Oleh: Hersubeno Arief*
(Wartawan senior, Konsultan media)
Jika tak ada aral melintang Partai Gerindra akan segera mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai capres 2019. Keputusan itu untuk sementara akan mengakhiri spekulasi tentang masa depan politik Prabowo, sekaligus memberi gambaran kepada kita peta pertempuran pada Pilpres 2019.
Pertama, pencapresan Prabowo akan membuat internal Gerindra menjadi solid dan lebih pede menghadapi pemilu, terutama pileg. Bagaimanapun Prabowo merupakan magnet utama mengapa publik menjatuhkan pilihannya kepada Gerindra.
Kedua, menutup peluang kemungkinan terjadinya skenario Jokowi menghadapi kotak kosong, atau capres/cawapres boneka. Jika itu terjadi akan menjadi catatan buruk dalam proses demokrasi di Indonesia.
Ketiga, Pilpres 2019 akan menjadi pertarungan klasik, head to head antara Jokowi Vs Prabowo. Poros ketiga sangat sulit diwujudkan.
Dengan syarat presidential threshold 20% (kursi), 25% (suara nasional), Gerindra sudah hampir pasti berkoalisi dengan PKS. Tiga partai tersisa yang bisa membentuk poros baru, yakni Demokrat, PKB, dan PAN sulit untuk menemukan titik temu.
PAN cenderung bergabung dengan poros Prabowo, sementara PKB kemungkinan besar kembali bersama Jokowi. Demokrat seperti biasa berada dalam posisi “diantara” (in between), namun kali ini punya kecenderungan kuat ingin bergabung dengan Jokowi.
Antara Legasi dan Ambisi
Keputusan Prabowo bila benar akan kembali maju bertarung, selain melegakan internal Gerindra, juga merupakan kabar baik bagi Jokowi. Sebab bila terpaksa harus bertarung, apalagi head to head, Prabowo adalah pilihan terbaik. Secara elektabilitas, maupun sumber daya finansialnya, kekuatannya sudah bisa diukur.
Sebaliknya bagi kubu penentang Jokowi, keputusan Prabowo merupakan kabar buruk. Sebagai sebuah tontonan, anti klimaks. Alur cerita, dan endingnya seperti apa, sudah bisa bisa diduga. Jokowi berpotensi besar melenggang kembali ke kursi kepresidenan untuk kedua kalinya.
Dengan gambaran semacam itu, setidaknya ada tiga pilihan bagi Prabowo.
Pertama, tetap maju bertarung dengan risiko mengalami hattrick kekalahan tiga kali beruntun. Menilik hasıl berbagai jajak pendapat, dipasangkan dengan siapapun, Prabowo akan kalah bila tetap memaksakan diri melawan Jokowi.
Kedua, tetap melakukan deklarasi pencapresan untuk menenangkan kalangan internal. Langkah ini sekaligus menutup celah manuver para pendukung Jokowi yang ingin memasangkannya sebagai cawapres Jokowi.
Ketiga, deklarasi sebagai bentuk test case menjajaki “kedalaman air.” Bila respon pemilih tidak positif, elektabilitas Prabowo tidak bergerak naik, masih ada waktu untuk mengundurkan diri dan mengajukan calon alternatif.
Dalam posisi ini Prabowo bisa kembali menunjukkan kelasnya sebagai King Maker sebagaimana sudah dia buktikan dalam dua Pilkada DKI (2012, 2017).
Prabowo naik kelas menjadi seorang negarawan, tokoh bangsa.
Dia mengikuti jejak Megawati menjadi politisi paling berpengaruh yang perannya sangat menentukan dalam peta politik nasional.
Pilihan-pilihan tersebut akan sangat menentukan bagaimana Prabowo ingin dikenang. Apakah dia akan dikenang sebagai tokoh nasional yang meninggalkan legasi, atau seorang politisi yang gagal berkali-kali dalam mengejar ambisi.
23/3/18
*Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/tiga-pilihan-jenderal-prabowo/