu tertentu, semisal mudik lebaran, libur Natal, dan masa liburan panjang. Di luar itu, tiap-tiap lembaga lebih sering jalan sendiri.
●Pemerintah abai dari memaksa perusahaan tol memperlebar ruas tol sesuai perjanjian awal, semisal pada ruas Jakarta-Tangerang (segmen Tomang-Kembangan) dan ruas jalan tol Jagorawi (segmen Bogor-Ciawi). Padahal, di kedua ruas itu tingkat kepadatan sudah di atas ambang kewajaran.Kementerian PU dan BPJT tidak mempertimbangkan SPM dan pertumbuhan daya beli masyarakat saat menaikkan tarif, yang pada ujungnya merugikan masyarakat.
Dalam kasus ruas tol Jakarta-Cikampek, kenaikan tarifnya bahkan melebihi laju inflasi. Tak sekadar itu, Pemerintah juga main pukul rata nilai inflasi meski tol melewati wilayah yang tingkat inflasinya berbeda, semisal Jakarta dan Bekasi. Inilah, yang menurut BPK, menjadikan warga di Jawa Barat membayar tarif tol yang lebih mahal daripada seharusnya.
“BPJT menyadari bahwa telah terjadi pembebanan tarif yang tidak sejalan dengan amanat peraturan perundang-undangan,” kata dokumen audit, mencantumkan janji BPJT melakukan penyesuaian tarif pada ruas jalan tol Jakarta Cikampek segmen Cibatu-Karawang Barat, Cibatu-Karawang Timur, dan Cibatu-Dawuan IC serta JORR “yang belum dihitung sesuai dengan nilai inflasi”.
●Laporan pemenuhan SPM semesteran yang rutin diumumkan BPJT sebagiannya bodong. BPJT, menurut dokumen, tidak melakukan pengujian lapangan atas indikator SPM kecepatan tempuh rata-rata dan panjang antrean. Sementara itu, konsultan tidak melakukan penilaian pemeriksaan SPM atas sepuluh ruas jalan tol pada September 2016.
Kementerian PUPR menghadiahkan kenaikan tarif untuk tiga dari 10 ruas tol itu pada Desember 2017. Saat pengumumannya, Menteri menyebut keputusan itu sudah mempertimbangkan pemenuhan SPM.
●Empat baron tol – Jasa Marga, Citra Marga Nusaphala Persada, Bosowa Marga Nusantara, Bintara Serpong Damai – hingga kini belum mengembalikan kelebihan pendapatan tol yang mereka terima pasca kebijakan Pemerintah mengubah golongan jenis kendaraan bermotor pada 2007. Lantaran perubahan golongan kendaraan itu, tarif tol untuk sebagian kendaraan yang sama menjadi naik dari sebelumnya.
Sebagai contoh truk 4 gandar dan 5 gandar sebelumnya termasuk dalam golongan II.B dengan tarif 20 ribu rupiah (Jalan Tol Jakarta-Cikampek), tapi setelah perubahan menjadi golongan IV untuk truk 4 gandar sebesar 25 ribu rupiah dan golongan V untuk truk 5 gandar 30 ribu rupiah.
Semestinya, kelebihan penerimaan itu menjadi acuan BPJT dalam mengusulkan penurunan tarif atau pemendekan masa konsesi.
Audit menyebut Jasa Marga dan CMNP setuju menunjuk auditor PricewaterhouseCoopers untuk menghitung kelebihan bayar yang mereka terima dalam satu dekade terakhir. Uniknya, hingga kontrak dengan auditor berakhir pada Desember 2015, BPJT tak kunjung mendapatkan hasil penilaiannya.