Oleh: Yons Achmad*
(Kolumnis, Pengamat Media, Pendiri Kanet Indonesia)
Tempo menantang perang. FPI melawan. Itu sudah benar. Sebuah kartun di Tempo, digambarkan bagaimana sosok Habib Rizieq Syihab sedang berbincang dengan seorang wanita tanpa jilbab dengan baju seksi. “Maaf saya tidak jadi pulang” “Yang kamu lakukan itu jahat”. Dimuat di Majalah Tempo edisi 26 Februari 2018.
Sontak, FPI melakukan demonstrasi melawan Tempo. FPI menilai kartun itu sebuah tindakan pelecehan dan penghinaan terhadap Imam Besarnya. Orang atau media boleh saja tak suka dengan HRS, tapi bayangkan bagaimana perasaan pengikut dan murid-muridnya digambarkan begitu?
Tak suka didemo FPI, Tempo menulis dalam tajuknya “Demo FPI dan Sikap Kami”. Saya catat poinnya (1) Tempo merasa demo FPI sudah berlebihan, intimidatif, polisi harus proses hukum, (2) Tempo ngeles gambar kartun itu tak merujuk langsung HRS (3) Tempo akan melawan intimidasi, sebab kalau tidak dilawan, akan memunculkan korban media lain. Hal ini katanya sangat membahayakan kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.
Di media sosial, Tempo juga mencoba mencari dukungan publik dengan tagar #SayaBersamaTempo. Sayangnya kampanye pembelaaan ala Tempo itu tak digubris netizen. Kini, tinggal menunggu bagaimana Dewan Pers bersikap. Apakah menilai bahwa kartun itu sebuah produk jurnalistik yang wajar-wajar saja? Tak perlu terlalu dipersoalkan. Dianggap kritik biasa di alam demokrasi. Atau telah memenuhi unsur-unsur pelanggaran di ranah jurnalistik.
Terlepas dari putusan Dewan Pers nantinya, saya berpendapat begini. Ada pelajaran kecil tentang jurnalisme damai yang pernah saya dapatkan. Kalau berita dimuat dalam sebuah media, termasuk kartun atau karikatur dan berpotensi memunculkan konflik, maka lebih baik tidak usah dimuat. Inilah “Kurang ajarnya” Tempo. Redaksi memilih untuk mengejek HRS. Beropini kalau HRS itu sosok yang jahat, tak taat hukum. Memang, Tempo boleh ngeles kalau sosok itu tidak merujuk langsung pada HRS. Tapi, netizen atau pembaca tak goblok Bung!
Kalau Tempo kemudian merasa demo itu berlebihan, mengaku ada intimidasi, apakah kekerasan wacana lewat teks dan gambar itu tidak berlebihan dalam mengejek HRS? Jadi, dalam kasus ini, sekali lagi hukum yang berlaku barangkali, seperti kata orang Betawi “Lu jual gua beli”. Jadi tak usah merengek-rengek minta dikasihani. Tempo, “Yang kamu lakukan ke HRS itu jahat”. Alih-alih mengutuk intimidasi, Tempo memulainya dengan kekerasan wacana yang juga intimidatif. Jadi, ambilah cermin.
Memang, debat paling elegan perlu dimediasi. Dan Dewan Pers menjadi lembaga yang memungkinkan. Walau kita tahu, beberapa “petinggi” di sana diantaranya “orang dekat” Tempo. Tapi, apa boleh buat, inilah arena adu argumentasi yang “Ilmiah” untuk menemukan kebenaran dalam sengketa jurnalisme kita. Kalau FPI menempuh jalur ini, saya yakin akan “Menang”.
Depok, 19 Maret 2018
*Sumber: fb
[video - Demo FPI ke Tempo]
(Kolumnis, Pengamat Media, Pendiri Kanet Indonesia)
Tempo menantang perang. FPI melawan. Itu sudah benar. Sebuah kartun di Tempo, digambarkan bagaimana sosok Habib Rizieq Syihab sedang berbincang dengan seorang wanita tanpa jilbab dengan baju seksi. “Maaf saya tidak jadi pulang” “Yang kamu lakukan itu jahat”. Dimuat di Majalah Tempo edisi 26 Februari 2018.
Sontak, FPI melakukan demonstrasi melawan Tempo. FPI menilai kartun itu sebuah tindakan pelecehan dan penghinaan terhadap Imam Besarnya. Orang atau media boleh saja tak suka dengan HRS, tapi bayangkan bagaimana perasaan pengikut dan murid-muridnya digambarkan begitu?
Tak suka didemo FPI, Tempo menulis dalam tajuknya “Demo FPI dan Sikap Kami”. Saya catat poinnya (1) Tempo merasa demo FPI sudah berlebihan, intimidatif, polisi harus proses hukum, (2) Tempo ngeles gambar kartun itu tak merujuk langsung HRS (3) Tempo akan melawan intimidasi, sebab kalau tidak dilawan, akan memunculkan korban media lain. Hal ini katanya sangat membahayakan kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.
Di media sosial, Tempo juga mencoba mencari dukungan publik dengan tagar #SayaBersamaTempo. Sayangnya kampanye pembelaaan ala Tempo itu tak digubris netizen. Kini, tinggal menunggu bagaimana Dewan Pers bersikap. Apakah menilai bahwa kartun itu sebuah produk jurnalistik yang wajar-wajar saja? Tak perlu terlalu dipersoalkan. Dianggap kritik biasa di alam demokrasi. Atau telah memenuhi unsur-unsur pelanggaran di ranah jurnalistik.
Terlepas dari putusan Dewan Pers nantinya, saya berpendapat begini. Ada pelajaran kecil tentang jurnalisme damai yang pernah saya dapatkan. Kalau berita dimuat dalam sebuah media, termasuk kartun atau karikatur dan berpotensi memunculkan konflik, maka lebih baik tidak usah dimuat. Inilah “Kurang ajarnya” Tempo. Redaksi memilih untuk mengejek HRS. Beropini kalau HRS itu sosok yang jahat, tak taat hukum. Memang, Tempo boleh ngeles kalau sosok itu tidak merujuk langsung pada HRS. Tapi, netizen atau pembaca tak goblok Bung!
Kalau Tempo kemudian merasa demo itu berlebihan, mengaku ada intimidasi, apakah kekerasan wacana lewat teks dan gambar itu tidak berlebihan dalam mengejek HRS? Jadi, dalam kasus ini, sekali lagi hukum yang berlaku barangkali, seperti kata orang Betawi “Lu jual gua beli”. Jadi tak usah merengek-rengek minta dikasihani. Tempo, “Yang kamu lakukan ke HRS itu jahat”. Alih-alih mengutuk intimidasi, Tempo memulainya dengan kekerasan wacana yang juga intimidatif. Jadi, ambilah cermin.
Memang, debat paling elegan perlu dimediasi. Dan Dewan Pers menjadi lembaga yang memungkinkan. Walau kita tahu, beberapa “petinggi” di sana diantaranya “orang dekat” Tempo. Tapi, apa boleh buat, inilah arena adu argumentasi yang “Ilmiah” untuk menemukan kebenaran dalam sengketa jurnalisme kita. Kalau FPI menempuh jalur ini, saya yakin akan “Menang”.
Depok, 19 Maret 2018
*Sumber: fb
[video - Demo FPI ke Tempo]