Oleh: Prof. Yusril Ihza Mahendra*
Saya adalah orang yang dulu mewakili Presiden (1999) dalam mengajukan dan membahas RUU Perubahan UU Tipikor 31/99 dan membahas RUU MK dengan DPR sampai selesai, menyadari rumitnya penegakkan hukum terkait masalah ini.
UU Tipikor memberi kewenangan kepada aparat penegak hukum temasuk KPK untuk menyidik kejahatan korporasi. Termasuk kategori korporasi adalah parpol, yang jika terlibat dalam kejahatan, maka pimpinannya dapat dituntut, diadili dan dihukum.
Karena berdasarkan Pasal 68 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konsitusi (MK) maka lembaga itu berwenang untuk memutus perkara pembubaran parpol.
Parpol bisa dibubarkan jika asas dan ideologi serta kegiatan-kegiatan parpol itu bertentangan dengan UUD 1945.
MK dapat menyidangkan perkara pembubaran parpol ketika ada permohonan yang diajukan pemerintah karena memiliki kedudukan hukum atas itu.
KPK pun harus melakukan penyidikan atas parpol-parpol yang diduga menikmati aliran uang suap e-KTP sehingga dibuktikan di pengadilan.
Kalau dilihat dari perspektif hukum pidana, terkait kejahatan korporasi, maka jika korporasi tersebut terbukti melakukan kejahatan, maka yang dijatuhi pidana adalah pimpinannya. Korporasinya sendiri tidak otomatis bubar.
Begitu juga halnya jika parpol terbukti korupsi, maka pimpinannya yang dijatuhi hukuman. Sementara partainya sendiri tidak otomatis bubar.
Setelah itu, akan ada upaya meyakinkan pemerintah mengajukan itu ke MK ketika ada putusan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan suatu partai secara sah melakukan korupsi (kejahatan korporasi) dan pimpinannya dijatuhi hukuman.
___
*Sumber: Twit @Catatan_Yusril (23/3/2018)