[PORTAL-ISLAM.ID] Kali ini tulisan agak serius. Bener serius. Karena menyangkut kosa kata “Revolusi Mental”. Ada kata “Revolusi”. Agak ngeri. Ngeri-ngeri sedap. Mesti disambung dan jangan dibaca terpisah: “Revolusi Mental”. Kalau terpaksa dipisah hanya untuk memudahkan otak membaca dan memahami definisi serta maknanya.
Revolusi mental dipopulerkan Jokowi tahun 2014. Apa maksudnya? Bagaimana prosesnya? Dan sejauhmana realisasinya? Kita analisis satu persatu.
Kata “Revolusi Mental” terdiri dari dua suku kata. “Revolusi” dan “Mental”. Harus dijelaskan satu persatu. Memang agak teknis dan teoritis. Sedikit membosankan. Siap-siap aja. Supaya gak salah paham.
Kata “Revolusi” pertama kali muncul abad 14 oleh Nicolaus Copernicus. Seorang ahli astronomi yang ingin mendiskripsikan benda-benda langit. Revolusi artinya “gerakan berputar” atau “gerakan sirkular”. Abad ke-17, istilah revolusi digunakan dalam filsafat politik. Revolusi lalu punya arti pergantian dan perputaran elit kekuasaan pada negara-negara baru.
Definisi ini lalu menjadi praktis di sejumlah negara. Tahun 1789 terjadi revolusi di Perancis. Tahun 1917 di Rusia. Tahun 1919 di Mexico. Tahun 1949 di Cina. Tahun 1959 di Kuba. Tahun 1979 di Iran. Tahun 1985 di Philipina. Tahun 1989 di Eropa Timur. Nah, rasa ngeri mulai terasa.
Bagaimana perubahan Orde Lama ke Orde Baru, dan jatuhnya Orde Baru itu apakah bagian dari revolusi? Tidak. Itu konstitusional, kata pendukung Pak Harto. Ada supersemar, yang tanggal 11 maret kemarin sudah dilupakan. Jatuhnya Pak Harto juga bukan revolusi? Pak Harto bukan jatuh, tapi legowo mengundurkan diri. Kata para pejabat penggantinya. Tidak, Pak Harto dipaksa mundur, dan kamilah yang memaksanya mundur, alias menjatuhkannya, kata aktifis 98. Terserahlah.
Yang pasti itu bukan revolusi. Menganut teorinya Sztompka, ada 5 ciri revolusi. Pertama, dampaknya luas. Kedua, radikal dan fundamental, karena sampai ke akar budaya, sistem dan cara berpikir. Ketiga, terjadi tiba-tiba dan mendadak. Sangat cepat dan tak terprediksi, apalagi direncanakan. Keempat, melibatkan emosi dan intelektual rakyat secara menyeluruh. Kelima, kentara dan akan sangat dikenang.
Dengan lima syarat ini, maka kejatuhan Orde Lama, Orde Baru, bahkan Gusdur bukan akibat revolusi. Kasus pertama, ada yang menyebutnya “putsch” pengambil alihan oleh tentara. Untuk tragedi kedua, ada yang menyebut coup, atau kudeta istana oleh sejumlah orang yang memanfaatkan gerakan mahasiswa 98. Sah-sah saja. Namanya juga berteori. Khusus Gusdur, mungkin lebih pas disebut perlawanan kelompok subordinat. Apapun itu, yang jelas bukan revolusi. Berarti di Indonesia belum pernah terjadi revolusi? Sedang diupayakan: namanya “Revolusi Mental”. Sampai di sini jangan sekali-kali berani memisahkan dua kata ini. Karena akan jauh beda arti dan konsekuensinya.
Revolusi mental itu artinya perubahan mental secara fundamental, cepat dan berpengaruh secara luas terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa. Secara teoritis, kira-kira begitu. Gak tahu, sama tidak dengan apa yang dimaksudkan Pak Jokowi.
“Revolusi Mental” adalah sebuah slogan yang di tahun 2014 benar-benar memberi harapan rakyat. Rakyat menunggu. Presiden baru, harapan baru. Sebuah harapan akan terjadinya ledakan perubahan yang luar biasa untuk bangsa ini. Apalagi setelah dijanjikan akan dibentuk kabinet kerja, kedaulatan pangan, tidak hutang luar negeri, lapangan kerja berlimpah, subsidi untuk rakyat ditambah dan lain-lain, dan lain-lain. Banyak sekali. Setidaknya ada 66 janji politik yang luar biasa dan aduhai. Itulah ikhtiar program untuk mensukseskan “Revolusi Mental”
Apa yang dijanjikan presiden betul-betul sangat menggiurkan. Harapan rakyat membumbung tinggi. Langkah awal Jokowi membentuk kabinet kerja yang mayoritas diisi dari orang-orang profesional semakin meyakinkan. Simpati rakyat naik. Pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah, khususnya daerah tertinggal menjadi kabar gembira.
Namun semua berubah ketika satu persatu menteri dari kalangan profesional diganti dan diisi oleh orang-orang partai. Rakyak mulai was-was. Tidakkah orang-orang partai juga profesional. Tidak perlu didikotomikan antara orang partai dan non partai. Yang penting mereka bisa bekerja secara profesional. Alasan klise para politisi.
Yang jelas, kabinet kerja telah berubah jadi kabinet koalisi. Intinya, terjadi bagi-bagi kursi untuk memperkuat posisi bergaining pemerintah. Realitas memaksa penguasa menghadapi banyak tekanan. Dalam situasi ini, keadaan berubah tanpa mampu lagi dikontrol dan diantisipasi. Memang tak mudah menghadapi lingkaran mafia berpengalaman dan punya celah menekan. Situasi ini akan dihadapi oleh semua kepala negara, dimanapun berada.
Seiring berjalannya waktu, hutang negara semakin besar, subsidi untuk rakyat terus dipangkas, impor bahan pangan tak berhenti, lapangan kerja diambil asing dan aseng dengan gaji jauh lebih besar dari penduduk. Menyisakan para pengangguran penduduk negeri yang semakin kesulitan hidup. Penguasa diduga malah asyik terlibat aktif dalam pesta demokrasi di daerah-daerah. Aparatpun dicurigai tidak netral. Sampai publik sempat menanyakan mengapa istana menjadi tempat persiapan pilpres. Sarana publik digunakan untuk urusan privat.
Akhirnya, rakyat bertanya: dimana revolusi mental itu berada? Banyak yang mulai apatis. Lalu muncul gerakan: “2019 Ganti Presiden”. Ide Mardani Ali Sera ini disambut kelompok ABJ (Asal Bukan Jokowi) yang semakin besar jumlahnya. 65-68% rakyat Indonesia ingin presiden baru. Mereka kecewa dan tidak percaya lagi, karena “Revolusi Mental” tak kunjung datang membawa bukti.
Penulis: Tony Rasyid